MAKALAH
LEGISLASI PADA MASA IMAM – IMAM MADZHAB
Dosen Pengampu :
Gusnam Haris, S.Ag., M.Ag
Disusun Oleh :
Kelompok 3
1.
Joko Lestiyo ( 12360020 )
2.
Ahmad Fauzan ( 16360001 )
3.
Aang Sobari Saeful Risal ( 16360012 )
4.
Danial Muhammad Milkiz ( 16360025 )
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2016/2017
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan taufik dan hidayah-Nya
kami dapat menyelesaikan tugas Makalah dengan judul “ legislasi pada masa imam–imam madzhab”.
Sholawat
teriring salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada baginda Nabi Muhammad
SAW, yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah hingga zaman yang terang
benderang.
Tujuan
dibuatnya makalah ini diharapkan agar dijadikan sebagai wawasan kita terhadap
mata kuliah “ Sejarah Hukum Islam ” sesuai dengan tema yang kami angkat.
Penyusun telah berusaha demi keberhasilan dan kesempurnaan makalah ini. Namun,
kami merasa masih terlalu banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mohon
kritikan dan saran yang membangun baik dari dosen pembimbing maupun dari
rekan-rekan mahasiswa.
Tidak
lupa penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada semua ppihak yang telah
membantu dalam penyelesaian Makalah ini, semoga dengan apa yang ada dalam
Makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua. Amiin ...
Yogyakarta, Maret 2017
penyusun
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................... 2
DAFTAR ISI................................................................................................... 3
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Madzhab............................................................................. 4
B.
Faktor
penyebab munculnya Imam – Imam Madzhab......................... 5
C.
Macam
– Macam Imam Madzhab........................................................ 9
D. Pengaruh Perkembangan Fiqh dan Hadits dengan penetapan Islam
pada masa Imam Madzhab.....................................................................14
D. Pengaruh Perkembangan Fiqh dan Hadits dengan penetapan Islam
pada masa Imam Madzhab.....................................................................14
KESIMPULAN............................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 22
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN MADZHAB
Madzhab artinya aliran, golongan, faham, pokok pikiran dari seseorang.
Dengan demikian Bermadzhab adalah mengikuti hasil pemikiran seseorang
atau sekelompok orang dalam hubungannya dengan pelaksanaan hukum islam.
Misalnya, bermadzhab Syafi’i berarti mengikuti pendapat – pendapat Imam Syafi’I
dalam melaksanakan hukum Islam (Fiqh ).
Madzhab Fiqh bermula dari pendapat
individu ( Ulama/ Mujtahid) yang kemudian diikuti oleh banyak orang dan
berakumulasi menjadi keyakinan kelompok. Dasar pelaksanaan madzhab ini adalah
ketaatan kepada imam mujtahid.
Menurut Amir Syarifuddin,
terbentuknya madzhab fiqh ini ditandai oleh beberapa kegiatan yang
mendahuluinya. Yaitu :
1.
Menetapkan
metode berfiqir untuk memahami sumber hukum islam
2.
Menetapkan
istilah hukum yang digunakan dalam fiqh
3.
Menyusun
kitab Fiqh secara sistematis dan mencakup semua masalah hukum.
Dalam Madzhab terkandung dua hal
yang saling berkaitan, yaitu metode dan pendapat / fatwa.
Metode adalah jalan
pikiran / cara yang di tempuh oleh Imam Madzhab dalam menetapkan hukum suatu
peristiwa berdasarkan Al – Qur’an dan Hadits.
Pendapat / Fatwa
adalah kesimpulan atau keputusan hukum suatu peristiwa yang dihasilkan oleh
imam madzhab.
Oleh karena Itu, Bermadzhab dalam
Fiqh ada dua macam, yaitu ;
1.
Bermadzhab
Fil Aqwal
Yaitu mengikuti segala pendapat dari seorang ulama tanpa
mempertimbangkan dasar hukum penetapannya. Atau dikenal dengan Taqlid atau
Imitasi.
2.
Bermadzhab
Fil Manhaj
Yaitu
mengikuti seorang ulama dalam hal metode ijtihadnya, bukan sekedar mengikuti
pendapatnya saja namun disertai dengan pemahaman tentang dasar perbuaatan yang
dilakukan. Atau sering disebut dengan istilah Ittiba’
Hukum
asal bermadzhab adalah Mubah, hal ini berdasarkan pada tiga alasan, yaitu:
1.
Kewajiban
umat Islam adalah mengikuti dan melaksanakan semua ajaran Islam yang termaktub dalam Al – Qur’an dan Hadits
2.
Kedudukan
hukum Fiqh adalah relatif, karena merupakan produk akal manusia ( ulama ) dalam menafsirkan ajaran – ajaran
Islam yang terkandung dalam Al Qur’an dan Hadits.
3.
Para
imam mujtahid menyatakan bahwa semua pendapat mereka adalah keputusan pribadi
yang mengikat hanya kepada diri mereka sendiri. Jika terdapat pendapat yang
lebih kuat ( rajih ) dan lebih mendekati kebenaran, mereka mempersilahkan umat
Islam untuk memilih pendapat tersebut. [1]
B.
FAKTOR – FAKTOR PENYEBAB MUNCULNYA IMAM – IMAM MADZHAB
Faktor munculnya imam madzhab di
karenakan jumlah mujtahid di dunia ini tidak hanya satu otang saja maka besar
kemungkinan terjadi perbedaan-perbedaan dalam hal pengambilan dan ketetapan
suatu hukum islam. Hal ini berbeda ketika di masa rasulullah SAW dimana tidak
akan terjadi perbedaan lantaran nabi sendiri adalah Al-Hakim sehingga
segala sesuatu perdebatan dengan mudah di selesaikan dihadapan nabi.
Seiring
berjalannya waktu dan wafatnya nabi, generasi penerus islam menghadapi
tantangan dalam hal penetapan hukum karena perubahan zaman dan kebudayaan yang
sangat deras, banyak permasalahan yang saat ini terjadi yang tidak ditemukan di
zaman nabi. Untuk itu diperlukan madzhab untuk menetapkan hukum islam.
Awal
terbentuknya madzhab tidak terjadi setelah wafatnya nabi SAW, tetapi terjadi secara
bertahap. Sepeninggal nabi SAW, khulafaurrasyidin memiliki pandangan
sendiri-sendiri dalam menyingkapi sebuah permasalahan, tetapi mereka bukan
termasuk imam madzhab. Timbul suatu pertanyaan mengapa keempat khalifah
tersebut bukan disebut imam madzhab padahal mereka bukan al-hakim dan
berijtihad pada permasalahan yang tidak dilakukan nabi SAW.
Contoh Ijtihad pada masa sahabat
ialah ketika Abu bakar mentapkan jizyah/pajak bagi masyarakat non muslim di
madinah ataupun Umar bin Khattab membentuk baitul mall untuk menjaga keuangan
Negara. Kebijakan-kebijakan tersebut tidak pernah dilaksanakan pada masa nabi,
tetapi mengingat semakin berkembangnya kehidupan ekonomi masyrakat tersebut
maka perlu diambil kebijakan tersebut.
Sebagaimana
diketahui, bahwa ketika agama islam telah tersebar meluas ke berbagai penjuru,
banyak sahabat nabi yang telah pindah tempat dan berpencar-pencar ke seluruh
penjuru dunia. Dengan demikian, kesempatan untuk bertukar pikiran atau
bermusyawarah memecahkan suatu masalah sukar di laksanakan.
Sejalan
dengan pendapat diatas, Qasim Abdul Aziz Khomis menjelaskan bahwa factor-faktor
yang menyebabkan ikhtilaf dikalangan sahabat ada tiga yakni :
1. Perbedaan para sahabat dalam memahami nash-nash al-qur’an
2. Perbedaan para sahabat disebabkan perbedaan riwayat
3. Perbedaan para sahabat dikarenakan ra’yu.
Sementara Jalaluddin Rahmat
melihat menyebab ikhtilaf dari sudut pandang yang berbeda, ia berpendapat bahwa
salah satu sebab utama ikhtilaf diantara para sahabat prosedur penetapan
hukum untuk masalah-masalah baru yang tidak terjadi pada zaman Rasulullah SAW.
Setelah berakhirnya masa sahabat
yang dilanjutkan dengan masa tabi’in, muncullah generasi tabi’it tabi’in.
ijtihad para sahabat dan tabi’in dijadikan suri tauladan oleh generasi
penerusnya yang tersebar diberbagai daerah wilayah kekuasaan islam pada saat
itu. generasi ketiga ini dikenal dengan Masa Tabi’it Tabi’in. didalam
sejarah dijelaskan bahwa masa ini dimulai memasuki abad kedua hijriah, dimana
pemerintahan islam dipegang oleh daulah abbasiyah. Periode ini dalam sejarah
hukum islam juga dianggap sebagai periode gemilangan fiqh islam, dimana lahir
beberapa madzhab fiqh yang panji-panjinya yang dibawa tokoh-tokoh fiqh yang
agung yang berjasa mengintegrasi fiqh islam dan meninggalkan khazanah luar
biasa yang menjadi landasan kokoh bagi setiap ulama fiqh sampai sekarang.
Sebenarnya periode ini adalah
kelanjutan periode sebelumnya, karena pemikiran-pemikiran dibidang fiqh yang
diwakili madzhab ahli hadist dan ahli ra’yu menyebabkan timbulnya madzhab-madzhab
fiqh, dan madzhab-madzhab inilah yang mengaplikasikan pemikiran-pemikiran
operasional. Ketika mamasuki abad kedua hijriah inilah merupakan era kelahiran
madzhab-madzhab hukum dan dua abad kemudian madzhab-madzhab hukum ini telah
melembaga dalam masyrakat islam dengan pola dan karakteristik tersindiri dalam
melakukan istinbath hukum.
Kelahiran madzhab-madzhab hukum
dengan pola dan karakteristik tersindiri ini, tak pelak lagi menimbulkan
berbagai perbedaan pendapat dan beragamnya produk hukum yang dihasilkan. Para
tokoh atau imam madzhab seperti abu hanifah, imam malik, imam syafi’i, imam
ahmad ibn hanbal dan lainnya, masing-masing menawarkan kerangka metodologi,
teori dan kaidah-kaidah ijtihad yang menjadi pijakan mereka dalam menetapkan
hukum.
Metodelogi, teori, dan kaidah-kaidah yang
dirumuskan oleh para tokoh dan para imam madzhab ini, pada awalnya hanya
bertujuan untuk memberikan jalan dan merupakan langkah-langkah atau upaya dalam
memecahkan berbagai persoalan hukum yang dihadapi baik dalam memahami nash
al-qur’an dan al-hadist maupun kasus-kasus hukum yang tidak ditemukan jawabnnya
dalam nash.
Metodelogi, teori, dan kaidah-kaidah yang
dirumuskan oleh para imam madzhab tersebut terus berkembang dan diikuti oleh
generasi selanjutnya dan ia tanpa disadari menjelma menjadi doktrin untuk
menggali hukum dan sumbernya. Dengan semakin mengakarnya dan melembaganya
doktrin pemikiran hukum dimana satu dengan lainnya terdapat perbedaan yang
khas, maka kemudian ia muncul sebagai aliran atau madzhab yang akhirnya menjadi
pijakan oleh masing-masing pengikut madzhab dalam melakukan istinbath hukum.
Teori-teori pemikiran yang telah dirumuskan oleh masing-masing madzhab tersebut
merupakan sesuatu yang sangat penting artinya, karena ia menyangkut penciptaan pola
kerja dan kerangka metodologi, yang sistematis dalam usaha melakukan istinbath
hukum. Penciptaan pola kerja dan kerangka metodelogi tersebut inilah dalam
pemikiran hukum islam disebut ushul fiqh.
Sampai saat ini fiqh ikhtilaf terus
berlangsung, mereka tetap bersilisih paham dalam masalah furu’iyyah, sebagai
akibat dari keanekaragaman sumber dan aliran dalam memahami nash dan
mengistinbathkan hukum yang tidak ada nashnya. Persilisihan itu terjadi antara
pihak yang memperluas dan mempersempit, antara memperlonggar dan memperketat,
antara cenderung berpegang pada zahir nash, antara yang mewajibkan madzhab dan
yang melarangnya. Menurut penulis, perbedaan pendapat dikalangan umat islam
ini, sampai kapan pun dan di tempat manapun akan terus berlangsung dan hal ini
menunjukkan kedinamisan umat islam, karena pola piker manusia terus berkembang.
Pendapat-pendapat inilah yang kemudian melahirkan madzhab-madzhab islam yang
masih menjadi pegangan orang sampai sekarang. Masing-masing madzhab tersebut
memiliki pokok-pokok pegangan yang berbeda yang akhirnya melahirkan pandangan
dan pendapat yang berbeda pula, termasuk diantaranya adalah pandangan mereka
terhadap kedudukan al-qur’an dan as-sunnah.[2]
C.
MACAM – MACAM IMAM MADZHAB
Mazhab fiqih yang
muncul dalam periode ini adalah:
Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali,
Al Laits bin Sa’ad, Al Auza’i, al Hasan al Bashri, Utsman bin Sulaiman, Ishaq
bin Rahawaih, Sufyan at Tsauri, Abu Tsur, Abu Ubaid, Daud bin Ali, Ibnu Jarir
Atthabari (semuanya ahli sunnah), Zaid bin Ali, Ja’far Shadiq (Syi’ah),
Abdullah bin Ibadh (Khawarij).
Dari sekian banyaknya Mazhab
diatas, ada 4 (empat) madzhab yang sangat populer dan masih utuh sampai sekarang, yaitu sebagai
berikut:
1.
Madzhab Hanafi
Pemikiran fiqh dari
mazhab ini diawali oleh Imam Abu Hanifah. Ia dikenal sebagai imam Ahlurra’yi
serta faqih dari Irak yang banyak dikunjungi oleh berbagai ulama di
zamannya.[3]
Mazhab Hanafi dikenal
banyak menggunakan ra’yu, qiyas, dan istihsan. Dalam memperoleh suatu
hukum yang tidak ada dalam nash, kadang-kadang ulama mazhab ini meninggalkan
qaidah qiyas dan menggunakan qaidah istihsan. Alasannya, qaidah umum (qiyas)
tidak bisa diterapkan dalam menghadapi kasus tertentu. Mereka dapat mendahulukan
qiyas apabila suatu hadits mereka nilai sebagai hadits ahad.
Yang menjadi pedoman
dalam menetapkan hukum Islam (fiqh) di kalangan Mazhab Hanafi adalah Al-Qur’an,
sunnah Nabi SAW, fatwa sahabat, qiyas, istihsan, ijma’i. Sumber asli dan
utama yang digunakan adalah Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW, sedangkan yang
lainnya merupakan dalil dan metode dalam meng-istinbat-kan hukum Islam dari
kedua sumber tersebut.
Tidak ditemukan catatan
sejarah yang menunjukkan bahwa Imam Abu Hanifah menulis sebuah buku fiqh. Akan
tetapi pendapatnya masih bisa dilacak secara utuh, sebab muridnya berupaya
untuk menyebarluaskan prinsipnya, baik secara lisan maupun tulisan. Berbagai
pendapat Abu Hanifah telah dibukukan oleh muridnya, antara lain Muhammad bin
Hasan asy-Syaibani dengan judul Zahir ar-Riwayah dan An-Nawadir.
Buku Zahir ar-Riwayah ini terdiri atas 6 (enam) bagian, yaitu:
* Bagian pertama diberi nama al-Mabsut;
* Bagian pertama diberi nama al-Mabsut;
* Bagian kedua al-Jami’ al-Kabir;
* Bagian ketiga al-Jami’ as-Sagir;
* Bagian keempat as-Siyar al-Kabir;
* Bagian kelima as-Siyar as-Sagir; dan
* Bagian keenam az-Ziyadah.
Keenam
bagian ini ditemukan secara utuh dalam kitab Al-Kafi yang disusun oleh Abi
al-Fadi Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Maruzi (w. 344 H.). Kemudian
pada abad ke-5 H. muncul Imam as-Sarakhsi yang mensyarah al-Kafi
tersebut dan diberi judul al-Mabsut. Al-Mabsut inilah yang dianggap
sebagai kitab induk dalam Mazhab Hanafi.
Disamping
itu, Mazhab Hanafi juga dilestarikan oleh murid Imam Abu Hanifah lainnya, yaitu
Imam Abu Yusuf yang dikenal juga sebagai peletak dasar usul fiqh
Mazhab Hanafi. Ia antara lain menuliskannya dalam kitabnya al-Kharaj,
Ikhtilaf Abu Hanifah wa Ibn Abi Laila, dan kitab-kitab lainnya yang tidak
dijumpai lagi saat ini.
Ajaran
Imam Abu Hanifah ini juga dilestarikan oleh Zufar bin Hudail bin Qais
al-Kufi (110-158 H.) dan Ibnu al-Lulu (w. 204 H). Zufar bin Hudail semula
termasuk salah seorang ulama Ahlulhadits.
Berkat
ajaran yang ditimbanya dari Imam Abu Hanifah langsung, ia kemudian terkenal
sebagai salah seorang tokoh fiqh Mazhab Hanafi yang banyak sekali menggunakan
qiyas. Sedangkan Ibnu al-Lulu juga salah seorang ulama Mazhab Hanafi yang
secara langsung belajar kepada Imam Abu Hanifah, kemudian ke pada Imam Abu
Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani.
2.
Mazhab Maliki.
Pemikiran fiqh mazhab
ini diawali oleh Imam Malik. Ia dikenal luas oleh ulama sezamannya sebagai
seorang ahli hadits dan fiqh terkemuka serta tokoh Ahlulhadits.
Pemikiran fiqh dan usul
fiqh Imam Malik dapat dilihat dalam kitabnya al-Muwaththa’ yang disusunnya
atas permintaan Khalifah Harun ar-Rasyid dan baru selesai di zaman Khalifah
al-Ma’mun. Kitab ini sebenarnya merupakan kitab hadits, tetapi karena
disusun dengan sistematika fiqh dan uraian di dalamnya juga mengandung
pemikiran fiqh Imam Malik dan metode istinbat-nya, maka buku ini juga disebut
oleh ulama hadits dan fiqh belakangan sebagai kitab fiqh. Berkat buku ini,
Mazhab Maliki dapat lestari di tangan murid-muridnya sampai sekarang.
Prinsip dasar Mazhab
Maliki ditulis oleh para murid Imam Malik berdasarkan berbagai isyarat yang
mereka temukan dalam al-Muwaththa’. Dasar Mazhab Maliki adalah Al-Qur’an,
Sunnah Nabi SAW, Ijma’, Tradisi penduduk Madinah (statusnya sama dengan sunnah
menurut mereka), Qiyas, Fatwa Sahabat, al-Maslahah al-Mursalah, ‘Urf; Istihsan,
Istishab, Sadd az-Zari’ah, dan Syar’u Man Qablana. Pernyataan ini dapat
dijumpai dalam kitab al-Furuq yang disusun oleh Imam al-Qarafi (tokoh fiqh
Mazhab Maliki). Imam asy-Syatibi menyederhanakan dasar fiqh Mazhab Maliki
tersebut dalam empat hal, yaitu Al-Qur’ an, sunnah Nabi SAW, ijma’, dan
rasio. Alasannya adalah karena menurut Imam Malik, fatwa sahabat dan
tradisi penduduk Madinah di zamannya adalah bagian dari sunnah Nabi SAW. Yang
termasuk rasio adalah al-Maslahah al-Mursalah, Sadd az-Zari’ah, Istihsan, ‘Urf;
dan Istishab. Menurut para ahli usul fiqh, qiyas jarang sekali digunakan Mazhab
Maliki. Bahkan mereka lebih mendahulukan tradisi penduduk Madinah daripada
qiyas.
Para murid Imam Malik
yang besar andilnya dalam menyebarluaskan Mazhab Maliki diantaranya adalah Abu
Abdillah Abdurrahman bin Kasim( w. 191 H.) yang dikenal sebagai murid
terdekat Imam Malik dan belajar pada Imam Malik selama 20 tahun, Abu
Muhammad Abdullah bin Wahab bin Muslim (w. 197 H.) yang sezaman dengan Imam
Malik, dan Asyhab bin Abdul Aziz al-Kaisy (w. 204 H.) serta Abu
Muhammad Abdullah bin Abdul Hakam al-Misri (w. 214 H.) dari Mesir.
Pengembang mazhab ini pada generasi berikutnya antara lain Muhammad bin
Abdillah bin Abdul Hakam (w. 268 H.) dan Muhammad bin Ibrahim al-Iskandari bin
Ziyad yang lebih populer dengan nama Ibnu al-Mawwaz (w. 296 H.).
Disamping itu, ada pula
murid-murid Imam Malik lainnya yang datang dari Tunis, Irak, Hedjzaz, dan
Basra. Disamping itu Mazhab Maliki juga banyak dipelajari oleh mereka yang
berasal dari Afrika dan Spanyol, sehingga mazhab ini juga berkembang di dua
wilayah tersebut.
3.
Mazhab Syafi’i
Pemikiran fiqh mazhab
ini diawali oleh Imam asy-Syafi’i. Keunggulan Imam asy-Syafi’i sebagai ulama
fiqh, usul fiqh, dan hadits di zamannya diakui sendiri oleh ulama sezamannya.
Sebagai orang yang
hidup di zaman meruncingnya pertentangan antara aliran Ahlulhadits dan Ahlurra
‘yi, Imam asy-Syafi ‘i berupaya untuk mendekatkan pandangan kedua aliran ini.
Karenanya, ia belajar kepada Imam Malik sebagai tokoh Ahlulhadits dan Imam
Muhammad bin Hasan asy-Syaibani sebagai tokoh Ahlurra’yi.
Prinsip dasar Mazhab
Syafi’i dapat dilihat dalam kitab usul fiqh ar-Risalah. Dalam buku ini
asy-Syafi’i menjelaskan kerangka dan prinsip mazhabnya serta beberapa contoh
merumuskan hukum far’iyyah (yang bersifat cabang). Dalam menetapkan hukum
Islam, Imam asy-Syafi’i pertama sekali mencari alasannya dari Al-Qur’an. Jika
tidak ditemukan maka ia merujuk kepada sunnah Rasulullah SAW. Apabila dalam
kedua sumber hukum Islam itu tidak ditemukan jawabannya, ia melakukan
penelitian terhadap ijma’ sahabat. Ijma’ yang diterima Imam asy-Syafi’i sebagai
landasan hukum hanya ijma’ para sahabat, bukan ijma’ seperti yang dirumuskan
ulama usul fiqh, yaitu kesepakatan seluruh mujtahid pada masa tertentu terhadap
suatu hukum, karena menurutnya ijma’ seperti ini tidak mungkin terjadi. Apabila
dalam ijma’ tidakjuga ditemukan hukumnya, maka ia menggunakan qiyas, yang dalam
ar-Risalah disebutnya sebagai ijtihad. Akan tetapi, pemakaian qiyas bagi Imam
asy-Syafi ‘i tidak seluas yang digunakan Imam Abu Hanifah, sehingga ia menolak
istihsan sebagai salah satu cara meng-istinbat-kan hukum syara’.
Penyebarluasan
pemikiran Mazhab Syafi’i berbeda dengan Mazhab Hanafi dan Maliki. Diawali
melalui kitab usul fiqhnya ar-Risalah dan kitab fiqhnya al-Umm, pokok pikiran
dan prinsip dasar Mazhab Syafi ‘i ini kemudian disebarluaskan dan dikembangkan
oleh para muridnya. Tiga orang murid Imam asy-Syafi ‘i yang terkemuka sebagai
penyebar luas dan pengembang Mazhab Syafi’i adalah Yusuf bin Yahya
al-Buwaiti (w. 231 H./846 M.), ulama besar Mesir; Abi Ibrahim Ismail bin
Yahya al-Muzani (w. 264 H./878 M.), yang diakui oleh Imam asy-Syafi ‘i
sebagai pendukung kuat mazhabnya; dan ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (w.
270 H.), yang besar jasanya dalam penyebarluasan kedua kitab Imam asy-Syafi ‘i
tersebut.
4.
Mazhab Hanbali
Pemikiran Mazhab
Hanbali diawali oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Ia terkenal sebagai ulama
fiqh dan hadits terkemuka di zamannya dan pernah belajar fiqh Ahlurra’yi kepada
Imam Abu Yusuf dan Imam asy-Syafi’i.
Menurut Ibnu Qayyim
al-Jauziah, prinsip dasar Mazhab Hanbali
adalah sebagai berikut:
a.
An-Nusus
(jamak dari nash), yaitu Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, dan Ijma’
b.
Fatwa
Sahabat
c.
Jika
terdapat perbedaan pendapat para sahabat dalam menentukan hukum yang dibahas,
maka akan dipilih pendapat yang lebih dekat dengan Al-Qur’an dan sunnah Nabi
SAW.
d.
Hadits
mursal atau hadits daif yang didukung oleh qiyas dan tidak bertentangan dengan
ijma’; dan
e.
Apabila
dalam keempat dalil di atas tidak dijumpai, akan digunakan qiyas. Penggunaan
qiyas bagi Imam Ahmad bin Hanbal hanya dalam keadaan yang amat terpaksa.
Prinsip dasar Mazhab Hanbali ini dapat dilihat dalam kitab hadits Musnad Ahmad
ibn Hanbal. Kemudian dalam perkembangan Mazhab Hanbali pada generasi
berikutnya, mazhab ini juga menerima istihsan, sadd az-Zari’ah, ‘urf; istishab,
dan al-maslahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam.
Para pengembang Mazhab Hanbali generasi awal
(sesudah Imam Ahmad bin Hanbal) diantaranya adalah al-Asram Abu Bakar Ahmad bin
Muhammad bin Hani al-Khurasani al-Bagdadi (w. 273 H.), Ahmad bin Muhammad bin
al-Hajjaj al-Masruzi (w. 275 H.), Abu Ishaq Ibrahim al-Harbi (w. 285 H.), dan
Abu al-Qasim Umar bin Abi Ali al-Husain al-Khiraqi al-Bagdadi (w. 324 H.). Keempat
ulama besar Mazhab Hanbali ini merupakan murid langsung Imam Ahmad bin Hanbal,
dan masing-masing menyusun buku fiqh sesuai dengan prinsip dasar Mazhab Hanbali
di atas.[4]
D.
PENGARUH PERKEMBANGAN FIQH DAN HADITS DENGAN PENETAPAN ISLAM PADA
MASA IMAM MADZHAB
Pengaruh
perkembangan hukum Islam baik Fiqh maupun Hadits pada priode ini di antaranya:
a.
Perhatian para khalifah terhadap fiqh dan fuqaha.
Para khalifah
Abbasiyah tidak membatasi perhatiannya terhadap politik saja sebagaimana pada
masa Umayyah, akan tetapi lebih menekankan langkah-langkah agama. Demikian pula
mereka tidak menyepelekan posisi para fuqaha seperti yang telah dilakukan oleh
para khalifah, misalnya Abu Ja’far al-Mansur memberi mereka berbagai
hadiah. Al-Mahdi dan khalifah sesudahnya menjauhkan kaum zindiq dan
menyiksanya, serta al-Rasyid mengkhususkan Abu Yusuf (salah seorang murid dari
Imam Abu Hanifah) sebagai teman bergaul. Demikian pula al-Makmun bergaul
bersama ulama dalam diskusi ilmiah.[5]
Jadi dari
penjelasan ini dapat dipahami bahwa perhatian khalifah terhadap fiqh dan fuqaha
ini telah memberikan pengaruh yang jelas dalam pembentukan hukumterutama
situasi yang diorientasikan oleh para hakim, sehingga apa yang dianjurkan oleh para
hakim, masyarakat cepat merealisasikan tujuan mereka.
b.
Kebebasan Berfikir
Kebebasan
berfikir yang dialami pada masa ini, Sangat besar karena apabila salah seorang
di antara mereka berijtihad dalam mengetahui hukum dengan tenang tanpa dibatasi
oleh suatu kekuatan yang mengkunkung pendapatnya. Namun yang menjadi sumber
rujukannya adalah Alquran dan Sunnah Rasul. Pada waktu itu pemerintah tidak
mengharuskan undang-undang khusus dalam pembentukan hukum dan tidak ada mazhab
tertentu dalam fiqh, sehingga dalam satu masalah yang dihadapkan kepada para
fuqaha akan diperoleh lebih dari satu fatwa hukum, karena masing masing qadhi
dan para mufti berfatwa dengan pendapat hasil ijtihad mereka.
Demikian pula orang yang siap berijtihad, mereka mengikuti mufti
mana saja, karena mazhab belum terbatas dan orang tidak diharuskan untuk mengikuti
satu mazhab tertentu.
c.
Luasnya Wilayah
Kekuasaan Islam
Pada priode ini kekuasaan Islam telah meliputi berbagai macam bangsa dengan
latar belakang tradisi dan strata sosial serta kepentingan yang berbeda-beda. Wilayah
kekuasaan tersebut berkembang luas ke Timur hingga menembus sampai ke negeri
Andalusia (Spanyol). Penduduk yang sangat luas ini sudah merupakan keharusan
adanya undang-undang yang dijadikan pedoman dalam hidup bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, terutama para qadhi dan gubernur, dengan ketetapan
bahwa undang-undang dan pemberian fatwa-fatwa tetap bersumberkan dari syariat.[6]
Olehnya itu
para ulama berusaha mencurahkan segenap kapasitas kemampuannya mengembangkan
seluruh permasalahan yang terjadi kepada sumber-sumber hukum Islam. Karena di
suatu negara banyak dipengaruhi oleh adat kebiasaan, seperti di Irak ahli fiqhi
dihadapkan adat kebiasaan Persia dan Syiria, al-Auza’i dihadapkan adat
kebiasaan dan hubungan sosial yang semuanya bercorak Romawi serta di Mesir
al-Laits bin Saad dan Syafi’i dihadapkan campuran Mesir dengan Romawi, demikan
seterusnya. [7]
Jadi para ulama
berusaha membersihkan apa yang dihadapinya, sebagiannya diterima dan
sebagiannya juga ditolak sampai kehidupan umum daerah itu bercorak Islami,
sehingga dikenal banyak hukum-hukum bersumber dari hadis-hadis dan adat.
berdasarkan pertimbangan kemaslahatan dan hajat tertentu. Hal ini menunjukkan
bahwa perundang-undangan dalam Islam tidak mempersempit kebutuhan hidup dan
tidak mengurangi kemaslahatan.
d.
Pembukuan Ilmu Pengetahuan
Pada priode ini
Alquran sudah dibukukan dan tersebar luas di kalangan umat Islam. Demikain pula
hadis nabi kebanyakan telah dibukukan sejak awal abad ke-2 H. Serta fatwa
sahabat dan tabi’in juga telah dibukukan. Olehnya itu para imam Mujtahid pada
periode ini ketika menghadapi berbagai permasalahan, maka dengan mudah mereka
merujuk kepada Alquran dan Sunnah serta fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in.
Di
antara ilmu-ilmu yang telah dibukukan dan sangat dibutuhkan fiqh adalah tafsir
dan sunnah.
1. Pembukuan Tafsir
Pada masa sahabat Diantara penafsir adalah Ali bin Abi Thalib,
Abdullah bin Abbas, Ibnu Mas’ud dan Ubai bin Abbas, mereka ini menafsirkan
ayat Alquran dan terkadang juga menjelaskan sebab turunnya. Dengan sandaran
yang mereka dengar dari Rasulullah.
Lalu pada masa tabi’in
mereka meriwayatkan dari sahabat. Demikianlah setiap tingkatan meriwayatkan
dari para pendahulunya dan menambahkan apa yang dihasilkan ijtihad mereka.
Kemudian hal ini menyebabkan para ulama berorientasi pada pengumpulan tafsir
dan setiap ulama pada masing-masing daerah mengumpulkan riwayat yang diketahui
tokoh daerahnya, sebagaimana yang dilakukan penduduk Mekah terhadap tafsir Ibnu
Abbas. Penduduk Kufah terhadap tafsir Ibnu Mas’ud.
Pada masa Abbasyiah, para ulama mulai menyusun tafsir berdasarkan
susunan ayat, diantaranya tafsir Ibnu Jurais, tafsir As-Sudiy, tafsir
Muhammad bin Ishak dan sebagainya. Sayangnya tafsir tersebut tidak sampai
kepada kita secara asli, namun isi kandungannya ditulis oleh Ibnu Jarir
al-Tabari.
Dalam kitabnya yang terkenal tafsir al-Thabari, merupakan satu
kitab tafsir yang menyimpulkan hadis-hadis dan pendapat-pendapat terdahulu.[8]
Jadi pada periode ini pada dasarnya bukan hanya Alquran telah dibukukan akan
tetapi tafsir-tafsir Alquran juga banyak telah dibukukan, hal ini memudahkan
memahami sumber hukum. Karena diketahui juga bahwa pada masa Abbasyiah ilmu
yang timbul dengan berbagai macamnya, seperti nahwu, sharaf, tarikh dan lainnya
yang membantu memahami isi kandungan Alquran.
2. Pembukuan Sunnah Rasulullah.
Pembukuan
sunnah ini resmi dilakukan pada masa Khalifah Umar bin
Abdul Aziz dan orang yang
pertama-tama mengumpulkan hadis tersebut adalah Abu Bakar Muhammad bin Amir
bin Hazim dan Ibnu Syihab al-Zuhri yang mengumpulkan hadis yang ada di
Madinah.
Sejak masa itu dimulai pembukuan hadis yang merupakan materi pokok
fiqhi lalu dilanjutkan para ulama, seperti Ibnu Juraij di Mekah, Anas bin Malik
di Madinah dan Rabi’ bin Shabih di Basrah. Hanya saja bukan semata-mata hadis
yang dikumpulkan tetapi masih bercampur dengan pendapat sahabat dan fatwa-fatwa
tabi’in.
Pada akhir abad II lalu diriwayatkan hadis hanya semata-mata dari
nabi, dalam bentuk musnad seperti musnad Ahmad bin Hanbal, kemudian dilanjutkan
oleh generasi berikutnya yang berusaha membedakan antara hadis sahih dan daif.
Lalu mereka menyusun hadis berdasarkan bab fiqhi. Mereka yang melakukan hal ini
seperti para tokoh yang enam yaitu Imam Bukhari, Imam Muslim, Abu Dawud,
al-Turmudzi, Ibnu Majah dan al-Nasa’i. Buku-buku mereka dikenal dengan اﻟﺴﺘﺔ ﻛﺘﺐ Pada periode ini muncul tokoh-tokoh yang memiliki bakat dan
kemampuan yang didukung oleh situasi dan kondisi yang ada, sehingga hukum Islam
semakin berkembang, seperti Abu Hanifah (150 H/767 M), Malik (179 H/798 M),
Syafi’i (204 H/820 M), dan Ahmad bin Hanbal (241 H/955 M) serta sahabat mereka
dan tokoh tokoh lainnya yang semasa dengan mereka. Keempat tokoh inilah yang
besar pengaruhnya dalam periode ini.
Setelah terjadinya pembukuan
tafsir dan sunnah, maka sumber-sumber hukum Islam pada periode pembukuan ini
ada 4 (empat) :
1. Alquran
2. Sunnah
3. Ijma’
4. Ijtihad dengan metode qiyas atau ijtihad dengan salah satu
metode istinbath.
Apabila seorang mufti
mendapatkan ketetapan hukum pada suatu masalah dalam Alquran atau sunnah, maka
dia harus berpedoman kepada ketetapan nash tersebutkalau tidak didapatkan dalam
Alquran dan sunnah, namun dia mengetahui ketetapan hukumnya berdasarkan ijma’
para mujtahid, maka dia harus berpegang dan memberi fatwa hukum berdasarkan
ijma’ tersebut. Apabila tidak didapatkan dari Alquran, sunnah dan ijma’, maka
barulah mereka berijtihad dan beristinbath sesuai dengan petunjuk syariat.
KESIMPULAN
a.
Madzhab artinya aliran, golongan, faham, pokok pikiran dari seseorang.
Dengan demikian Bermadzhab adalah mengikuti hasil pemikiran seseorang
atau sekelompok orang dalam hubungannya dengan pelaksanaan hukum islam.
b.
Munculnya
Mazhab-mazhab fiqh diawali dari munculnya mazhab ahli ra’yi dan mazhab ahli
hadis. Mazhab inilah yang mengaplikasikan pemikiran -pemikiran operasional
hukum Islam
c.
Mazhab
fiqih yang muncul dalam periode ini adalah:
Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali,
Al Laits bin Sa’ad, Al Auza’i, al Hasan al Bashri, Utsman bin Sulaiman, Ishaq
bin Rahawaih, Sufyan at Tsauri, Abu Tsur, Abu Ubaid, Daud bin Ali, Ibnu Jarir
Atthabari (semuanya ahli sunnah), Zaid bin Ali, Ja’far Shadiq (Syi’ah),
Abdullah bin Ibadh (Khawarij).
d.
Ada
4 (empat) madzhab yang sangat populer dan masih utuh sampai sekarang, yaitu Mazhab
Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali.
e.
Metode
Istimbat Abu Hanifah
a.
Al Quran
b.
Hadis
Nabi Yang Shahih
c.
Ijma’
Sahabat Nabi
d.
Qiyas
e.
Istihsan
(Kebaikan Umum)
f.
Adat
Masyarakat Setempat
f. Metode Istimbat Imam Malik
a.
Al Quran
b.
Hadis
Nabi Yang Shahih
c.
Ijma’ ‘Amalan Ahlu Madinah
d.
Qiyas
e.
Maslahah Mursalah/Istislah
g. Metode Istimbat Imam Syafi’i
a.
Al Quran
b.
Hadis Shahih
c.
Ijma’
Para Mujtahid
d.
Fatwa
Sahabat
e.
Qiyas
h. Metode Istimbat Ahmad bin Hambal
a.
Al
Quran
b.
Hadis
Nabi
c.
Fatwa
Sahabat
d.
Hadis
Mursal Dan Dha’if
e.
Qiyas
i.
Sebab
– sebab terjadinya perbedaan dalam Bermadzhab, sebagai berikut :
a.
Perbedaan
cara istimbath para fuqaha, watak serta kesiapan ilmiah mereka, sehingga ada
yang keras,ada yang moderat, dan toleran.
b.
Lingkungan
hidup fuqaha Islam berbeda macam dan kecendrungannya, sehingga perlu suatu
penyesuaian.
c.
Perbedaan
bukanlah pada hal-hal pokok, semua terikat dengan hukum fiqih yang disepakati;
al-Quran, as-Sunnah, ijma’ dan ra’yu yang disyariatkan.
d.
Perbedaan
dalam mendapatkan hadis tertentu
e.
Beda
pemahaman terhadap suatu nash
f.
Metode
pengambilan hukum yang berbeda.
g.
Pengaruh
perkembangan hukum Islam baik Fiqh maupun Hadits pada priode ini di antaranya:
a.
Perhatian
para khalifah terhadap fiqh dan fuqaha.
b.
Kebebasan
Berfikir
c.
Luasnya
Wilayah
d.
Pembukuan
Ilmu Pengetahuan
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab
Khallaf, Khulasah Tarikh al – Tasyri al – Islamy, (cet. I : Jakarta : Raja
Grafindo, 2001)
Ahmad
Asy – Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Madzhab, ( Jakarta,
Hamzah, 2011 )
Dr. Ali Sodiqin, Dkk. Fiqh Ushul Fiqh; Metodologi dan
Implementasinya di Indonesia, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014
Muhammad Ali as
– Sayis, Tarikh al – Fiqh al – islami. Diterjemahkan oleh Dedi Junaidi dengan
judul “Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam” (Cet. I.
Jakarta. Akademika Arresindo, 1996)
M. Quraisy
Shihab. Membumikan Al – Quran ( Cet. VI Bandung. Mizan, 1994 )
M. Syuhudi
Islmail. Pengantar Ilmu Hadits ( Cet. II, Bandung : Angkasa, 1994 )
[1]
Dr. Ali Sodiqin, Dkk. Fiqh Ushul Fiqh; Metodologi dan Implementasinya di
Indonesia, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014
[3] Ahmad Asy – Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat
Imam Madzhab, ( Jakarta, Hamzah, 2011 )
[4]
https://kabarislamia.com/2012/02/11/mengenal-imam-hanafi-imam-malik-imam-syafii-dan-imam-hambali/
[5] M.
Syuhudi Islmail. Pengantar Ilmu Hadits ( Cet. II, Bandung : Angkasa,
1994 )
[6]
Abdul Wahab Khallaf, Khulasah Tarikh al – Tasyri al – Islamy, (cet. I : Jakarta
: Raja Grafindo, 2001)
[7]
Muhammad Ali as – Sayis, Tarikh al – Fiqh al – islami. Diterjemahkan oleh Dedi
Junaidi dengan judul “Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam” (Cet.
I. Jakarta. Akademika Arresindo, 1996)
[8] M.
Quraisy Shihab. Membumikan Al – Quran ( Cet. VI Bandung. Mizan, 1994 )