Analisis Putusan Mahkamah Agung
tentang
“HAK ANAK SEBAGAI AHLI WARIS DALAM PERKAWINAN SIRI”
1) Mahkamah Agung menolak itsbat nikah karena perkawinan siri tersebut dilangsungkan setelah berlakunya UU Perkawinan Tahun 1974, dan sebagai konsekuensinya, MIR tidak bisa mendapat warisan dari Almarhum M; dan
2) sebagai solusi, alternatif hukum yang bisa diupayakan adalah pembaruan pengaturan itsbat nikah melalui judicial review terhadap huruf a angka 22 Penjelasan Pasal 49 ayat (2) UU Peradilan Agama Tahun 2006 atau hakim bisa saja memberikan wasiat wajibah. ( Tobroni, 2015 ).
Daftar Pustaka
Tobroni, Faiq. “ Hak Anak sebagai Ahli Waris dalam Perkawinan Siri “.
Jurnal Yudisial, Vol.8 No. 1 April 2015. Alamat Acces jurnal.komisiyudisial.go.id/index.php/jy/article/view/45
Berikut ini adalah analisis saya tentang Putusan Mahkamah Agung diatas sebagai berikut :
Sebelum masuk ke pembahasan, saya akan menjelaskan dulu apa yang dimaksud dengan Nikah Siri dan Itsbat Nikah. Menurut KBBI Nikah Siri adalah pernikahan yang hanya disaksikan oleh seorang modin dan saksi, tidak melalui Kantor Urusan Agama,menurut agama Islam sudah sah. Nikah Siri adalah suatu pernikahan yang sah secara agama baik dari syarat maupun rukunnya, tetapi tidak tercatat dalam keperdataan. Sedangkan Itsbat Nikah menurut KBBI adalah penetapan tentang kebenaran ( keabsahan ) nikah. Itsbat Nikah adalah upaya hukum yang dilakukan untuk mendapatkan hubungan keperdataan.
Setelah saya membaca “Kajian Putusan Nomor 329K/AG/2014” tentang “ Hak Anak sebagai Ahli Waris dalam Perkawinan Siri “. Yang ditulis oleh Faiq Tobroni, saya sependapat dengannya, karena Kasasi yang diajukan AM dengan Nomor Perkara 329K/AG/2014 telah melewati proses hukum yang sangat panjang. Akar dari segala gugatan tersebut adalah dari kasus perkawinan siri antara AM dengan M. Perkawinan tidak tercatat tersebut telah melahirkan seorang anak bernama MIR pada tahun 1996. Celakanya tak hanya mendapat penolakan dari almarhum, bahkan keluarga besar M pun menolak untuk memberikan pengakuan pernikahan siri M dengan AM yang berarti juga menolak untuk mengakui anak lelaki AM sebagai darah daging M (www.fimela.com, 27 Februari 2013).
Putusan Kasasi MA memperkuat putusan pengadilan sebelumnya untuk tidak memberlakukan Putusan MK kepada kasus MIR dan AM karena prinsip non retroactive. Selain itu, putusan juga menolak untuk menetapkan pengesahan perkawinan siri AM dan M. Alasannya adalah perkawinan siri mereka dilangsungkan pada 20 Desember 1993 atau setelah berlakunya UU Perkawinan 1974. Meskipun berhukum sah menurut hukum Islam namun tidak dicatatkan pada kantor urusan agama, pengadilan tetap tidak bisa melakukan pengesahan perkawinan (itsbat nikah) sesuai huruf a angka 22 Penjelasan Pasal 49 ayat (2) UU Peradilan Agama 2006. Sebagai konsekuensi hukumnya, majelis hakim menolak untuk memberikan hubungan keperdataan antara MIR sebagai anak luar kawin dengan M sebagai bapak biologisnya. Dengan demikian, MIR tidak bi6sa mendapatkan warisan dari almarhum M.
Kesimpulan
Keberadaan perkawinan siri AM dan M sebenarnya berhukum sah jika dianalisis secara secara hukum agama karena memang pelaksanaannya sudah memenuhi rukun nikah dalam ketentuan fikih.
Selanjutnya, sebagai perlindungan bagi anak hasil nikah siri, wasiat wajibah bisa dipergunakan untuk memberikan bagian harta peninggalan kepada anak hasil nikah siri dari bapak biologisnya selama ketentuan perundang-undangan belum mendukung.
Disusun oleh :
Nama : Aang Sobari Saeful Risal
NIM : 16360012
Kelas : Perbandingan Madzhab A
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa pesan saya jadilah orang yang jujur. Jangan jadi orang yang plagiat yang tidak mencantumkan sumber referensinya.
Kritik dan Saran sangat saya butuhkan, Demi menciptakan sesuatu yang sangat berguna dan bermanfaat Fiddunya Wal Akhiroh