Sabtu, 17 Februari 2018

HAJI DAN UMRAH



MAKALAH
HAJI DAN UMRAH
Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Perbandingan Fiqh Ibadah
Yang diampu oleh : Bapak. Fuad Mustafid, M.Ag





Disusun Oleh :
Kelompok 4
1.             Abdul Siddik                                 ( 13360027 )
2.             Aang Sobari Saeful Risal             ( 16360012 )
3.             Faisol Muzakky                             ( 16360019 )



PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2016/2017


KATA PENGANTAR

            Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan tugas Makalah dengan judul “Haji dan Umrah”.
Sholawat teriring salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah hingga zaman yang terang benderang.
            Tujuan dibuatnya makalah ini diharapkan agar dijadikan sebagai wawasan kita terhadap mata kuliah “ Perbandingan Fiqh Ibadah ” sesuai dengan tema yang kami angkat. Penyusun telah berusaha demi keberhasilan dan kesempurnaan makalah ini. Namun, kami merasa masih terlalu banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mohon kritikan dan saran yang membangun baik dari dosen pembimbing maupun dari rekan-rekan mahasiswa.
             Tidak lupa penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian Makalah ini, semoga dengan apa yang ada dalam Makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua. Amiin ...




Yogyakarta, Mei 2017


Penyusun


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................... 2
DAFTAR ISI................................................................................................... 3
PEMBAHASAN
A.    Definisi Haji Dan Umrah, Kedudukannya Dalam Islam, Hikmahnya Dan Hukumnya ......................................................................................... 4
B.     Pendapat para Ulama Madzhab tentang orang – orang yang diwajibkan berhaji ........................................................................................................... 16
C.     Pendapat para Ulama Madzhab tentang waktu – waktu pelaksanaan ibadah Haji    ............................................................................................................20
D.    Pendapat para Ulama Madzhab tentang macam – macam pelaksanaan Ibadah Haji ............................................................................................................22
KESIMPULAN............................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 25


PEMBAHASAN

      A.    DEFINISI HAJI DAN UMRAH, KEDUDUKANNYA DALAM ISLAM, HIKMAHNYA DAN HUKUMNYA
1.        Definisi Haji dan Umrah
Dalam bahasa Arab, Haji artinya pergi, menuju. Al – Kholil berkata Haji artinya sering pergi ke orang yang kau agungkan.
Menurut pengertian Syariat, Haji artinya pergi ke Ka’bah untuk melaksanakan amalan – amalan tertentu. Atau, Haji adalah berziarah ke tempat tertentu pada waktu tertentu guna melaksanakan amalan tertentu. Ziarah artinya pergi. Tempat tertentu adalah Ka’bah dan Arafah. Waktu tertentu adalah bulan – bulan haji, yaitu Syawwal, Dzulqo’dah Dzulhijjah, serta sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Masing – masing amalan punya waktu khusus. Misalnya waktu Thowaf (menurut Jumhur) adalah sejak terbit Fajar di hari Qurban sampai akhir umur, waktu Wukuf di Arofah adalah sejak condongnya matahari pada hari Arofah hingga terbitnya Fajar pada hari Qurban. Amalan tertentu artinya datang dalam keadaan berihram dengan niat berhaji (pergi) ke tempat – tempat tertentu.[1]

2.        Sejarah pensyariatan Haji
Menurut pendapat yang benar, Haji diwajibkan pada akhir tahun 9 H. Ayat yang mewajibkannya adalah firman Allah SWT.
¬!ur....... n?tã Ĩ$¨Z9$# kÏm ÏMøt7ø9$# ....... ÇÒÐÈ 
“….Dan (diantara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan Ibadah Haji ke Baitullah….”. ( Q.S. Al – Imran : 97 )
Ayat ini turun pada ‘Aamul Wufuud (tahun datangnya berbagi Delegasi yang menyatakan masuk Islam) di ahkir tahun 9 H. Ini adalah pendapat mayoritas Ulama. Setelah Haji diwajibkan, Nabi SAW. Menunda pelaksanaannya tapi tidak sampai satu tahun penuh, beliau menundanya sampai tahun 10 H karena ada udzur. Yaitu karena ayat tersebut turun setelah habisnya waktu Haji. Haji beliau setelah  Hijrah hanya satu kali, yaitu pada tahun 10 H, sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim.
Adapun Umrah, dalam Bahasa Arab artinya Ziarah. Menurut pendapat lain, Umrah artinya pergi ke suatu tempat yang berpenghuni, ibadah ini disebut Umrah karena ia boleh dilaksanakan sepanjang umur.
Adapun pengertian Umrah dalam istilah syariat adalah pergi ke Ka’bah untuk menunaikan ibadah, yaitu Tawaf dan Sa’i. Umrah tidak bisa diwakili oleh Haji meskipun Haji mengandung amalan – amalan Umrah.[2]
3.        Kedudukan Haji dan Umrah dalam Islam serta Hikmahnya
Haji adalah rukun Islam yang kelima. Allah mewajibkannya atas orang yang mampu. Demikian pula dengan Umrah. Kedua – dua nya wajib menurut Madzhab Syafi’i dan Hambali, berdasarkan firmannya :
(#qJÏ?r&ur ¢kptø:$# not÷Kãèø9$#ur ¬! …..4 ÇÊÒÏÈ  
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah...” ( Q.S. Al – Baqarah : 196 )
Sedangkan menurut Madzhab Maliki dan Hanafi, Umrah adalah sunnah. Sebagaimana Nabi melaksanakan Umrah empat kali, semuanya dalam bulan Dzulqo’dah, kecuali Umrah yang dilaksanakan bersaa hajinya. Umrah yang pertama beliau kerjakan dari Hudaibiyah pada tahun 6 H, yang kedua pada tahun 7 H ( dan ini dikenal dengan Umrah Qodho ), yang ketiga pada waktu penaklukan Makkah tahun 8 H, dan yang keempat bersamaan dengan yang hajinya tahun 10 H ( Ihramnya beliau lakukan pada bulan Dzulqo’dah, sedang amalan – amalannya beliau kerjakan pada bulan Dzulhijjah ).
Qodhi Husen, seorang ulama madzhab Syafi’i, berkata “ Haji adalah ibadah yang paling afdol sebab ia mencakup harta dan badan”. Al – Hulaimi berkata, “ Haji menggabungkan makna – makna semua ibadah. Orang yang berhaji seolah – olah melakukan puasa, sholat, i’tikaf, zakat, ribath ( menjaga perbatasan dari serangan musuh ), dan perang di jalan Allah. Kita telah diseru untuk melaksanakannya ketika kita masih berada di tulang sulbi bapak – bapak kita, sama seperti iman yang merupakan ibdah faling afdol”.
Yang rajih menurut madzhab Syafi’i dan Hambali, sholat lebih afdol dari pada haji sebab sholat adalah tiang agama.

a.             Apakah Haji lebih afdol dari pada Jihad?
Penjelasan tentang amal yang paling afdol dalam sejumlah hadits tidak sama. Terkadang yang disebut afdol adalah Jihad, kadang Iman, kadang Sholat, dan adakalanya ibadah yang lain. Misalnya, hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairah.
سُئِلَ رَسُوْلُ اللَّهِ صلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ : أَيُّ الْأَعْمَالِ أَفْضَلُ؟ قَالَ : إِيْمَانٌ بِاللَّهِ وَبِرَسُوْلِهِ, قِيْلَ : ثُمَّ مَاذَا؟ قَالَ : جِهَادٌ فِيْ سَبِيْلِ اللَّهِ, قِيْلَ : ثُمَّ مَاذَا؟ قَالَ : حَجٌّ مَبْرُوْرٌ
“Rasulullah SAW pernah ditanya, Amal apa yang paling afdol? Beliau menjawab, iman kepada Allah dan rasul-nya, beliau ditanya lagi, setelah itu amal apa? Beliau menjawab, jihad dijalan Allah. Beliau ditanya lagi, selanjutnya apa? Beliau menjawab, haji yang mabrur”.

Juga hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah oleh jamaah kecuali Abu Dawud.
اَلْعُمْرَةُ إِلَىَ الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌإِلَّا الْجَنَّةَ

“Umrah  hingga umrah berikutnya adalah kafarat (penghapus) dosa yang dilakukan antara keduanya, dan ganjaran bagi haji yang mabrur tidak lain adalah surga”.
Haji yang mabrur artinya yang diterima oleh Allah. Imam an – Nawawi men-tarjih pendapat haji yang mabrur adalah haji yang tidak tercampuri dosa apapun.
Imam asy-Syaukani menulis, pendapat yang benar tentang penggabungan hadits – hadits (yang tidak sama) ini adalah penjelasan keutamaan tersebut berbeda – beda karena disesuaikan dengan orang yang diajak bicara. Jika orang yang sedang diajak bicara itu orang yang berperan penting dalam pertempuran dan kuat bertanding melawan musuh, maka dikatakan kepadanya bahwa amal yang paling afdol adalah jihad. Jika yang diajak bicara adalah orang yang banyak bicara adalah orang yang banyak harta, dikatakan kepadanya bahwa amal yang paling afdol adalah sedekah. Demikian seterusnya, perbedaan keutamaan amal itu disesuaikan dengan masing – masing orang yang diajak bicara.
Menurut madzhab Maliki, haji (meskipun hanya Tatawwu’) lebih afdal dari pada jihad, kecuali dalam situasi adanya kekhawatiran terhadap serangan musuh, dalam kondisi demikian jihad lebih afdal dari pada haji Tawwatu.[3]


b.             Hikmah pensyariatan Haji
Haji punya beberapa faedah, Individual dan Komunal. Faedah – faedah yang bersifat Individual  antara lain sebagai berikut :
1)        Haji menghapus dosa – dosa kecil dan menyucikan jiwa dari resapan – resapan maksiat.
2)        Qodhi Iyadh berkata, Ahlus Sunnah sepakat bahwa dosa – dosa besar hanya dapat terhapus dengan tobat. Tidak seorang pun yang berpendapat bahwa  uatang meskipun berupa hak Allah (misalnya utang Sholat dan Zakat) bisa gugur.
3)        Haji mengampuni dosa dan melenyapkan kesalahan, kecuali yang berkaitan dengan hak – hak manusia, sebab hak – hak ini berkaitan dengan Dzimmah (tanggungan).
4)        Haji menyucikan jiwa, membuatnya jernih dan murni kembali. Hal ini akan menyegarkan kehidupan, meningkatkan spirit manusia, dan menguatkan harapan dan baik sangka kepada Allah SWT.
5)        Haji memperkuat Iman, memperbaharui janji dengan Allah, membantu terlaksananya tobat yang tulus, mendidik jiwa, menghaluskan perasaan, dan merangsang emosi kerinduan kepada Baitulloh.
6)        Haji mengingatkan kepada seorang mukmin akan masa lampau islam, akan jihad nabi dan generasi salaf yang telah menyinari dunia dengan amal sholeh.
7)        Haji membiasakan manusia agar bersabar menanggung kesusahan, mengajarkan sikap disiplin dan komitmen terhadap perintah, sehingga seseorang dapat menikmati kesusahan di jalan Allah dan mendorongnya untuk berqurban dan berlaku itsar (mengutamakan orang lain atas diri sendiri).
8)        Dengan Haji, seorang manusia melaksanakan syukur nikmat kepada tuhannya, baik nikmat harta maupun nikmat kesehatan.
9)        Adapun klaim bahwaHaji merealisasikan syukur nikmat, alasannya adalah sebagian ibadah itu mengutamakan aspek badan dan sebagian lagi mengutamakan aspek harta, sedangkan haji adalah ibadah yang hanya dapat terlaksana dengan badan dan harta.
Adapun faedah – faedah haji yang bersifat komunal antara lain sebagai berikut :
1)        Dengan haji menyebabkan terjadinya saling perkenalan antar individu ujmat ini yang berbeda  - beda warna kulit, bahasa dan negeri mereka.
2)        Haji menampakan kuatnya hubungan persaudaraan antara kaum muslimin di seluruh penjuru dunia.
3)        Dalam haji, semua orang merasa bahwa mereka sederajat.
4)        Haji membantu penyebaran dakwah islam, menopang aktivitas para dai di seluruh penjuru dunia.[4]

4.        Hukum Haji dan Umrah
Para ulama sepakat bahwa Haji wajib satu kali seumur hidup, dengan dalil Al – Quran dan As – Sunnah.
Dalil dari Al – Quran adalah firman-nya,

3¬!ur..... n?tã Ĩ$¨Z9$# kÏm ÏMøt7ø9$# Ç`tB tí$sÜtGó$# Ïmøs9Î) WxÎ6y 4 `tBur txÿx. ¨bÎ*sù ©!$# ;ÓÍ_xî Ç`tã tûüÏJn=»yèø9$# ÇÒÐÈ  
“.......mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah[216]. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”. (Q.S. Al – Imran : 97)

Ada riwayat bahwa Ibnu Abbas menafsirkan begini, “Barang siapa menjadi kafir karena meyakini bahwa haji itu tidak wajib…”. Allah berfirman pula,
(#qJÏ?r&ur ¢kptø:$# not÷Kãèø9$#ur ¬! ÇÊÒÏÈ.....  
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah.....” (Q.S. Al – Baqarah : 196)

Dia berfirman pula,
bÏiŒr&ur Îû Ĩ$¨Y9$# Ædkptø:$$Î/ šqè?ù'tƒ Zw%y`Í 4n?tãur Èe@à2 9ÏB$|Ê šúüÏ?ù'tƒ `ÏB Èe@ä. ?dksù 9,ŠÏJtã ÇËÐÈ   (#rßygô±uŠÏj9 yìÏÿ»oYtB öNßgs9 (#rãà2õtƒur zNó$# «!$# þÎû 5Q$­ƒr& BM»tBqè=÷è¨B 4n?tã $tB Nßgs%yu .`ÏiB ÏpyJÎgt/ ÉO»yè÷RF{$# ( (#qè=ä3sù $pk÷]ÏB (#qßJÏèôÛr&ur }§Í¬!$t6ø9$# uŽÉ)xÿø9$# ÇËÑÈ  
27. Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus[984] yang datang dari segenap penjuru yang jauh,
28. Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan[985] atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak[986]. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.
       (Q.S. Al – Hajj : 27 - 28)
Dalil dari sunnah adalah sabda nabi saw.
بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لَااِلَهَ اِلَّا اللهُ وَاَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَاِقَامِ الصَلَاةِ وَإِيْتَاءِالزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
“Islam dibangun diatas lima perkara, bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan sholat, membayar zakat, haji ke Baitulloh, dan puasa Ramadhan”.

Dalil bahwa haji hanya wajib satu kali seumur hidup adalah hadits Abu Hurairah, yang artinya ;
“suatu ketika Rasulullah berkhutbah kepada kami, sabda beliau, wahai saudara – saudara sekalian, Allah telah mewaibkan Haji atas kalian, maka berhajilah, seorang laki- laki berkata, apakah setiap tahun, wahai Rasulullah? Beliau tidak menyahut, setelah di ajukanpertanyaan itu tiga kali, beliau menjawab, seandainya kujawab ya, niscaya ia wajib setiap tahun, dan pasti kalian tidak mampu”.
Kewajiban satu kali ini diperkuat dengan kaidah Ushul Fiqh, “ Suatu perintah tidak menuntut untuk di laksanakan berulang kali”. Jadi, perintah Al – Qur’an untuk menunaikan ibadah Haji harus dilakukan berkali – kali.
Adapun hadits Al – Baihaqi dan Ibnu Hibban, yang memerintahkan untuk berhaji setiap lima tahun, diartikan bahwa perintah tersebut bersifat anjuran (sunnah). Hadits tersebut diriwayatkan dari Abu Sa’id Al – Khudri, bahwa Rasulullah bersabda, yang artinya :
“seorang hamba yang telah kuberi kesehatan jasmani dan kelapangan rezeki namun tidak sama sekali idak datang kepada-ku (untuk berhaji) padahal sudah lewat lima tahun, maka sungguh dia tidak mendapat rahmat-ku”.
Terkadang haji bisa menjadi wajib lebih dari satu kali karena suatu hal, misalnya karena nadzar. Haji juga bisa menjadi wajib pula pada waktu qodo apabila seseorang merusak haji Tatawwu’ nya.
Haji bisa pula berhukum haram, misalnya berhaji dengan harta yang haram. Terkadang ia berhukum makruh, seperti pergi haji tanpa izin dari orang yang wajib dimintai izinnya. Kemakruhan ini menurut madzhab Hanafi, bersifat Tahriimiyyah (mendekati haram).
Para ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanafi menyebutkan bahwa meskipun pelaksana haji berbuat maksiat dengan berangkat memakai harta yang haram, hajinya terhitung sah, baik hajinya itu wajib maupun sunnah. Sama seperti hukum mengerjakan sholat ditanah hasil rampasan. Haji fardhu maupun sunnahtersebut telah gugur dari tanggungannya, sebab tidak ada kontradiksi antara keabsahan dan kemaksiatan. Madzhab Hambali berbeda pendapat , mereka tidak membolehkan haji dengan memakai harta yang haram, sebab menurut mereka tidak sah sholatdi tanah hasil rampasan.
a.             Jenis Kefardhuan
Nusuk itu ada yang berhukum Fardu ‘ain, yaitu bagi orang yang belum pernah berhaji, dengan syarat – syarat yang akan dijelaskan nanti, ada pula yang berhukum fardhu kifayah, yaitu menghidupkan ka’bah setiap tahun dengan haji dan umrah. Ada pula yang bersifat murni tathawwu, dan ini hanya berlaku bagi kaum hamba sahaya dan anak – anak. Ada pula yang berhukum manhub (sunnah) setiap lima tahun.
b.             Pengulangan Umrah
Menurut madzhab Syafi’i, Hambali dan Hanafi, seseorang boleh berumrah berkai – kali dalam setahun, sebab Aisyah pernah berumrah berkali – kali dalam sebulan atas perintah Nabi Saw. Umrah yang pertama bersamaan dengan haji Qiran-nya, sedangkan yang kedua setelah hajinya. Alasan yang lainnya adalah Nabi pernah bersabda, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairah. Yang artinya :
“Umrah hingga umrah berikutnya menjadi penghapus dosa – dosa yang dilakukan antara keduanya”.
Sementara madzhab Maliki berpendapat bahwa mengulangi umrah dalam setahun berhukum makruh. Kata An – Nakha’I para sahabat dulu hanya berumrah satu kali dalam setahun, an Nabi tidak pernah melakukan umrah lebih dari sekali dalam setahun.
c.              Apakah kewajiban Haji itu harus segera dilaksanakan atau boleh ditunda?
Abu Hanifah, Abu Yusuf, Mdzhab Maliki (menutut yang paling rajih diantara dua pendapat mereka), dan madzhab Hambali berkata, setelah terpenuhi kemampuan dan syarat – syarat lainnya, haji itu wajib dilaksanakan segera pada tahun pertama, artinya pada awal waktu yang memungkinkan untuk berangkat. Jika dia menundanya sampai bertahun – tahun, dia termasuk fasik dan kesaksiannya tidak bisa di terima, sebab penundaanya adalah maksiat kecil (dia tidak jadi fasik jika hanya melakukannya satu kali, tetapi jika ia terus melakukannya lagi maka dia termasuk fasik).
Madzhab Syafi’i dan Muhammad (dari madzhab Hanafi) berpendapat bahwa kewajiban haji  boleh ditunda pelaksanaanya. Ini bukan berarti harus di tunda, melainkan tidak harus dilaksanakan dengan segera. Bagi orang yang berkewajiban haji atau umrah entah dengan berangkat sendiri atau diwakilkan kepada orang lain, disunnahkan untuk tidak menundanya dari tahun terpenuhinya kesanggupan, agar semakin cepat tanggungannya terbebas dan demi kesegeraan untuk menjalankan ketaatan.
Selain itu, jika ia menundanya, terbuka kemungkinan haji tidak dapat terlaksana gara – gara musibah dan lain – lain. Dia boleh menundanya dari tahun ke tahun berikutnya, sebab haji telah diwajibkan pada tahun 6 H (menurut yang masyhur dalam kelompok ini) tetapi Nabi Saw, menangguhkan pelaksaannya sampai tahun 10 H tanpa ada udzur. Sekiranya penundaan tidak boleh, tentu beliau tidak menunda.
Pendapat ini lebih utama untuk dipegang sebab mengandung kemudahan bagi umat sertatidak memvonis dosa (bagi penunda). Selain itu, hadits – hadits yang dipakai sebagai argumen oleh jumhur semuanya lemah. Haji diwajibkan pada tahun 6 H ketika turun surat Al – Imran (berdasarkan pengkajian para ulama madzhab Syafi’i). adalah keliru jika orang mengatakan bahwa haji diwajibkan pada tahun 10 H, sebab sudah pasti bahwa auart Al – Imran turun sebelum itu. Akan tetapi, demi Ihtiyat (kehati – hatian), haji perlu disegerakan. [5]
d.             Hukum Umrah
Menurut madzhab Hanafi dan pendapat yang paling rajih dalam madzhab Maliki, umrah itu sunnah muakkad satu kali seumur hidup, karena hadits – hadits yang masyhur dan shohih yang menyebutkan kewajiban – kewajiban dalam islam tidak menyebutkan umrah sebagai salah satu kewajiban tersebut. Misalnya hadits yang di riwayatkan Ibnu Umar, “ Islam itu didirikan diatas lima perkara….”, yang hanya menyebutkan haji saja. Jabir meriwayatkan bahwa seorang Badui pernah menghadap Rasulullah Saw, lalu berkata ‘wahai Rasulullah, apakah umrah itu wajib?, beliau menjawab, “tidak, tapi sangat baik jika kau mengerjakan umrah”.
Sedangkan menurut madzhab Syafi’i (dalam pendapat yang paling kuat) dan madzhab Hambali, umrah itu wajib seperti haji, hal ini didasarkan atas firman Allah,
(#qJÏ?r&ur ¢kptø:$# not÷Kãèø9$#ur ¬! …..4 ÇÊÒÏÈ  
“Dan sempurnakanlah Ibadah Haji dan Umrah karena Allah….” (Q.S. Al – Baqarah : 196)
Artinya, lakukanlah keduanya dengan sempurna, dan perintah mengandung makna kewajiban. Hal ini juga didasarkan atas hadits Aisyah, yang artinya:
“ Dia pernah bertanya kepada Rasulullah, apakah kaum wanita wajib berjihad? Beliau menjawab, ya, jihad yang tidak berisi pertempuran, yaitu haji dan umrah”.
Para ulama madzhab Hambali meriwayatkan dari imam Ahmad bahwa penduduk Makkah tidak wajib melakukan umrah, dengan dalil bahwa Ibnu Abbas dulu memandang umrah itu wajib tapi dia berkata, “wahai penduduk Makkah, kalian tidak wajib melaksanakan umrah. Umrah kalian hanyalah berthawaf di Ka’bah”. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Atha’, sebab rukun umrah dan amalannya yang paling besar adalah Thawaf di Ka’bah. Dan hal ini dilakukan oleh penduduk Makkah, maka itu sudah cukup bagi mereka.[6]


      B.       PENDAPAT PARA ULAMA MADZHAB TENTANG ORANG – ORANG YANG DIWAJIBKAN BERHAJI
Para fuqoha’ berpendapat bahwa seseorang dihukumi wajib menjalankan haji jika telah memenuhi syarat sebagai berikut :[7]
1.             Beragama Islam
Tidak ada perselisihan lagi di antara fuqiha tentang hal ini, karena hajinya seorang non-muslim itu tidak sah.[8]
2.             Baligh
Para ulama berselisih tentang kebolehan anak kecil berhaji. Imam Malik dan Imam Syafi’i memperbolehkan hal tersebut berdasarkan hadits nabi SAW :
إن امرأة رفعت إليه عليه الصلاة و السلام صبيا فقال : ألهذا حج يا رسول الله؟ قال نعم ولك أجر
Bahwa seorang perempuan mengunjukkan seorang anak kecil kepada Nabi SAW, lalu berkata, “Apakah untuk (anak kecil) ini ada ibadah haji, ya Rasulullah?” Jawab Nabi SAW, “Ya, dan untukmu pahala”.
Sabda Rasulullah SAW :
قال النبي صلى الله عليه و سلم أيما صبي حج ثم بلغ فعليه حجة أخرى و أيما عبد حج ثم عتق فعليه حجة أخرى ( رواه البيهقي )
Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa dari anak – anak yang telah berhaji, kemudian (barulah) ia baligh maka hendaklah ia melakukan haji kembali, dan barang siapa dari hamba telah berhaji, kemudian (barulah) ia dimerdekakan, hendaklah ia pergi haji kembali (HR. Al-Baihaqi).[9]
Sedangkan Imam Abu Hanifah dan beberapa pengikut Mazhab Malikiyah berpendapat bahwa hajinya seorang anak kecil tidaklah sah. Mereka berpendapat bahwa pada dasarnya ibadah itu tidak sah dikerjakan oleh orang yang belum atau tidak berakal.
Pendapat ini berdasar juga pada penggalan hadits nabi :
من السبع إلى العشر
          Dari (umur) tujuh sampai sepuluh tahun.[10]
Bocah yang sudah mumayyiz tidak boleh berihram kecuali dengan izin walinya, atau kakeknya jika tidak ada ayah. Washiy dan Qoyyimsama kedudukannya seperti ayah (menurut pendapat yang shohih dalam madzhab Syafi’i). Izin ini tidak dapat diberikan oleh saudara laki – laki, paman maupun ibu (menurut pendapat yang paling shohih dalam madzhab Syafi’i) jika mereka ini tidak punya hak wasiat ataupun wilayah (perwalian) dari hakim. Wali berhak memberi izin kepada orang yang berihram atas nama anak kecil.[11]
3.             Berakal
Tidak terdapat pertentangan dalam syarat yang satu ini.
4.             Merdeka
Bagi seorang budak tidaklah wajib melaksanakan haji, namun jika mereka melaksanakan ibadah haji, maka haji mereka sah, hanya tidak melunasi kewajiban haji dalam islam.[12]
5.             Kesanggupan
Tak ada perdebatan dalam hal kesanggupan ini menurut para ulama. Seperti yang tertulis dalam Al-Qur’an :
... ¬!ur n?tã Ĩ$¨Z9$# kÏm ÏMøt7ø9$# Ç`tB tí$sÜtGó$# Ïmøs9Î) WxÎ6y 4 ...
“....mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah. ...” (QS. Ali Imran :97).

Secara garis besar, kesanggupan itu tergambar menjadi 2 cara, yaitu dilakukan sendiri atau diwakilkan orang lain.
Asalkan sudah memenuhi syarat sanggup badannya, harta, dan keamanan dianggap sudah cukup memenuhi kriteria sanggup.
Namun para ulama berselisih dalam hal kesanggupan badan dan harta.Imam Syafi’i, Abu Hanifah dan Ahmad berpendapat bahwa yang dimaksud badan dan harta di sini adalah bekal dan kendaraan. Namun, Imam Malik berpendapat bahwa yang dimaksudkan adalah kesanggupan untuk berjalan, karena bekal dan kendaraan buka termasuk syarat sanggupnya haji dan umroh. Bahkan menurut Imam Malik dalam hal bekal, jika seseorang dalam perjalanan hajinya dapat mencari nafkah hidup, maka dari situlah dia mencari nafkah, meskipun dengan cara mengemis sekalipun.[13]
Perselisihan pendapat ini terjadi karena perbedaan penafsiran terhadap suatu hadits, yaitu :
إنه سئل ما الإستطاعة ؟ فقال الزاد و الراحلة.
Bahwa beliau ditanya :”Apakah kesanggupan itu?” maka jawab Nabi SAW : “Bekal dan kendaraan”.
Imam Abu Hanifah dan Syafi’i mengartikan hadits ini kepada semua mukallaf, sementara Imam Malik mengartikannya kepada orang yangv sanggup berjalan dan mempunyai kekuatan untuk mencari nafkah dalam perjalanan.
Imam Syafi’i berpendapat seperti itu karena berdasarkan pendapatnya, apabila Al-Qur’an ini memuat sesuatu yang mujmal (global), kemudian datang hadits yang menafsirkan hal tersebut, maka tidak seharusnya mengesampingkan penafsiran tersebut.[14]
Untuk kesanggupan kendaraan disyaratkan beberapa hal :
a.    Kendaraan itu khusus baginya, jadi tidak cukup kesanggupan atas sebuah kendaraan yang dijadikan kongsi dan dikendarai secara bergantian dengan orang lain. Pada zaman sekarang, kesanggupan ini adalah dengan cara patungan dalam menyewa mobil, kapal atau pesawat.
b.    Kendaraan itu sesuai dengan kondisi individu. Bagi orang yang tidak sanggup duduk diatas punggung unta dan tidak mempunyai sarana lain (misalnya tandu), haji tidak wajib atasnya.
c.    Kendaraan ini merupakan syarat bagi afaaqi, yaitu orang yang tempat tinggalnya jauh dari makkah, berjarak tiga hari perjalanan atau lebih. Adapun bagi orang makkah atau orang yang tinggal dekat dengan makkah (yakni yang jarak rumahnya dengan Makkah kurang dari tiga hari perjalanan), wajib haji atasnya selama dia sanggup berjalan kaki.[15]


      C.      PENDAPAT PARA ULAMA MADZHAB TENTANG WAKTU – WAKTU PELAKSANAAN IBADAH HAJI
Mengenai waktu wajibnya haji, maka fuqoha berselisih pendapat tentang, apakah harus dikerjakan segera atau boleh ditunda. Kedua pendapat ini terdapat pada Imam Malik dan pengikutnya.
Para ulama Malikiyyah muta’akhirin berpendapat bahwasanya hal tersebut boleh ditunda, sementara pendapat harus segera dilaksanakan adalah pendapat dari pengikut mazhab Maliki di Baghdad.
            Pendapat Imam Abu Hanifah juga berbeda dengan pendapat para pengikutnya. Tetapi yang disepakati adalah pendapat yang harus segera dilaksanakan.
            Fuqaha yang mengatakan bahwa ibadah haji itu longgar waktunya mengemukakan alasan bahwa haji itu telah diwajibkan bertahun – tahun sebelum beliau menunaikannya. Andai kewajiban haji bersifat segera, tentu Nabi SAW tidak akan menundanya. Dan andai penundaan tersebut karena ada sesuatu halangan, tentu beliau menjelaskan.
            Fuqaha yang lain beralasan bahwa karena ibadah haji itu dikhususkan dengan waktu, maka pada dasarnya orang yang meninggalkannya sampai habis waktunya itu berdosa. Dalam hal ini yang menjadi pokok pengqiyasan adalah waktu sholat.
Menurut fuqaha golongan dua ini, perbedaan antara haji dengan perintah shalat adalah, bahwa kewajiban haji itu tidak berulang – ulang dengan berulangnya waktu, sementara kewajiban shalat itu berulang – ulang dengan berulangnya waktu.
Ibadah Haji punya waktu khusus, yang diisyaratkan dalam Al – Qur’an.
* štRqè=t«ó¡o Ç`tã Ï'©#ÏdF{$# ( ö@è% }Ïd àMÏ%ºuqtB Ĩ$¨Y=Ï9 Ædkysø9$#ur ÇÊÑÒÈ.....  
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji....”. (Q.S. Al – Baqarah : 189)


Dan dalam ayat lain,
kptø:$# ֍ßgô©r& ...... ×M»tBqè=÷è¨B ÇÊÒÐÈ  
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi....(Q.S. Al – Baqarah : 197)
            Bulan – bulan Haji, menurut madzhab Maliki, adalh tiga bulan (Syawwal, Dzulqo’dah dan Dzulhijjah). Seluruhnya adalah waktu bagi ibadah haji, sebab firman Allah ini bersifat umum, “(musim) haji itu pada bulan – bulan yang dimaklumi”. Karena firman ini bersifat umum ia berlaku atas semua hari dalam bulan Dzulhijjah, sebab sekurang – kurangnya jamak itu terditi dari tiga. Waktu ihram dimulai sejak tanggal 1 Syawwal pada malam pertama Idul Fitri, dan berlanjut sampai waktu fajar dihari kurban (Idul Adha).[16]

 
      D.      PENDAPAT PARA ULAMA MADZHAB TENTANG MACAM – MACAM PELAKSANAAN IBADAH HAJI
Menurut jumhur ulama pelaksanaan haji dan umrah terbagi menjadi tiga bagian yaitu haji qiran, haji ifrad, dan haji tamaatu’.[17]
Istilah ini sering kita dengar Karena dalam pelaksanaannya hanya tiga cara ini yang menjadi panduan waktu dalam pelaksanaan ibadah haji.
1.        Haji Qiran
Qiran secara Bahasa berasal dari Bahasa arab yaitu jam’u sya’in ila syai’in artinya menggabungkan dua sesuatu yang menjadi satu bagian[18]. Sedangkan menurut pengertian istilah Haji Qiran adalah seseorang yang berihram untuk umrah sekaligus untuk berhaji. Sehingga apabila seseorang ingin melaksanakan haji qiran maka ketika dia berihram di miqat adalah dengan niat untuk melaksakan sekaligus umrah dan haji.
            Adapun syarat agar sahnya pelaksanaan haji qiran adalah: [19]
             -          Berihram haji sebelum thawaf untuk umrah
             -          Berihram haji sebelum rusaknya umrah
             -          Thawaf umrah dalam bulan haji
             -          Thawaf umrah seluruh putaran
             -          Bukan penduduk masjdil haram
             -          Tidak boleh terlewat hajinya
2.        Haji Ifrad
Secara Bahasa ifrad berasal dari masdar afrada yang berarti menjadikan sesuatu itu sendirian. Sedangkan secara istilah Haji Ifrad adalah pelaksanaan ibadah haji yang terpisah dari pelaksanaan umrah. Dalam artian pelaksanaan ibadah haji sama sekali tidak bercampur baur dengan ibadah umrah. [20]
Ada dua hal yang perlu diperhatikan yang menjadi buah dari pelaksanaan ibadah haji secara ifrad yaitu haji ifrad tidak perlu lagi membayar dam (denda) dan tidak perlu lagi thawaf ifadhah apabila telah selesai pelaksanaan ibadah haji ifrad tersebut.
3.        Haji Tamattu’
Haji tamattu adalah berasal dari istilah mata’ yang berarti kesenangan[21]. Itu menurut engertian secara Bahasa. Sedangkan menurut pengertian istilah Haji Tamattu’ adalah pemisahan pelaksanaan haji dan umrah namun yang didahulukan adalah pelaksanaan umrahnya. Jadi haji tamattu’ adalah mendahulukan umrah dari pada haji.
Dalam prakteknya, haji tamattu’ adalah serangkaian ibadah haji yang dimulai dngan niat berihram dari miqat untuk melaksanakan ibdah umrah terlebih dahulu. Kemudian setelah sesamai di Mekah berniat menyelesaikan ihram dengan melakukan ibadah umrah dengan menunggu tanggal 9 dzulhijjah atau hari Arafah untuk melaksanakan ritual ibadah haji.
Melaksanakan haji secara tamatu’ berkonsekuensi melahirkan denda (dam). Dam sendiri berasal dari kosakata Bahasa arab yang berrti darah. Artinya dam untuk haji tamattu’ adalah menyembelih seekor kambing untuk diberikan kepada fakir miskin. Apabila tidak mampu untuk melaksanakan dam tersebut maka diganti dengan berpuasa selama 10 hari yaitu 3 hari saat berada di tanah suci dan 7 hari ketika kembali ke kampung halaman. [22]


KESIMPULAN

a.         Haji artinya pergi ke Ka’bah untuk melaksanakan amalan – amalan tertentu
b.        Haji diwajibkan pada akhir tahun 9 H
c.         Umrah dalam istilah syariat adalah pergi ke Ka’bah untuk menunaikan ibadah, yaitu Tawaf dan Sa’i
d.        Haji adalah rukun Islam yang kelima. Allah mewajibkannya atas orang yang mampu. Demikian pula dengan Umrah
e.         Para ulama sepakat bahwa Haji wajib satu kali seumur hidup, dengan dalil Al – Quran dan As – Sunnah.
f.         Menurut madzhab Hanafi dan pendapat yang paling rajih dalam madzhab Maliki, umrah itu sunnah muakkad satu kali seumur hidup
g.        Para fuqoha’ berpendapat bahwa seseorang dihukumi wajib menjalankan haji jika telah memenuhi syarat sebagai berikut :
             1.      Beragama Islam
             2.      Baligh
             3.      Berakal
             4.      Merdeka
             5.      Kesanggupan
h.        Haji Qiran adalah seseorang yang berihram untuk umrah sekaligus untuk berhaji
i.          Haji Ifrad adalah pelaksanaan ibadah haji yang terpisah dari pelaksanaan umrah. Dalam artian pelaksanaan ibadah haji sama sekali tidak bercampur baur dengan ibadah umrah
j.          Haji Tamattu’ adalah pemisahan pelaksanaan haji dan umrah namun yang didahulukan adalah pelaksanaan umrahnya. Jadi haji tamattu’ adalah mendahulukan umrah dari pada haji.


DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, M., & Abdullah, A. H. (1990). Terjemah Bidayatul Mujtahid (II). Semarang: CV. Asy-Syifa'.
Ahmad Sarwat Lc, seri fiqih kehidupan (6) HAJI & UMRAH, (Jakarta: DU PUBLISHING) 2011
Az – Zuhaili, Prof. Dr. Wahbah. 2011. Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Jakarta : Gema Insani
Rasjid, H. Sulaiman. (1976). Fiqh Islam. Jakarta: Percetaka Attahiriyah.
Saabiq, As -Sayid. (1939). Fiqh as-Sunnah. Kairo: Fathul I'lamil 'Arabi.


[1] Az – Zuhaili, Prof. Dr. Wahbah. 2011. Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Jakarta : Gema Insani

[2] Ibid, hal 368
[3] Ibid, hal 369
[4] Ibid, hal 370
[5] Ibid, hal 375
[6] Ibid, hal 377
[7]  As-Sayid Saabiq. (1939). Fiqh as-Sunnah. Kairo: Fathul I'lamil 'Arabi., hal. 440.
[8] Abdurrahman, M., & Abdullah, A. H. (1990). Terjemah Bidayatul Mujtahid (II). Semarang: CV. Asy-Syifa', hal: 2.
[9]  H. Sulaiman Rasjid. (1976). Fiqh Islam. Jakarta: Percetaka Attahiriyah, hal. 244.
[10]  Ibid.,
[11] Az – Zuhaili, Prof. Dr. Wahbah. 2011. Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Jakarta : Gema Insani, hal 38
[12]  Ibid., Fiqh as-Sunnah, hal.
[13]  Ibid., Terjemah Bidayatul Mujtahid., hal. 3
[14]  Ibid.,
[15] Az – Zuhaili, Prof. Dr. Wahbah. 2011. Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Jakarta : Gema Insani, hal 384

[16] Az – Zuhaili, Prof. Dr. Wahbah. 2011. Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Jakarta : Gema Insani, hal 417
[17] Ahmad Sarwat Lc, seri fiqih kehidupan (6) HAJI & UMRAH, (Jakarta: DU PUBLISHING) 2011, hal 64.
[18] Ibid, hlm. 65
[19] Ibid,.
[20] Ibid, hlm. 66
[21] Ibid, hlm. 70
[22] Ibid, hlm. 72

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa pesan saya jadilah orang yang jujur. Jangan jadi orang yang plagiat yang tidak mencantumkan sumber referensinya.

Kritik dan Saran sangat saya butuhkan, Demi menciptakan sesuatu yang sangat berguna dan bermanfaat Fiddunya Wal Akhiroh