TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER GASAL
MATA KULIAH HUKUM ADAT
T.A. 2017 / 2018
Penguji : Bapak. Drs. Abd. Halim, M.Hum
Oleh :
Aang Sobari Saeful Risal (
16360012 )
Kelas A
JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2017
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur
kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan taufik dan hidayah-Nya kami
dapat menyelesaikan tugas Makalah dengan judul “Perjanjian Adat”.
Sholawat
teriring salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada baginda Nabi Muhammad
SAW, yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah hingga zaman yang terang
benderang.
Tujuan dibuatnya makalah ini diharapkan
agar dijadikan sebagai wawasan kita terhadap mata kuliah “ Hukum Adat ” sesuai
dengan tema yang kami angkat. Penyusun telah berusaha demi keberhasilan dan
kesempurnaan makalah ini. Namun, kami merasa masih terlalu banyak kekurangan.
Oleh karena itu, kami mohon kritikan dan saran yang membangun baik dari dosen pembimbing
maupun dari rekan-rekan mahasiswa.
Tidak lupa penyusun mengucapkan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian
Makalah ini, semoga dengan apa yang ada dalam Makalah ini dapat memberi manfaat
bagi kita semua. Amiin ...
Yogyakarta, Desember 2017
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL.......................................................................................
1
KATA
PENGANTAR.....................................................................................
2
DAFTAR
ISI...................................................................................................
3
BAB
I PENDAHULUAN...............................................................................
4
A.
Latar
Belakang.....................................................................................
4
B.
Rumusan
Masalah...............................................................................
4
C.
Tujuan..................................................................................................
4
BAB
II PEMBAHASAN................................................................................
5
A.
Pengertian
Perjanjian............................................................................
5
B.
Macam-macam
Perjanjian dalam Hukum Adat....................................
7
1.
Perjanjian
Kredit.......................................................................
7
2.
Perjanjian
Kempitan.................................................................
7
3.
Perjanjian
Tebasan....................................................................
8
4.
Perjanjian
Perburuhan...............................................................
8
5.
Perjanjian
Pemegangkan...........................................................
9
6.
Perjanjian
Pemeliharaan............................................................
9
7.
Perjanjian
Pertanggungan Kerabat...........................................
9
8.
Perjanjian
serikat.......................................................................
10
9.
Perjanjian
Bagi Hasil................................................................
10
10. Perjanjian Ternak......................................................................
11
BAB
III PENUTUP.........................................................................................
13
A.
Kesimpulan........................................................................................
13
B.
Saran
................................................................................................. 13
DAFTAR
PUSTAKA......................................................................................
14
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Indonesia dikenal dengan luasnya
pulau yang dia miliki, dan masyarakat multikulturnya yang saling menjaga
toleransi antar suku, ras, dan agama. Masyarakat adalah komunitas yang hidup
berdasarkan asal-usul secara turun-menurun di atas satu wilayah adat, yang
memiliki hak atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur
oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan
masyarakat.
Keunikan Indonesia inilah yang
membawa masyarakat di berbagai daerah memiliki kebudayaan dan aturan tersendiri
dalam kehidupannya, sehingga ada peraturan-peraturan yang dimiliki suku yang
mana peraturan tersebut mungkin tidak dimiliki oleh suku yang lain juga.
Seperti halnya perjanjian dalam hukum adat, mungkin ada perbedaan antara suku
satu dengan yang lainya dalam perjanjian adat.
Dalam makalah ini, kami akan
membahas mengenai pengertian perjanjian dan macam-macam perjanjian dalam hukum
adat, Maka semoga makalah ini membantu mengantarkan pembaca untuk memahami
tentang pengertian perjanjian dan macam-macam perjanjian dalam hukum adat yang
ada di Indonesia sekarang ini. Semoga makalah ini bisa membuka pemikiran
pembaca untuk sedikit memahaminya.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat ditarik kesimpulan masalah
sebagai berikut:
1.
Apa
itu perjanjian?
2.
Bagaimana
macam-macam perjanjian dalam hukum adat?
C.
Tujuan
1.
Untuk
memahami pengertian perjanjian.
2.
Untuk
mengetahui berapa macam perjanjian dan memahaminya.
BAB II
PEMBAHASAN
HUKUM PERJANJIAN DALAM HUKUM ADAT
A.
Pengertian
Perjanjian
Defenisi perjanjian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
“persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih,
masing-masing berjanji akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu”.[1]
Menurut kitab Undang Undang Hukum Perdata pasal 1313 berbunyi :
“suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.[2]
Ketetapan menurut pasal ini sebenernya kurang memuaskan, karena
masih terdapat kelemahan-kelemahan di dalamnya. Di bawah ini adalah
kelemahan-kelemahan yang dapat diuraikan dari pasal 1331 KUH Perdata, yaitu:
1.
Hanya
menyangkut sepihak saja, hal ini diketahui dari kalimat “satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
2.
Kata
perbuatan mencakup juga tanpa consensus
3.
Defini
perjanjian terlalu luas
4.
Tanpa
menyebut tujuan
5.
Ada
bentuk tertentu, lisan dan tulisan
Ada
syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian, seperti disebutkan di bawah ini:
1.
Syarat
ada persetujuan kehendak
2.
Syarat
kecakapan pihak-pihak
3.
Ada
hal tertentu
4.
Ada
kuasa yang halal.[3]
Menurut Subekti (2005:1) bahwa, suatu perjanjian adalah “suatu
peristiwa di mana seorang berjanji pada seorang lain atau di mana dua orang itu
saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”. Dari peristiwa ini, timbullah
suatu hubungan anatara orang tersebut yang di namakan perikatan.
Pengertian perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi diantara
dua orang pihak atau lebih, yakni pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dan
pihak lainnya wajib memenuhi sesuatu hal tersebut.[4]
Dengan demikian, diketahui bahwa perjanjian itu memunculkan
perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu
berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan
seseorang baik diucapakan maupun ditulis.
Suatu perjanjian merupakan juga sebuah persetujuan. Karena di
dalamnya terdapat unsur saling setuju satu dengan yang lainnya, atau keduanya
telah setuju dengan perkataan atau tulisan yang telah mereka sepakati bersama.
. Berdasarkan hal tersebut dapat diuraikan bahwa unsur-unsur perjanjian adalah
sebagai berikut:
1.
Adanya
pihak-pihak yang sekurangnya dua orang
2.
Adanya
persetujun atau kata sepakat
3.
Adanya
tujuan yang ingin dicapai
4.
Adanya
prestasi atas kewajiban yang akan dilaksanakan
5.
Adanya
bentuk tertentu
6.
Adanya
syarat-syarat tertentu.[5]
Adapun perjanjian menurut hukum adat adalah perjanjian di mana
pemilik rumah memberikan izin kepada orang lain untuk mempergunakan rumahnya
sebagai tempat kediaman dengan pembayaran sewa di belakang (atau juga dapat
terjadi pembayaran dimuka).[6]
Hukum perjanjian pada dasarnya mencakup hutang piutang. Dengan
adanya perjanjian, maka satu pihak berhak untuk menuntut suatu hal dan pihak
lainnya wajib memenuhi suatu hal tersebut. Suatu hal di sini adalah mungkin
berbentuk benda, atau tidak melakukan suatu perbuatan.[7]
B.
Macam-macam
Perjanjian dalam Hukum Adat
1. Perjanjian Kredit
Perjanjian kredit merupakan suatu perjanjian meminjamkan uang
dengan atau tanpa bunga, atau barang-barang tertentu yang harus dikembalikan
sesuai dengan nilainya masing-masing pada saat yang telah disepakati. Hasil
penelitian lapangan di Lampung dan Sumatera Selatan menyatakan bahwa peminjaman
yang dikenakan bunga telah lazim terjadi, apabila yang meminjam uang itu adalah
orang luar, artinya yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengan pihak yang
meminjamkan uang itu. Jadi ada perbedaan disana ketika yang meminjam adalah
pihak di luar dari kekerabatan seorang yang meminjamkan dengan orang yang
mempunyai kekerabatan dengan orang yang meminjamkan dalam masalah ada atau
tidaknya suatu bunga peminjaman. Adanya bunga atau jaminan terhadap pinjaman
uang, rupa-rupanya merupakan pengaruh dari kebiasaan-kebiasaan di kota dari
para pendatang.[8]
Perjanjian
kredit ini mempunyai banyak kemiripan dengan transaksi pada masyarakat luas,
artinya hal ini umum terjadi di kalangan masyarakat. Demikian pula dengan
pinjam-meminjam barang, maka pinjam-meminjam tersebut merupakan suatu hal yang
sudah lazim. Pinjam-meminjam barang ini harus dikembalikan dengan barang
sejenis ataupun dengan uang yang sepadan dengan nilai barang yang dipinjamkan.
2.
Perjanjian Kempitan
Perjanjian kempitan adalah sebuah perjanjian dalam hukum adat yang
merupakan suatu bentuk perjanjian dimana seseorang menitipkan sejumlah barang
kepada pihak lain dengan janji bahwa kelak akan dikembalikan dalam bentuk uang
atau barang yang sejenis. Perjanjian kempitan ini lazim terjadi dan pada
umumnya menyangkut hasil bumi dan barang-barang dagangan.[9]
Di
dalam perjanjian kempitan, terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu
antara lain :
a.
Harus
ada musyawarah lebih dulu, kepercayaan dan surat perjanjian.
b.
Diadakan
batas waktu pengembalian barang dan kalau barang tersebut tidak diambil, maka
barang tersebut dijual atas dasar mufakat.
c.
Dalam
surat perjanjian itu ditentukan jumlah harga pengembalian barang tersebut.
d.
Apabila
barang yang dititipkan itu hilang, maka harus ada penggantian dan apabila
barang itu telah dijual orang yang dititipi barang tersebut harus diberi upah
untuk jerih payahnya.
Dengan demikian, dalam perjanjian kempitan terdapat kecenderungan
bahwa barang yang dititipkan itu harus dikembalikan apabila dikehendaki oleh
pemilik barang dan adanya suatu syarat utama yaitu bahwa antara para pihak
harus saling percaya.[10]
3.
Perjanjian Tebasan
Perjanjian tebasan terjadi apabila seseorang menjual hasil
tanamannya sesudah tanaman itu berbuah dan sebentar lagi akan dipetik hasilnya.
Perjanjian tebasan ini lazim terjadi pada padi atau tanaman buah-buahan yang
sudah tua dan sedang berada di sawah ataupun di kebun. Di daerah-daerah
tertentu (misalnya beberapa daerah Sumatera Selatan) perjanjian tebasan
merupakan perjanjian yang tidak lazim terjadi dan ada kecenderungan bahwa
perikatan dalam bentuk ini merupakan perjanjian yang dilarang.[11]
Perjanjian
tebasan ini mirip dengan jual beli salam dimana dalam hukum Islam dimana
seseorang memesan barang yang belum tampak oleh mata seperti halnya jual beli
buah-buahan yang masih ada di pohon.
4.
Perjanjian Perburuhan
Perjanjian perburuhan disini dimaksudkan apabila ada seseorang yang
mempekerjakan seseorang untuk membantunya, yang pada prinsipnya berhak menerima
upah, pada hal ini tiadak diberikan upah sama sekali. Namun, ia memperoleh
imbalan lainnya berupa biaya hidupnya di tanggung oleh pihak yang
memperkerjakannya. Menurut Ter Haar menyatakan bahwa tentang menumpang di rumah
orang lain dan mendapat makan dengan Cuma-Cuma tapi harus bekerja untuk tuan
rumah, merupakan hal yang berulang-ulang dapat diketemukan dan sering bercampur
baur dengan memberikan penumpangan kepada kepada sanak-saudara yang miskin dengan
imbangan tenaga bantuannya di rumah dan di ladang.[12]
5.
Perjanjian Pemegangkan
Perjanjian pemegangkan cukup lazim dalam hukum adat, apabila ada
seseorang yang meminjam uang terhadap orang yang meminjamkan barang, kemudian
orang yang meminjam memberikan jaminan barang, maka orang yang meminjamkan uang
berhak menggunakan barang tersebut sampai si peminjam mengembalikan uang nya.
Tetapi apabila peminjaman tersebut di kenakan bunga, maka pihak yang meminjami
uang tersebut tidak berhak menggunakan barang tersebut. Karena pihak yang
memberikan pinjaman menerima bunga hutang tersebut.[13]
6.
Perjanjian Pemeliharaan
Perjanjian ini memiliki kedudukan yang istimewa pada hukum kekayaan
harta adat. Dimana, pihak pemelihara bertanggung jawab atas pihak yang
dipelihara. Maksudnya, hartanya dibawah tanggungan pihak pemelihara. Terlebih
apabila usia lanjut. Pemelihara pula yang menanggung urusan pemakamannya dan
pengurusan harta peninggalannya. Sehingga, apabila si memelihara meninggal maka
harta yang dimiliki pihak yang dipelihara berhak dimiliki oleh hak pemelihara.
tidak tanggung-tanggung bagian yang dimiliki oleh pihak pemelihara sama halnya
dengan hak yang diberikan kepada kerabat atau anak yang dipelihara.
7.
Perjanjian Pertanggungan Kerabat
Apakah lazim seseorang menanggung hutang orang lain yang tidak
sanggup melunasi hutang tersebut?
Ter Haar pernah menulis bahwa dalam hukum adat terdapat perjanjian
dimana seseorang menjadi penanggung hutangnya orang lain. Si penanggung dapat
ditagih bila dianggap bahwa perlunasan piutang tak mungkin lagi diperoleh dari
si peminjam sendiri. Menanggung hutang orang lain, pertama-tama mungkin
disebabkan karena adanya ikatan sekerabat, berhadapan dengan orang luar. Kedua
mungkin juga berdasarkan atas rasa kesatuan daripada sanak saudara. Misalnya
dikalangan orang-orang Batak Karo, seorang laki-laki selalu bertindak
bersama-sama atau dengan penanggunagan anak beru sinina, yaitu sanak saudaranya
semenda dan kerabatnya sedarah yang seakan-akan mewakili golongan-golongan
mereka berdua yang bertanggung jawab.
Penelitian di beberapa masyarakat menyatakan kebenaran dari
pemikiran yang diajukan oleh ter Haar di atas. Di Sumatera Selatan perjanjian
pertanggungan kerabat orang lain juga masih lazim dilakukan. Alasan-alasannya
antara lain :
a.
Menyangkut
kehormatan suku.
b.
Menyangkut
kehormatan keluarga batih.
c.
Menyangkut
kehormatan
8.
Perjanjian serikat
Acapkali ada kepentingan-kepentingan tertentu yang dipelihara oleh
anggota masyarakat dalam berbagai macam kerja sama. Kerja sama dari para
anggota masyarakat untuk memenuhi kepentingan itulah yang menimbulkan serikat,
yang didalamnya muncul perikatan atau perjanjian-perjanjian untuk memenuhi
kepentingan tertentu tadi. Sebagai contoh adalah dimana beberapa orang yang
setiap bulan membayar sejumlah uang tertentu dalam waktu yang telah ditetapkan
bersama, misalnya, dalam setiap bulan. Masing-masing mereka secara bergiliran
akan menerima keseluruhan jumlah uang yang telah dibayarkan itu dan dapat
mempergunakan uang tersebut sekaligus dan juga seluruhnya.
Kegiatan yang demikian ini di Jakarta disebut dengan serikat, di
Minangkabau disebut dengan jula-jula, di Salayar disebut dengan mahaqha
dan di Minahasa disebut mapalus.
Tetapi perlu diingatkan bahwa mapalus di Minahasa mengandung arti
rangkap. Pertama- sebagai bentuk kerjasama yang pada prinsipnya mengandung
kegiatan tolong menolong secara timbale balik, sehingga dapat digolongkan dalam
bentuk perikatan tolong menolong yang merupakan “wederkeng hulpbetoon”. Kedua
adalah bentuk kerja sama dalam kegiatan yang telah diuraikan di muka. Bentuk
kerja sama tersebut, kini telah mengalami perkembangan dan tidak semata-mata
menyangkut uang saja, akan tetapi juga berkaitan dengan pelbagai keperluan,
seperti keperluan rumah tangga, dan lain sebagainya. Kegiatan tersebut juga
sudah meluas dalam masyarakat, dan lazim disebut arisan.
9.
Perjanjian Bagi Hasil
Perjanjian bagi hasil adalah apabila pemilik tanah memberi ijin
kepada orang lain untuk mengerjakan tanahnya dengan perjanjian, bahwa yang
mendapat ijin itu harus memberikan sebagian hasil tanahnya. Ada yang dibagi
menjadi dua di Jawa : maro, Minangkabau : memperduai, Periangan : nengah,
Sumatera : Perdua, Sulawesi Selatan : Tesang, Minahasa: Toyo. Jika hasilnya
dibagi menjadi tiga maka disebut pertiga, di Jawa : mertelu, Periangan :
Jejuron.[14]
Dengan demikian, maka ketentuan-ketentuannya adalah sebagai
berikut:
a.
Pemilik
tanah dan penggarapnya memperoleh bagian yang sama (maro).
b.
Pemilik
tanah memperoleh 2/3 bagian (mertelu).
Di Jawa dalam suatu perjanjian bagi hasil berlaku ada kebiasaan
dalam adat, bahwa permulaan transaksi dibayar srama atau mesi. Srama adalah
pemberian uang sekedarnya oleh penggarap kepada si pemilik tanah, sedangkan
mesi adalah pemberian dari penggarap yang berarti tanda pengakuan terhadap
pemilik tanah.[15]
Mengenai perjanjian bagi hasil atau “sharecropping” ini, sebetulnya
telah diatur di dalam UU No. 2 tahun 1960, : bahwa perjanjian bagi hasil (pasal
3) dikatakan bahwa perjanjian bagi hasil harus dibuat secara tertulis di
hadapan kepala desa dan disahkan oleh camat, dan menurut pasal 4 perjanjian
bagi hasil untuk sawah berlaku sekurang-kurangnya 3 tahun dan tanah kering
sekurang-kurangnya 5 tahun. Kemudian pasal 8 menyatakan dinyatakan adanya
pembayaran uang atau pemberian benda apapun kepada pemilik tanah untuk
memperoleh hak mengusahakan tanah.
10.
Perjanjian Ternak
Ter Haar menyatakan “ Pemilik ternak menyerahkan ternaknya kepada
pihak lain untuk dipelihara dan membagi hasil ternak atau peningkatan nilai
dari hewan itu” Di Sumatera Barat (Minangkabau) dikenal dengan nama “paduon
taranak” atau “saduoan taranak”. Mengenai hal ini, lazimnya berlaku ketentuan –
ketentuan sebagai berikut :
a.
Apabila
hewan ternak itu betina, maka setelah beranak, anaknya itu dibagi antara
pemilik dan pemelihara dengan besaran yang sama, atau dipatut harga induknya,
kemudian anaknya dibagi dua sama banyak, dan kelebihan harga induknya yang
dipatut itu dibagi dua pula. Kelebihan harga induk adalah dari harga waktu
penyerahan dan waktu akan membagi.
b.
Jika
ternak itu ternak jantan, maka sewaktu dikembalikan pada pemilik harus
ditentukan harganya, kemudian setelah dijual laba dibagi dua sama besar antar
pemilik dan pemelihara. Kalau dijual sebelum beranak maka ketentuannya adalah :
1)
Jika
ternak itu dipatut harganya, maka laba dibagi dua.
2)
Jika
ternak itu tidak dipatut harganya, maka kepada pemelihara diberikan sekedar
uang jasa selama ia memelihara ternak
tersebut, besarnya tergantung kepada pemilik ternak, sifatnya hanya sosial
saja.
3)
Kalau
ternak itu mandul, maka dijual, biasanya dikeluarkan juga uang rumput
pemeliharaan, dan pemelihara mempunyai hak terdahulu jika ia ingin membeli atau
memeliharanya kembali.[16]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Defenisi perjanjian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
“persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih,
masing-masing berjanji akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu”.
Menurut kitab Undang Undang Hukum Perdata pasal 1313 berbunyi :
“suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”
Macam-macam perjanjian dalam hukum adat yang
dibahas di tulisan ini ada 10 yaitu:
1.
Perjanjian
Kredit,
2.
Perjanjian
Kempitan,
3.
Perjanjian
Tebasan,
4.
Perjanjian
Perburuhan,
5.
Perjanjian
Pemegangkan,
6.
Perjanjian
Pemeliharaan,
7.
Perjanjian
Pertanggungan Kerabat,
8.
Perjanjian
Serikat,
9.
Perjanjian
Bagi Hasil, dan
10. Perjanjian Ternak
B.
Saran
Kami selaku penyusun menyadari masih jauh dari sempurna dan
tentunya banyak sekali kekurangan dalam pembuatan makalah ini. Hal ini
disebabkan karena masih terbatasnya kemampuan kami.
Oleh karena itu, kami selaku pembuat makalah ini sangat
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Kami juga mengharapkan
makalah ini sangat bermanfaat untuk kami khususnya dan pembaca pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Hadikusuma,
Hilman. Pengantar Ilmu Hukum Adat, (Bandung : Mandar Maju, 2003).
Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus
Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta : Balai Pustaka, 2003).
Sudarsono,
Kamus Hukum, (Jakarta : Rineka Cipta, 2009).
Hapsari,
Dwi Ratna indri “Kontrak Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan Hukum
Islam (Suatu Kajian dalam Perspektif Asas-Asas Hukum)”, dalam Jurnal
Repertorium, ISSN:2355-2646, Edisi 1 Januari-Juni 2014.
Ragawino, Bewa. Makalah Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat
Indonesia.
( Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran).
Jatinangor, 2015
Hutabarat, Samuel M.P.. Penawaran dan Penerimaan dalam Hukum
perjanjian.
( Jakarta: Sinar Grafinda,
2009).
https://ndiilindri.wordpress.com/2011/04/12/makalah-hukum-perjanjian/, diakses pada Sabtu 21 Mei 2017.
https://gemaisgery.blogspot.co.id/2010/06/pengertian-perikatan.html?m=l, diakses pada Sabtu 21 Mei 2017.
https://referensiuntukmu.blogspot.co.id/2016/05/hukum-adat.html?m=l.WSEMWnQxXqA, diakses pada 21 Mei 2017.
http://bowolampard8.blogspot.com/2011/12/hukum-perjanjian-adat.htm, diakses Minggu, 22 Meil 2017.
http://Ueu5639.weblog.esaunggul.ac.idmateri-09-HUKUM-PERIKATAN-ADAT, diakses pada minggu tanggal 22 Mei 2017 jam 18.00.
http://Isfciputat.blogspot.co.id/2014/02/hukum-perjanjian-adat_9288.html?m=, diakses pada minggu tanggal 22 Mei 2017 jam 19.30
[1] Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar
Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta : Balai Pustaka, 2003), hlm. 458
[3] https://ndiilindri.wordpress.com/2011/04/12/makalah-hukum-perjanjian/, diakses pada Minggu, 21 Mei 2017, pukul 09:50
WIB.
[4] https://gemaisgery.blogspot.co.id/2010/06/pengertian-perikatan.html?m=l,
diakses pada Minggu, 21 Mei 2017, pukul 10:05 WIB.
[5] Dwi Ratna Indri Hapsari, “Kontrak
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan Hukum Islam (Suatu Kajian dalam
Perspektif Asas-Asas Hukum)”, dalam Jurnal Repertorium,
ISSN:2355-2646, Edisi 1 Januari-Juni 2014, hlm. 85.
[6] https://ndiilindri.wordpress.com/2011/04/12/makalah-hukum-perjanjian/,
diakses pada Minggu, 21 Mei 2017, pukul 10:15 WIB.
[7] https://referensiuntukmu.blogspot.co.id/2016/05/hukum-adat.html?m=l.WSEMWnQxXqA,
diakses pada Minggu, 21 Mei 2017, pukul
10:40 WIB.
[8] http://bowolampard8.blogspot.com/2011/12/hukum-perjanjian-adat.html
diakses pada minggu, 22 Mei 2017, pukul 10:45 WIB.
[9] Samuel M.P. Hutabarat.
S.H..M.H., Penawaran dan Penerimaan dalam Hukum Perjanjian, hlm. 22 (
Jakarta: Sinar Grafinda, 2009).
( Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Padjadjaran), hlm. 104. Jatinangor, 2015
[12] http://Ueu5639.weblog.esaunggul.ac.idmateri-09-HUKUM-PERIKATAN-ADAT.
Diakses pada minggu tanggal 22 Mei 2017 jam 18.00
[13] Isfciputat.blogspot.co.id/2014/02/hukum-perjanjian-adat_9288.html?m=1.
Diakses pada minggu tanggal 22 Mei 2017 jam 19.30
[14] Prof. H. Hilman Hadikusuma,
SH, Pengantar Ilmu Hukum Adat, (Bandung : Mandar Maju, 2003) hlm. 228
( Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Padjadjaran) hlm. 112, Jatinangor, 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa pesan saya jadilah orang yang jujur. Jangan jadi orang yang plagiat yang tidak mencantumkan sumber referensinya.
Kritik dan Saran sangat saya butuhkan, Demi menciptakan sesuatu yang sangat berguna dan bermanfaat Fiddunya Wal Akhiroh