MAKALAH
HAJI DAN UMRAH
Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah
Perbandingan Fiqh Ibadah
Yang diampu
oleh : Bapak. Fuad Mustafid, M.Ag
Disusun Oleh :
Kelompok 4
1.
Abdul Siddik (
13360027 )
2.
Aang Sobari Saeful Risal (
16360012 )
3.
Faisol Muzakky (
16360019 )
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2016/2017
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur
kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan taufik dan hidayah-Nya kami
dapat menyelesaikan tugas Makalah dengan judul “Haji dan Umrah”.
Sholawat
teriring salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada baginda Nabi Muhammad
SAW, yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah hingga zaman yang terang
benderang.
Tujuan dibuatnya makalah ini diharapkan
agar dijadikan sebagai wawasan kita terhadap mata kuliah “ Perbandingan Fiqh Ibadah ” sesuai dengan tema yang kami angkat.
Penyusun telah berusaha demi keberhasilan dan kesempurnaan makalah ini. Namun,
kami merasa masih terlalu banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mohon
kritikan dan saran yang membangun baik dari dosen pembimbing maupun dari
rekan-rekan mahasiswa.
Tidak lupa penyusun mengucapkan banyak
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian Makalah
ini, semoga dengan apa yang ada dalam Makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita
semua. Amiin ...
Yogyakarta, Mei 2017
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................... 2
DAFTAR ISI................................................................................................... 3
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Haji Dan Umrah, Kedudukannya Dalam Islam, Hikmahnya Dan Hukumnya ......................................................................................... 4
B.
Pendapat
para Ulama Madzhab tentang orang – orang yang diwajibkan berhaji ........................................................................................................... 16
C.
Pendapat
para Ulama Madzhab tentang waktu – waktu pelaksanaan ibadah Haji ............................................................................................................20
D.
Pendapat
para Ulama Madzhab tentang macam – macam pelaksanaan
Ibadah Haji ............................................................................................................22
KESIMPULAN............................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 25
PEMBAHASAN
A.
DEFINISI HAJI DAN UMRAH, KEDUDUKANNYA DALAM ISLAM, HIKMAHNYA DAN
HUKUMNYA
1.
Definisi Haji dan Umrah
Dalam bahasa Arab, Haji artinya pergi, menuju. Al – Kholil berkata
Haji artinya sering pergi ke orang yang kau agungkan.
Menurut pengertian Syariat, Haji artinya pergi ke Ka’bah untuk
melaksanakan amalan – amalan tertentu. Atau, Haji adalah berziarah ke tempat
tertentu pada waktu tertentu guna melaksanakan amalan tertentu. Ziarah artinya
pergi. Tempat tertentu adalah Ka’bah dan Arafah. Waktu tertentu adalah bulan –
bulan haji, yaitu Syawwal, Dzulqo’dah Dzulhijjah, serta sepuluh hari pertama
Dzulhijjah. Masing – masing amalan punya waktu khusus. Misalnya waktu Thowaf
(menurut Jumhur) adalah sejak terbit Fajar di hari Qurban sampai akhir umur,
waktu Wukuf di Arofah adalah sejak condongnya matahari pada hari Arofah hingga
terbitnya Fajar pada hari Qurban. Amalan tertentu artinya datang dalam keadaan
berihram dengan niat berhaji (pergi) ke tempat – tempat tertentu.[1]
2.
Sejarah pensyariatan Haji
Menurut
pendapat yang benar, Haji diwajibkan pada akhir tahun 9 H. Ayat yang
mewajibkannya adalah firman Allah SWT.
¬!ur....... n?tã Ĩ$¨Z9$# kÏm ÏMøt7ø9$# ....... ÇÒÐÈ
“….Dan
(diantara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan Ibadah Haji ke
Baitullah….”. ( Q.S. Al – Imran : 97 )
Ayat ini turun pada ‘Aamul Wufuud (tahun datangnya berbagi
Delegasi yang menyatakan masuk Islam) di ahkir tahun 9 H. Ini adalah pendapat
mayoritas Ulama. Setelah Haji diwajibkan, Nabi SAW. Menunda pelaksanaannya tapi
tidak sampai satu tahun penuh, beliau menundanya sampai tahun 10 H karena ada
udzur. Yaitu karena ayat tersebut turun setelah habisnya waktu Haji. Haji
beliau setelah Hijrah hanya satu kali,
yaitu pada tahun 10 H, sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim.
Adapun Umrah, dalam Bahasa Arab artinya Ziarah. Menurut pendapat
lain, Umrah artinya pergi ke suatu tempat yang berpenghuni, ibadah ini disebut
Umrah karena ia boleh dilaksanakan sepanjang umur.
Adapun pengertian Umrah dalam istilah syariat adalah pergi ke
Ka’bah untuk menunaikan ibadah, yaitu Tawaf dan Sa’i. Umrah tidak bisa diwakili
oleh Haji meskipun Haji mengandung amalan – amalan Umrah.[2]
3.
Kedudukan Haji dan Umrah dalam Islam serta Hikmahnya
Haji adalah rukun Islam yang kelima. Allah mewajibkannya atas orang
yang mampu. Demikian pula dengan Umrah. Kedua – dua nya wajib menurut Madzhab
Syafi’i dan Hambali, berdasarkan firmannya :
(#qJÏ?r&ur ¢kptø:$# not÷Kãèø9$#ur ¬! …..4
ÇÊÒÏÈ
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena
Allah...” ( Q.S. Al – Baqarah : 196 )
Sedangkan menurut Madzhab Maliki dan Hanafi,
Umrah adalah sunnah. Sebagaimana Nabi melaksanakan Umrah empat kali, semuanya
dalam bulan Dzulqo’dah, kecuali Umrah yang dilaksanakan bersaa hajinya. Umrah
yang pertama beliau kerjakan dari Hudaibiyah pada tahun 6 H, yang kedua pada
tahun 7 H ( dan ini dikenal dengan Umrah Qodho ), yang ketiga pada waktu
penaklukan Makkah tahun 8 H, dan yang keempat bersamaan dengan yang hajinya
tahun 10 H ( Ihramnya beliau lakukan pada bulan Dzulqo’dah, sedang amalan –
amalannya beliau kerjakan pada bulan Dzulhijjah ).
Qodhi Husen, seorang ulama madzhab Syafi’i,
berkata “ Haji adalah ibadah yang paling afdol sebab ia mencakup harta dan
badan”. Al – Hulaimi berkata, “ Haji menggabungkan makna – makna semua ibadah.
Orang yang berhaji seolah – olah melakukan puasa, sholat, i’tikaf, zakat,
ribath ( menjaga perbatasan dari serangan musuh ), dan perang di jalan Allah.
Kita telah diseru untuk melaksanakannya ketika kita masih berada di tulang
sulbi bapak – bapak kita, sama seperti iman yang merupakan ibdah faling afdol”.
Yang rajih menurut madzhab Syafi’i dan
Hambali, sholat lebih afdol dari pada haji sebab sholat adalah tiang agama.
a.
Apakah Haji lebih afdol dari pada Jihad?
Penjelasan tentang amal yang paling afdol dalam sejumlah
hadits tidak sama. Terkadang yang disebut afdol adalah Jihad, kadang Iman,
kadang Sholat, dan adakalanya ibadah yang lain. Misalnya, hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairah.
سُئِلَ
رَسُوْلُ اللَّهِ صلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ : أَيُّ الْأَعْمَالِ أَفْضَلُ؟
قَالَ : إِيْمَانٌ بِاللَّهِ وَبِرَسُوْلِهِ, قِيْلَ : ثُمَّ مَاذَا؟ قَالَ :
جِهَادٌ فِيْ سَبِيْلِ اللَّهِ, قِيْلَ : ثُمَّ مَاذَا؟ قَالَ : حَجٌّ مَبْرُوْرٌ
“Rasulullah
SAW pernah ditanya, Amal apa yang paling afdol? Beliau menjawab, iman kepada
Allah dan rasul-nya, beliau ditanya lagi, setelah itu amal apa? Beliau
menjawab, jihad dijalan Allah. Beliau ditanya lagi, selanjutnya apa? Beliau
menjawab, haji yang mabrur”.
Juga
hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah oleh jamaah kecuali Abu Dawud.
اَلْعُمْرَةُ إِلَىَ الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا
بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌإِلَّا الْجَنَّةَ
“Umrah hingga umrah berikutnya adalah kafarat
(penghapus) dosa yang dilakukan antara keduanya, dan ganjaran bagi haji yang
mabrur tidak lain adalah surga”.
Haji yang mabrur artinya yang diterima oleh Allah. Imam an – Nawawi
men-tarjih pendapat haji yang mabrur adalah haji yang tidak tercampuri dosa
apapun.
Imam asy-Syaukani menulis, pendapat yang benar tentang penggabungan
hadits – hadits (yang tidak sama) ini adalah penjelasan keutamaan tersebut
berbeda – beda karena disesuaikan dengan orang yang diajak bicara. Jika orang
yang sedang diajak bicara itu orang yang berperan penting dalam pertempuran dan
kuat bertanding melawan musuh, maka dikatakan kepadanya bahwa amal yang paling
afdol adalah jihad. Jika yang diajak bicara adalah orang yang banyak bicara
adalah orang yang banyak harta, dikatakan kepadanya bahwa amal yang paling
afdol adalah sedekah. Demikian seterusnya, perbedaan keutamaan amal itu
disesuaikan dengan masing – masing orang yang diajak bicara.
Menurut madzhab Maliki, haji (meskipun hanya Tatawwu’) lebih afdal
dari pada jihad, kecuali dalam situasi adanya kekhawatiran terhadap serangan
musuh, dalam kondisi demikian jihad lebih afdal dari pada haji Tawwatu.[3]
b.
Hikmah pensyariatan Haji
Haji punya beberapa faedah, Individual dan Komunal. Faedah – faedah
yang bersifat Individual antara lain
sebagai berikut :
1)
Haji
menghapus dosa – dosa kecil dan menyucikan jiwa dari resapan – resapan maksiat.
2)
Qodhi
Iyadh berkata, Ahlus Sunnah sepakat bahwa dosa – dosa besar hanya dapat
terhapus dengan tobat. Tidak seorang pun yang berpendapat bahwa uatang meskipun berupa hak Allah (misalnya
utang Sholat dan Zakat) bisa gugur.
3)
Haji
mengampuni dosa dan melenyapkan kesalahan, kecuali yang berkaitan dengan hak –
hak manusia, sebab hak – hak ini berkaitan dengan Dzimmah (tanggungan).
4)
Haji
menyucikan jiwa, membuatnya jernih dan murni kembali. Hal ini akan menyegarkan
kehidupan, meningkatkan spirit manusia, dan menguatkan harapan dan baik sangka
kepada Allah SWT.
5)
Haji
memperkuat Iman, memperbaharui janji dengan Allah, membantu terlaksananya tobat
yang tulus, mendidik jiwa, menghaluskan perasaan, dan merangsang emosi
kerinduan kepada Baitulloh.
6)
Haji
mengingatkan kepada seorang mukmin akan masa lampau islam, akan jihad nabi dan
generasi salaf yang telah menyinari dunia dengan amal sholeh.
7)
Haji
membiasakan manusia agar bersabar menanggung kesusahan, mengajarkan sikap
disiplin dan komitmen terhadap perintah, sehingga seseorang dapat menikmati
kesusahan di jalan Allah dan mendorongnya untuk berqurban dan berlaku itsar
(mengutamakan orang lain atas diri sendiri).
8)
Dengan
Haji, seorang manusia melaksanakan syukur nikmat kepada tuhannya, baik nikmat
harta maupun nikmat kesehatan.
9)
Adapun
klaim bahwaHaji merealisasikan syukur nikmat, alasannya adalah sebagian ibadah
itu mengutamakan aspek badan dan sebagian lagi mengutamakan aspek harta,
sedangkan haji adalah ibadah yang hanya dapat terlaksana dengan badan dan
harta.
Adapun faedah –
faedah haji yang bersifat komunal antara lain sebagai berikut :
1)
Dengan
haji menyebabkan terjadinya saling perkenalan antar individu ujmat ini yang
berbeda - beda warna kulit, bahasa dan
negeri mereka.
2)
Haji
menampakan kuatnya hubungan persaudaraan antara kaum muslimin di seluruh
penjuru dunia.
3)
Dalam
haji, semua orang merasa bahwa mereka sederajat.
4)
Haji
membantu penyebaran dakwah islam, menopang aktivitas para dai di seluruh
penjuru dunia.[4]
4.
Hukum Haji dan Umrah
Para ulama sepakat bahwa Haji wajib satu kali seumur hidup, dengan
dalil Al – Quran dan As – Sunnah.
Dalil dari Al – Quran adalah firman-nya,
3¬!ur..... n?tã Ĩ$¨Z9$# kÏm ÏMøt7ø9$# Ç`tB tí$sÜtGó$# Ïmøs9Î) WxÎ6y 4
`tBur txÿx. ¨bÎ*sù ©!$# ;ÓÍ_xî Ç`tã tûüÏJn=»yèø9$# ÇÒÐÈ
“.......mengerjakan haji adalah kewajiban
manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan
ke Baitullah[216]. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya
Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”. (Q.S. Al – Imran : 97)
Ada riwayat bahwa Ibnu Abbas menafsirkan
begini, “Barang siapa menjadi kafir karena meyakini bahwa haji itu tidak
wajib…”. Allah berfirman pula,
(#qJÏ?r&ur ¢kptø:$# not÷Kãèø9$#ur ¬! ÇÊÒÏÈ.....
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah.....” (Q.S. Al – Baqarah : 196)
Dia berfirman pula,
bÏir&ur Îû Ĩ$¨Y9$# Ædkptø:$$Î/ qè?ù't Zw%y`Í 4n?tãur Èe@à2 9ÏB$|Ê úüÏ?ù't `ÏB Èe@ä. ?dksù 9,ÏJtã ÇËÐÈ (#rßygô±uÏj9 yìÏÿ»oYtB öNßgs9 (#rãà2õtur zNó$# «!$# þÎû 5Q$r& BM»tBqè=÷è¨B 4n?tã $tB Nßgs%yu .`ÏiB ÏpyJÎgt/ ÉO»yè÷RF{$# (
(#qè=ä3sù $pk÷]ÏB (#qßJÏèôÛr&ur }§Í¬!$t6ø9$# uÉ)xÿø9$# ÇËÑÈ
27. Dan berserulah kepada manusia untuk
mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan
mengendarai unta yang kurus[984] yang datang dari segenap penjuru yang jauh,
28. Supaya mereka menyaksikan
berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari
yang telah ditentukan[985] atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka
berupa binatang ternak[986]. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan
(sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.
(Q.S.
Al – Hajj : 27 - 28)
Dalil dari sunnah adalah sabda nabi saw.
بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لَااِلَهَ اِلَّا اللهُ
وَاَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَاِقَامِ الصَلَاةِ وَإِيْتَاءِالزَّكَاةِ
وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
“Islam dibangun diatas
lima perkara, bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah
utusan Allah, mendirikan sholat, membayar zakat, haji ke Baitulloh, dan puasa
Ramadhan”.
Dalil bahwa haji hanya wajib satu kali seumur hidup adalah hadits
Abu Hurairah, yang artinya ;
“suatu ketika Rasulullah berkhutbah kepada kami, sabda beliau,
wahai saudara – saudara sekalian, Allah telah mewaibkan Haji atas kalian, maka
berhajilah, seorang laki- laki berkata, apakah setiap tahun, wahai Rasulullah?
Beliau tidak menyahut, setelah di ajukanpertanyaan itu tiga kali, beliau
menjawab, seandainya kujawab ya, niscaya ia wajib setiap tahun, dan pasti
kalian tidak mampu”.
Kewajiban satu kali ini diperkuat dengan kaidah Ushul Fiqh, “ Suatu
perintah tidak menuntut untuk di laksanakan berulang kali”. Jadi, perintah Al –
Qur’an untuk menunaikan ibadah Haji harus dilakukan berkali – kali.
Adapun hadits Al – Baihaqi dan Ibnu Hibban, yang memerintahkan
untuk berhaji setiap lima tahun, diartikan bahwa perintah tersebut bersifat
anjuran (sunnah). Hadits tersebut diriwayatkan dari Abu Sa’id Al – Khudri,
bahwa Rasulullah bersabda, yang artinya :
“seorang hamba yang telah kuberi kesehatan jasmani dan kelapangan
rezeki namun tidak sama sekali idak datang kepada-ku (untuk berhaji) padahal
sudah lewat lima tahun, maka sungguh dia tidak mendapat rahmat-ku”.
Terkadang haji bisa menjadi wajib lebih dari satu kali karena suatu
hal, misalnya karena nadzar. Haji juga bisa menjadi wajib pula pada waktu qodo
apabila seseorang merusak haji Tatawwu’ nya.
Haji bisa pula berhukum haram, misalnya berhaji dengan harta yang
haram. Terkadang ia berhukum makruh, seperti pergi haji tanpa izin dari orang
yang wajib dimintai izinnya. Kemakruhan ini menurut madzhab Hanafi, bersifat
Tahriimiyyah (mendekati haram).
Para ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanafi menyebutkan bahwa
meskipun pelaksana haji berbuat maksiat dengan berangkat memakai harta yang
haram, hajinya terhitung sah, baik hajinya itu wajib maupun sunnah. Sama
seperti hukum mengerjakan sholat ditanah hasil rampasan. Haji fardhu maupun
sunnahtersebut telah gugur dari tanggungannya, sebab tidak ada kontradiksi
antara keabsahan dan kemaksiatan. Madzhab Hambali berbeda pendapat , mereka
tidak membolehkan haji dengan memakai harta yang haram, sebab menurut mereka
tidak sah sholatdi tanah hasil rampasan.
a.
Jenis Kefardhuan
Nusuk itu ada yang berhukum Fardu ‘ain, yaitu bagi orang yang belum
pernah berhaji, dengan syarat – syarat yang akan dijelaskan nanti, ada pula
yang berhukum fardhu kifayah, yaitu menghidupkan ka’bah setiap tahun dengan
haji dan umrah. Ada pula yang bersifat murni tathawwu, dan ini hanya berlaku
bagi kaum hamba sahaya dan anak – anak. Ada pula yang berhukum manhub (sunnah)
setiap lima tahun.
b.
Pengulangan Umrah
Menurut madzhab Syafi’i, Hambali dan Hanafi, seseorang boleh
berumrah berkai – kali dalam setahun, sebab Aisyah pernah berumrah berkali –
kali dalam sebulan atas perintah Nabi Saw. Umrah yang pertama bersamaan dengan
haji Qiran-nya, sedangkan yang kedua setelah hajinya. Alasan yang lainnya
adalah Nabi pernah bersabda, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim
dari Abu Hurairah. Yang artinya :
“Umrah
hingga umrah berikutnya menjadi penghapus dosa – dosa yang dilakukan antara
keduanya”.
Sementara madzhab Maliki berpendapat bahwa mengulangi umrah dalam
setahun berhukum makruh. Kata An – Nakha’I para sahabat dulu hanya berumrah
satu kali dalam setahun, an Nabi tidak pernah melakukan umrah lebih dari sekali
dalam setahun.
c.
Apakah kewajiban Haji itu harus segera dilaksanakan atau boleh
ditunda?
Abu Hanifah, Abu Yusuf, Mdzhab Maliki (menutut yang paling rajih
diantara dua pendapat mereka), dan madzhab Hambali berkata, setelah terpenuhi
kemampuan dan syarat – syarat lainnya, haji itu wajib dilaksanakan segera pada
tahun pertama, artinya pada awal waktu yang memungkinkan untuk berangkat. Jika
dia menundanya sampai bertahun – tahun, dia termasuk fasik dan kesaksiannya
tidak bisa di terima, sebab penundaanya adalah maksiat kecil (dia tidak jadi
fasik jika hanya melakukannya satu kali, tetapi jika ia terus melakukannya lagi
maka dia termasuk fasik).
Madzhab Syafi’i dan Muhammad (dari madzhab Hanafi) berpendapat
bahwa kewajiban haji boleh ditunda
pelaksanaanya. Ini bukan berarti harus di tunda, melainkan tidak harus
dilaksanakan dengan segera. Bagi orang yang berkewajiban haji atau umrah entah
dengan berangkat sendiri atau diwakilkan kepada orang lain, disunnahkan untuk
tidak menundanya dari tahun terpenuhinya kesanggupan, agar semakin cepat
tanggungannya terbebas dan demi kesegeraan untuk menjalankan ketaatan.
Selain itu, jika ia menundanya, terbuka kemungkinan haji tidak
dapat terlaksana gara – gara musibah dan lain – lain. Dia boleh menundanya dari
tahun ke tahun berikutnya, sebab haji telah diwajibkan pada tahun 6 H (menurut
yang masyhur dalam kelompok ini) tetapi Nabi Saw, menangguhkan pelaksaannya
sampai tahun 10 H tanpa ada udzur. Sekiranya penundaan tidak boleh, tentu
beliau tidak menunda.
Pendapat ini lebih utama untuk dipegang sebab mengandung kemudahan
bagi umat sertatidak memvonis dosa (bagi penunda). Selain itu, hadits – hadits
yang dipakai sebagai argumen oleh jumhur semuanya lemah. Haji diwajibkan pada
tahun 6 H ketika turun surat Al – Imran (berdasarkan pengkajian para ulama
madzhab Syafi’i). adalah keliru jika orang mengatakan bahwa haji diwajibkan
pada tahun 10 H, sebab sudah pasti bahwa auart Al – Imran turun sebelum itu.
Akan tetapi, demi Ihtiyat (kehati – hatian), haji perlu disegerakan. [5]
d.
Hukum Umrah
Menurut madzhab Hanafi dan pendapat yang paling rajih dalam madzhab
Maliki, umrah itu sunnah muakkad satu kali seumur hidup, karena hadits – hadits
yang masyhur dan shohih yang menyebutkan kewajiban – kewajiban dalam islam
tidak menyebutkan umrah sebagai salah satu kewajiban tersebut. Misalnya hadits
yang di riwayatkan Ibnu Umar, “ Islam itu didirikan diatas lima perkara….”,
yang hanya menyebutkan haji saja. Jabir meriwayatkan bahwa seorang Badui pernah
menghadap Rasulullah Saw, lalu berkata ‘wahai Rasulullah, apakah umrah itu
wajib?, beliau menjawab, “tidak, tapi sangat baik jika kau mengerjakan umrah”.
Sedangkan menurut madzhab Syafi’i (dalam pendapat yang paling kuat)
dan madzhab Hambali, umrah itu wajib seperti haji, hal ini didasarkan atas
firman Allah,
(#qJÏ?r&ur ¢kptø:$# not÷Kãèø9$#ur ¬! …..4
ÇÊÒÏÈ
“Dan
sempurnakanlah Ibadah Haji dan Umrah karena Allah….” (Q.S. Al – Baqarah : 196)
Artinya,
lakukanlah keduanya dengan sempurna, dan perintah mengandung makna kewajiban.
Hal ini juga didasarkan atas hadits Aisyah, yang artinya:
“ Dia
pernah bertanya kepada Rasulullah, apakah kaum wanita wajib berjihad? Beliau
menjawab, ya, jihad yang tidak berisi pertempuran, yaitu haji dan umrah”.
Para ulama madzhab Hambali meriwayatkan dari imam Ahmad bahwa
penduduk Makkah tidak wajib melakukan umrah, dengan dalil bahwa Ibnu Abbas dulu
memandang umrah itu wajib tapi dia berkata, “wahai penduduk Makkah, kalian
tidak wajib melaksanakan umrah. Umrah kalian hanyalah berthawaf di Ka’bah”.
Pendapat ini juga diriwayatkan dari Atha’, sebab rukun umrah dan amalannya yang
paling besar adalah Thawaf di Ka’bah. Dan hal ini dilakukan oleh penduduk
Makkah, maka itu sudah cukup bagi mereka.[6]
B.
PENDAPAT PARA ULAMA MADZHAB TENTANG ORANG – ORANG YANG DIWAJIBKAN
BERHAJI
Para fuqoha’ berpendapat bahwa seseorang dihukumi wajib menjalankan
haji jika telah memenuhi syarat sebagai berikut :[7]
1.
Beragama
Islam
Tidak
ada perselisihan lagi di antara fuqiha tentang hal ini, karena hajinya seorang
non-muslim itu tidak sah.[8]
2.
Baligh
Para
ulama berselisih tentang kebolehan anak kecil berhaji. Imam Malik dan Imam
Syafi’i memperbolehkan hal tersebut berdasarkan hadits nabi SAW :
إن امرأة رفعت إليه عليه الصلاة و السلام صبيا فقال : ألهذا حج يا
رسول الله؟ قال نعم ولك أجر
Bahwa seorang perempuan mengunjukkan seorang anak
kecil kepada Nabi SAW, lalu berkata, “Apakah untuk (anak kecil) ini ada ibadah
haji, ya Rasulullah?” Jawab Nabi SAW, “Ya, dan untukmu pahala”.
Sabda Rasulullah SAW :
قال النبي صلى الله عليه و سلم أيما صبي حج ثم بلغ فعليه حجة أخرى و
أيما عبد حج ثم عتق فعليه حجة أخرى ( رواه البيهقي )
Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa dari anak –
anak yang telah berhaji, kemudian (barulah) ia baligh maka hendaklah ia
melakukan haji kembali, dan barang siapa dari hamba telah berhaji, kemudian
(barulah) ia dimerdekakan, hendaklah ia pergi haji kembali (HR. Al-Baihaqi).[9]
Sedangkan
Imam Abu Hanifah dan beberapa pengikut Mazhab Malikiyah berpendapat bahwa
hajinya seorang anak kecil tidaklah sah. Mereka berpendapat bahwa pada dasarnya ibadah itu tidak sah
dikerjakan oleh orang yang belum atau tidak berakal.
Pendapat ini
berdasar juga pada penggalan hadits nabi :
من السبع إلى
العشر
Dari
(umur) tujuh sampai sepuluh tahun.[10]
Bocah yang sudah mumayyiz tidak boleh berihram
kecuali dengan izin walinya, atau kakeknya jika tidak ada ayah. Washiy dan
Qoyyimsama kedudukannya seperti ayah (menurut pendapat yang shohih dalam
madzhab Syafi’i). Izin ini tidak dapat diberikan oleh saudara laki – laki,
paman maupun ibu (menurut pendapat yang paling shohih dalam madzhab Syafi’i)
jika mereka ini tidak punya hak wasiat ataupun wilayah (perwalian) dari hakim.
Wali berhak memberi izin kepada orang yang berihram atas nama anak kecil.[11]
3.
Berakal
Tidak
terdapat pertentangan dalam syarat yang satu ini.
4.
Merdeka
Bagi
seorang budak tidaklah wajib melaksanakan haji, namun jika mereka melaksanakan
ibadah haji, maka haji mereka sah, hanya tidak melunasi kewajiban haji dalam
islam.[12]
5.
Kesanggupan
Tak ada
perdebatan dalam hal kesanggupan ini menurut para ulama. Seperti yang tertulis
dalam Al-Qur’an :
... ¬!ur n?tã Ĩ$¨Z9$# kÏm ÏMøt7ø9$# Ç`tB tí$sÜtGó$# Ïmøs9Î) WxÎ6y 4 ...
“....mengerjakan haji
adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup
Mengadakan perjalanan ke Baitullah. ...” (QS. Ali Imran :97).
Secara garis besar, kesanggupan itu tergambar menjadi 2 cara, yaitu
dilakukan sendiri atau diwakilkan orang lain.
Asalkan sudah memenuhi syarat sanggup badannya, harta, dan keamanan
dianggap sudah cukup memenuhi kriteria sanggup.
Namun para ulama berselisih dalam hal kesanggupan badan dan harta.Imam Syafi’i, Abu Hanifah dan Ahmad berpendapat bahwa yang dimaksud
badan dan harta di sini adalah bekal dan kendaraan. Namun, Imam Malik
berpendapat bahwa yang dimaksudkan adalah kesanggupan untuk berjalan, karena
bekal dan kendaraan buka termasuk syarat sanggupnya haji dan umroh. Bahkan
menurut Imam Malik dalam hal bekal, jika seseorang dalam perjalanan hajinya
dapat mencari nafkah hidup, maka dari situlah dia mencari nafkah, meskipun
dengan cara mengemis sekalipun.[13]
Perselisihan
pendapat ini terjadi karena perbedaan penafsiran terhadap suatu hadits, yaitu :
إنه سئل ما
الإستطاعة ؟ فقال الزاد و الراحلة.
Bahwa beliau ditanya :”Apakah kesanggupan
itu?” maka jawab Nabi SAW : “Bekal dan kendaraan”.
Imam Abu Hanifah dan Syafi’i mengartikan hadits ini
kepada semua mukallaf, sementara Imam Malik mengartikannya kepada orang yangv
sanggup berjalan dan mempunyai kekuatan untuk mencari nafkah dalam perjalanan.
Imam Syafi’i berpendapat seperti itu karena
berdasarkan pendapatnya, apabila Al-Qur’an ini memuat sesuatu yang mujmal
(global), kemudian datang hadits yang menafsirkan hal tersebut, maka tidak
seharusnya mengesampingkan penafsiran tersebut.[14]
Untuk kesanggupan
kendaraan disyaratkan beberapa hal :
a.
Kendaraan itu khusus
baginya, jadi tidak cukup kesanggupan atas sebuah kendaraan yang dijadikan
kongsi dan dikendarai secara bergantian dengan orang lain. Pada zaman sekarang,
kesanggupan ini adalah dengan cara patungan dalam menyewa mobil, kapal atau
pesawat.
b.
Kendaraan itu sesuai
dengan kondisi individu. Bagi orang yang tidak sanggup duduk diatas punggung
unta dan tidak mempunyai sarana lain (misalnya tandu), haji tidak wajib
atasnya.
c.
Kendaraan ini
merupakan syarat bagi afaaqi, yaitu orang yang tempat tinggalnya jauh dari
makkah, berjarak tiga hari perjalanan atau lebih. Adapun bagi orang makkah atau
orang yang tinggal dekat dengan makkah (yakni yang jarak rumahnya dengan Makkah
kurang dari tiga hari perjalanan), wajib haji atasnya selama dia sanggup
berjalan kaki.[15]
C.
PENDAPAT PARA ULAMA MADZHAB TENTANG WAKTU – WAKTU PELAKSANAAN
IBADAH HAJI
Mengenai waktu wajibnya haji, maka fuqoha berselisih pendapat
tentang, apakah harus dikerjakan segera atau boleh ditunda. Kedua pendapat ini
terdapat pada Imam Malik dan pengikutnya.
Para ulama Malikiyyah muta’akhirin berpendapat
bahwasanya hal tersebut boleh ditunda, sementara pendapat harus segera
dilaksanakan adalah pendapat dari pengikut mazhab Maliki di Baghdad.
Pendapat Imam
Abu Hanifah juga berbeda dengan pendapat para pengikutnya. Tetapi yang
disepakati adalah pendapat yang harus segera dilaksanakan.
Fuqaha yang
mengatakan bahwa ibadah haji itu longgar waktunya mengemukakan alasan bahwa
haji itu telah diwajibkan bertahun – tahun sebelum beliau menunaikannya. Andai
kewajiban haji bersifat segera, tentu Nabi SAW tidak akan menundanya. Dan andai
penundaan tersebut karena ada sesuatu halangan, tentu beliau menjelaskan.
Fuqaha yang lain
beralasan bahwa karena ibadah haji itu dikhususkan dengan waktu, maka pada
dasarnya orang yang meninggalkannya sampai habis
waktunya itu berdosa. Dalam hal ini yang menjadi pokok pengqiyasan adalah waktu
sholat.
Menurut fuqaha golongan dua ini, perbedaan antara haji dengan
perintah shalat adalah, bahwa kewajiban haji itu tidak berulang – ulang dengan
berulangnya waktu, sementara kewajiban shalat itu berulang – ulang dengan
berulangnya waktu.
Ibadah Haji punya waktu khusus, yang
diisyaratkan dalam Al – Qur’an.
*
tRqè=t«ó¡o Ç`tã Ï'©#ÏdF{$# (
ö@è% }Ïd àMÏ%ºuqtB Ĩ$¨Y=Ï9 Ædkysø9$#ur ÇÊÑÒÈ.....
“Mereka
bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah
tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji....”. (Q.S. Al – Baqarah
: 189)
Dan dalam ayat
lain,
kptø:$# Ößgô©r& ...... ×M»tBqè=÷è¨B ÇÊÒÐÈ
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi....(Q.S.
Al – Baqarah : 197)
Bulan
– bulan Haji, menurut madzhab Maliki, adalh tiga bulan (Syawwal, Dzulqo’dah dan
Dzulhijjah). Seluruhnya adalah waktu bagi ibadah haji, sebab firman Allah ini bersifat
umum, “(musim) haji itu pada bulan – bulan yang dimaklumi”. Karena firman ini
bersifat umum ia berlaku atas semua hari dalam bulan Dzulhijjah, sebab sekurang
– kurangnya jamak itu terditi dari tiga. Waktu ihram dimulai sejak tanggal 1
Syawwal pada malam pertama Idul Fitri, dan berlanjut sampai waktu fajar dihari
kurban (Idul Adha).[16]
D.
PENDAPAT PARA ULAMA MADZHAB TENTANG MACAM – MACAM PELAKSANAAN
IBADAH HAJI
Menurut jumhur ulama pelaksanaan haji dan umrah terbagi
menjadi tiga bagian yaitu haji qiran, haji ifrad, dan haji tamaatu’.[17]
Istilah ini sering kita dengar Karena
dalam pelaksanaannya hanya tiga cara ini yang menjadi panduan waktu dalam
pelaksanaan ibadah haji.
1.
Haji
Qiran
Qiran
secara Bahasa berasal dari Bahasa arab yaitu jam’u sya’in ila syai’in artinya menggabungkan dua sesuatu yang
menjadi satu bagian[18].
Sedangkan menurut pengertian istilah Haji Qiran
adalah seseorang yang berihram untuk umrah sekaligus untuk berhaji. Sehingga
apabila seseorang ingin melaksanakan haji qiran maka ketika dia berihram di
miqat adalah dengan niat untuk melaksakan sekaligus umrah dan haji.
Adapun
syarat agar sahnya pelaksanaan haji qiran adalah: [19]
-
Berihram
haji sebelum thawaf untuk umrah
-
Berihram
haji sebelum rusaknya umrah
-
Thawaf
umrah dalam bulan haji
-
Thawaf
umrah seluruh putaran
-
Bukan
penduduk masjdil haram
-
Tidak
boleh terlewat hajinya
2.
Haji
Ifrad
Secara Bahasa ifrad
berasal dari masdar afrada yang berarti menjadikan sesuatu itu sendirian.
Sedangkan secara istilah Haji Ifrad
adalah pelaksanaan ibadah haji yang terpisah dari pelaksanaan umrah. Dalam
artian pelaksanaan ibadah haji sama sekali tidak bercampur baur dengan ibadah
umrah. [20]
Ada dua hal yang perlu
diperhatikan yang menjadi buah dari pelaksanaan ibadah haji secara ifrad yaitu
haji ifrad tidak perlu lagi membayar dam (denda) dan tidak perlu lagi thawaf
ifadhah apabila telah selesai pelaksanaan ibadah haji ifrad tersebut.
3.
Haji
Tamattu’
Haji tamattu
adalah berasal dari istilah mata’ yang
berarti kesenangan[21].
Itu menurut engertian secara Bahasa. Sedangkan menurut pengertian istilah Haji Tamattu’
adalah pemisahan pelaksanaan haji dan umrah namun yang didahulukan adalah
pelaksanaan umrahnya. Jadi haji tamattu’ adalah mendahulukan umrah dari pada
haji.
Dalam prakteknya, haji
tamattu’ adalah serangkaian ibadah haji yang dimulai dngan niat berihram dari
miqat untuk melaksanakan ibdah umrah terlebih dahulu. Kemudian setelah sesamai
di Mekah berniat menyelesaikan ihram dengan melakukan ibadah umrah dengan
menunggu tanggal 9 dzulhijjah atau hari Arafah untuk melaksanakan ritual ibadah
haji.
Melaksanakan haji
secara tamatu’ berkonsekuensi melahirkan denda (dam). Dam sendiri berasal dari
kosakata Bahasa arab yang berrti darah. Artinya dam untuk haji tamattu’ adalah
menyembelih seekor kambing untuk diberikan kepada fakir miskin. Apabila tidak
mampu untuk melaksanakan dam tersebut maka diganti dengan berpuasa selama 10
hari yaitu 3 hari saat berada di tanah suci dan 7 hari ketika kembali ke
kampung halaman. [22]
KESIMPULAN
a.
Haji artinya pergi ke Ka’bah untuk melaksanakan amalan – amalan
tertentu
b.
Haji
diwajibkan pada akhir tahun 9 H
c.
Umrah
dalam istilah syariat adalah pergi ke Ka’bah untuk menunaikan ibadah, yaitu
Tawaf dan Sa’i
d.
Haji
adalah rukun Islam yang kelima. Allah mewajibkannya atas orang yang mampu.
Demikian pula dengan Umrah
e.
Para
ulama sepakat bahwa Haji wajib satu kali seumur hidup, dengan dalil Al – Quran
dan As – Sunnah.
f.
Menurut
madzhab Hanafi dan pendapat yang paling rajih dalam madzhab Maliki, umrah itu
sunnah muakkad satu kali seumur hidup
g.
Para fuqoha’ berpendapat bahwa seseorang
dihukumi wajib menjalankan haji jika telah memenuhi syarat sebagai berikut :
1. Beragama Islam
2. Baligh
3.
Berakal
4.
Merdeka
5.
Kesanggupan
h.
Haji
Qiran adalah seseorang
yang berihram untuk umrah sekaligus untuk berhaji
i.
Haji Ifrad adalah pelaksanaan ibadah haji yang
terpisah dari pelaksanaan umrah. Dalam
artian pelaksanaan ibadah haji sama sekali tidak bercampur baur dengan ibadah
umrah
j.
Haji Tamattu’ adalah pemisahan pelaksanaan haji dan
umrah namun yang didahulukan adalah pelaksanaan umrahnya. Jadi haji tamattu’
adalah mendahulukan umrah dari pada haji.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, M., & Abdullah, A.
H. (1990). Terjemah Bidayatul Mujtahid (II). Semarang: CV. Asy-Syifa'.
Ahmad Sarwat Lc, seri fiqih
kehidupan (6) HAJI & UMRAH, (Jakarta: DU PUBLISHING) 2011
Az –
Zuhaili, Prof. Dr. Wahbah. 2011. Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Jakarta :
Gema Insani
Rasjid, H. Sulaiman. (1976). Fiqh Islam. Jakarta:
Percetaka Attahiriyah.
Saabiq, As -Sayid. (1939). Fiqh as-Sunnah. Kairo: Fathul I'lamil
'Arabi.
[8] Abdurrahman, M., & Abdullah, A. H. (1990). Terjemah
Bidayatul Mujtahid (II). Semarang: CV. Asy-Syifa', hal: 2.
[10] Ibid.,
[13] Ibid., Terjemah Bidayatul
Mujtahid., hal. 3
[14] Ibid.,
[17] Ahmad Sarwat Lc, seri fiqih
kehidupan (6) HAJI & UMRAH, (Jakarta: DU PUBLISHING) 2011, hal 64.
[18] Ibid, hlm. 65
[19] Ibid,.
[20] Ibid, hlm. 66
[21] Ibid, hlm. 70
[22] Ibid, hlm. 72
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa pesan saya jadilah orang yang jujur. Jangan jadi orang yang plagiat yang tidak mencantumkan sumber referensinya.
Kritik dan Saran sangat saya butuhkan, Demi menciptakan sesuatu yang sangat berguna dan bermanfaat Fiddunya Wal Akhiroh