TATA HUKUM INDONESIA
Tata hukum ialah semua peraturan-peraturan
hukum yang diadakan/diatur oleh negara atau bagiannya dan berlaku pada waktu
itu seluruh masyarakat dalam negara itu. Jelasnya, semua hukum yang berlaku
bagi suatu masyarakat pada suatu waktu dalam suatu tempat tertentu. Oleh karena
itu ada sarjana yang mempersamakan tata hukum dengan Hukum Positif atau Ius
Constitutum.
Tujuan tata hukun ialah untuk mempertahankan,
memelihara dan melaksanakan tata tertib di kalangan anggota-anggota masyarakat
dalam negara itu dengan peraturan-peraturan yang diadakan oleh negara atau
bagian-bagiannya.
Suatu masyarakat yang menetapkan tata
hukumnya sendiri dan oleh sebab itu turut serta sendiri dalam berlakunya tata
hukum itu, artinya tunduk sendiri terhadap tata hukum itu.
Tiap-tiap tata hukum mempunyai
struktur tertentu, yakni strukturnya sendiri. Masyakat yang menerapkan dan
menuruti tata hukum itu hidup, berkembang, bergerak, berubah. Demikianpun tata
hukumnya, sehingga strukturnya dapat berubah pula, oleh sebab itu dikatakan,
bahwa tata hukum mempunyai struktur terbuka.
Tata hukum Indonesia ditetapkan oleh
masyarakatt hukum Indonesia, ditetapkan oleh Negara Indonesia. Oleh karena itu
adanya Tata Hukum Indonesia baru sejak lahirnya Negara Indonesia (17-08-1945).
Pada saat berdirinya Negara Indonesia dibentuklah tata hukumnya; hal itu
dinyatakan dalam.
1) Proklamasi
Kemerdekaan: “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan
Indonesia.”
2) Pembukaan UUD-1945:
“Atas berkat Rahmat Allah Ynag Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan
luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia
menyatakan dengan ini kemerdekaannya,” “Kemudian daripada itu disusunlah
Kemerdekaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia.”
Pernyataan tersebut mengandung arti:
a) Menjadikan
Indonesia suatu Negara yang merdeka dan berdaulat.
b) Pada saat itu juga
menetapkan tata hukum Indonesia, sekedar mengenai bagian yang tertulis. Di
dalam Undang-Undang dasar Negara itulah tertulis tata hukum Indonesia (yang
tertulis).
UUD hanyalah memuat
ketentuan-ketentuan dasar dan merupakan rangka dari Tata Hukum Indonesia. Masih
banyak ketentuan-ketentuan yang perlu deselenggarakan lebih lanjut dalam
pelpagai Undang-Undang Organik.
Oleh karena sampai sekarang belum
juga banyak Undang-Undang demikian, maka masih sangat pentinglah arti ketentuan
peralihan dalam pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Dengan adanya aturan
peralihan tersebut, peraturan dalam peraturan-perundangan Organik yang
menyelenggarakan ketentuan dasar dari UUD, maka melalui jembatan pasal
peralihan tersebut, masih harus kita pergunakan peraturan-perundangan tentang
hal itu dari tata hukum sebelum 17 Agustus 1945, ialah Tata Hukum Belanda.
Kenyataan demikian, dewasa ini masih
terdapat dalam banyak lapangan hukum Indonesia. Kiranya tak ada tata hukum di
dunia ini yang “sesulit” tata Hukum Indonesia.
Akan tetapi walaupun demikian, tata
hukum Indonesia tetap berpribadi Indonesia, yang sepanjang masa mengalami
pengaruh dari anasir tata hukum asing, yang pada masa penjajahan Belanda
hampir-hampir terdesak oleh tata hukum Hindia Belanda. Tetapi akhirnya dengan
Proklamasi Kemerdekaan hidup kembali dengan segarnya dengan kesadaran akan
pribadinya sendiri.
Bahwasanya bangsa Indonesia mempunyai
tata hukum pribadi asli itu debuktikan oleh adanya ilmu pengetahuan Hukum Adat,
berkat hasil penyelidikan ilmiah Prof. Mr. C. Van Vollenhoven di Indonesia.
Dalam pada itu tata hukum Indonesia,
semenjak tanggal 17 Agustus 1945 ada di tengah-tegnah dunia modern. Tata Hukum
Indonesia yang pada waktu dahulu dikatakan tidak berbentuk tertentu kini
menemukan dirinya lahir kembali dalam bentuk tertentu.
Negara Indonesia dengan Undang-Undang
dasarnya, sebagai perwujudan dari pribadi tata hukum Indonesia. UUD 1945 adalah
inti tata hukum Nasional Indonesia yang harus kita perkembangkan.
Disusun Oleh : Hussein Kastro (Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Langlangbuana, Bandung)
Sumber Tulisan : Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum
Indonesia; (Drs. C.S.T. Kansil. S.H.)
HUKUM PERDATA
Hukum Perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan
antara individu-individu dalam masyarakat. Dalam tradisi hukum di daratan Eropa
(civil law) dikenal pembagian hukum menjadi dua yakni hukum publik dan hukum
privat atau hukum perdata. Dalam sistem Anglo-Saxon (common law) tidak
dikenal pembagian semacam ini.
Sejarah Hukum Perdata[sunting | sunting sumber]
Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Perancis
yaitu yang disusun berdasarkan hukum Romawi 'Corpus Juris Civilis'yang pada
waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Hukum Privat yang
berlaku di Perancis dimuat dalam dua kodifikasi yang disebut (hukum perdata)
dan Code de Commerce (hukum dagang). Sewaktu Perancis menguasai Belanda
(1806-1813), kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri Belanda yang masih
dipergunakan terus hingga 24 tahun sesudah kemerdekaan Belanda dari Perancis
(1813).
Pada Tahun 1814 Belanda mulai menyusun Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda, berdasarkan kodifikasi hukum
Belanda yang dibuat oleh J.M. Kemper disebut Ontwerp Kemper. Namun, sayangnya
Kemper meninggal dunia pada 1824 sebelum menyelesaikan tugasnya dan dilanjutkan
oleh Nicolai yang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Belgia.
Keinginan Belanda tersebut terealisasi pada tanggal 6 Juli
1830 dengan pembentukan dua kodifikasi yang baru diberlakukan pada tanggal 1
Oktober 1838 oleh karena telah terjadi pemberontakan di Belgia yaitu :
BW [atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata-Belanda).
WvK [atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang]
Menurut J. Van Kan, kodifikasi BW merupakan terjemahan dari
Code Civil hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa
nasional Belanda.
PENGERTIAN HUKUM PIDANA
Hukum Pidana, sebagai salah satu bagian independen dari Hukum
Publik merupakan salah satu instrumen hukum yang sangat urgen eksistensinya
sejak zaman dahulu. Hukum ini ditilik sangat penting eksistensinya dalam
menjamin keamanan masyarakat dari ancaman tindak pidana, menjaga stabilitas
negara dan (bahkan) merupakan “lembaga moral” yang berperan merehabilitasi para
pelaku pidana. Hukum ini terus berkembang sesuai dengan tuntutan tindak pidana
yang ada di setiap masanya.
A. Definisi Hukum Pidana
Hukum Pidana sebagai Hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan
yang dilarang oleh Undang-Undang dan berakibat diterapkannya hukuman bagi siapa
yang melakukannya dan memenuhi unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam
Undang-Undang Pidana. Seperti perbuatan yang dilarang dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, Undang-Undang Korupsi, Undang-Undang HAM dan lain sebagainya. Hukum
pidana adalah hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dan
memberikan hukuman bagi yang melanggarnya. Perbuatan yang dilarang dalam
hukum pidana adalah:
• Pembunuhan
• Pencurian
• Penipuan
• Perampokan
• Penganiayaan
• Pemerkosaan
• Korupsi
Sementara Dr. Abdullah Mabruk an-Najar dalam diktat
“Pengantar Ilmu Hukum”-nya mengetengahkan defenisi Hukum Pidana sebagai
“Kumpulan kaidah-kaidah Hukum yang menentukan perbuatan-perbuatan pidana yang
dilarang oleh Undang-Undang, hukuman-hukuman bagi yang melakukannya, prosedur
yang harus dilalui oleh terdakwa dan pengadilannya, serta hukuman yang
ditetapkan atas terdakwa.”
Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang
berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :
• Menetukan perbuatan perbuatan mana yang tidak BOLEH
dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa
pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.
• Menentukan kapan dan dalam hal hal apa kepada mereka yang
telah melanggar larangan larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan.
• Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Menurut Sudarto, pengertian Pidana sendiri ialah nestapa yang
diberikan oleh Negara kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan-ketentuan Undang-undang (hukum pidana), sengaja agar dirasakan
sebagai nestapa.
B. Tujuan Hukum Pidana
Secara konkrit tujuan hukum pidana itu ada dua, ialah :
• Untuk menakut-nakuti setiap orang jangan sampai melakukan
perbuatan yang tidak baik.
• Untuk mendidik orang yang telah pernah melakukan perbuatan
tidak baik menjadi baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan lingkunganya
Tujuan hukum pidana ini sebenarnya mengandung makna
pencegahan terhadap gejala-gejala sosial yang kurang sehat di samping
pengobatan bagi yang sudah terlanjur tidak berbuat baik. Jadi Hukum Pidana,
ialah ketentuan-ketentuan yang mengatur dan membatasi tingkah laku manusia
dalam meniadakan pelanggaran kepentingan umum. Tetapi kalau di dalam kehidupan
ini masih ada manusia yang melakukan perbuatan tidak baik yang kadang-kadang
merusak lingkungan hidup manusia lain, sebenarnya sebagai akibat dari moralitas
individu itu. Dan untuk mengetahui sebab-sebab timbulnya suatu perbuatan yang
tidak baik itu(sebagai pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pidana), maka
dipelajari oleh “kriminologi”.
Di dalam kriminologi itulah akan diteliti mengapa sampai
seseorang melakukan suatu tindakan tertentu yang tidak sesuai dengan kebutuhan
hidup sosial. Di samping itu juga ada ilmu lain yang membantu hukum pidana,
yaitu ilmu Psikologi. Jadi, kriminologi sebagai salah satu ilmu yang membantu
hukum pidana bertugas mempelajari sebab-sebab seseorang melakukan perbuatan
pidana, apa motivasinya, bagaimana akibatnya dan tindakan apa yang dapat
dilakukan untuk meniadakan perbuatan itu.
C. Klasifikasi Hukum Pidana
Secara substansial atau Ius Poenalle ini merupakan hukum
pidana
Dalam arti obyektif yaitu “sejumlah peraturan yang mengandung
larangan-larangan atau keharusan-keharusan dimana terhadap pelanggarnya diancam
dengan hukuman”. Hukum Pidana terbagi menjadi dua cabang utama, yaitu:
• Hukum Materil ialah cabang Hukum Pidana yang
menentukan perbuatan-perbuatan kriminal yang dilarang oleh Undang-Undang, dan
hukuman-hukuman yang ditetapkan bagi yang melakukannya. Cabang yang merupakan
bagian dari Hukum Publik ini mepunyai keterkaitan dengan cabang Ilmu Hukum
Pidana lainnya, seperti Hukum Acara Pidana, Ilmu Kriminologi dan lain
sebagainya.
• Hukum Formil (Hukum Acara Pidana) Untuk tegaknya
hukum materiil diperlukan hukum acara. Hukum acara merupakan ketentuan yang
mengatur bagaimana cara agar hukum (materil) itu terwujud atau dapat
diterapkan/dilaksanakan kepada subyek yang memenuhi perbuatannya. Tanpa hukum
acara maka tidak ada manfaat hukum materiil. Untuk menegakkan ketentuan hukum
pidana diperlukan hukum acara pidana, untuk hukum perdata maka ada hukum acara
perdata. Hukum acara ini harus dikuasai para praktisi hukum, polisi, jaksa,
pengacara, hakim.
Dr. Mansur Sa’id Isma’il dalam diktat “Hukum Acara
Pidana”-nya memaparkan defenisi Hukum Acara Pidana sebagai ”kumpulan
kaidah-kaidah yang mengatur dakwa pidana—mulai dari prosedur pelaksanaannya
sejak waktu terjadinya pidana sampai penetapan hukum atasnya, hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan hukum yang tumbuh dari prosedur
tersebut—baik yang berkaitan dengan dugaan pidana maupun dugaan perdata yang
merupakan dakwa turunan dari dakwa pidana, dan juga pelaksanaan
peradilannnya.”. Dari sini, jelas bahwa substansi Hukum Acara Pidana
meliputi:
• Dakwa Pidana, sejak waktu terjadinya tindak pidana
sampai berakhirnya hukum atasnya dengan beragam tingkatannya.
• Dakwa Perdata, yang sering terjadi akibat dari
tindak pidana dan yang diangkat sebagai dakwa turunan dari dakwa pidana.
• Pelaksanaan Peradilan, yang meniscayakan
campur-tangan pengadilan.
Dan atas dasar ini, Hukum Acara Pidana, sesuai dengan
kepentingan-kepentingan yang merupakan tujuan pelaksanaannya, dikategorikan
sebagai cabang dari Hukum Publik, karena sifat global sebagian besar dakwa
pidana yang diaturnya dan karena terkait dengan kepentingan Negara dalam
menjamin efisiensi Hukum Kriminal. Oleh sebab itu, Undang-Undang Hukum Acara
ditujukan untuk permasalahan-permasalahan yang relatif rumit dan kompleks, karena
harus menjamin keselarasan antara hak masyarakat dalam menghukum pelaku pidana,
dan hak pelaku pidana tersebut atas jaminan kebebasannya dan nama baiknya, dan
jika memungkinkan juga, berikut pembelaan atasnya. Untuk mewujudkan tujuan ini,
para ahli telah bersepakat bahwa Hukum Acara Pidana harus benar-benar menjamin
kedua belah pihak—pelaku pidana dan korban.
Hukum Pidana dalam arti Dalam arti Subyektif, yang disebut
juga “Ius Puniendi”, yaitu “sejumlah peraturan yang mengatur hak negara untuk
menghukum seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang”.
D. Ruang Lingkup Hukum Pidana
Hukum Pidana mempunyai ruang lingkup yaitu apa yang disebut dengan
peristiwa pidana atau delik ataupun tindak pidana. Menurut Simons peristiwa
pidana ialah perbuatan salah dan melawan hukum yang diancam pidana dan
dilakukan seseorang yang mampu bertanggung jawab. Jadi unsur-unsur peristiwa
pidana, yaitu:.
• Sikap tindak atau perikelakuan manusia
. Melanggar hukum, kecuali bila ada dasar pembenaran;
Didasarkan pada kesalahan, kecuali bila ada dasar penghapusan kesalahan.
Sikap tindak yang dapat dihukum/dikenai sanksi adalah
- Perilaku manusia ; Bila seekor singa membunuh seorang anak
maka singa tidak dapat dihukum
- Terjadi dalam suatu keadaan, dimana sikap tindak tersebut
melanggar hukum,
misalnya anak yang bermain BOLA menyebabkan pecahnya kaca
rumah orang.
- Pelaku harus mengetahui atau sepantasnya mengetahui
tindakan tersebut merupakan pelanggaran hukum; Dengan pecahnya kaca jendela
rumah orang tersebut tentu diketahui oleh yang melakukannya bahwa akan
menimbulkan kerugian orang lain.
- Tidak ada penyimpangan kejiwaan yang mempengaruhi sikap
tindak tersebut.Orang yang memecahkan kaca tersebut adalah orang yang sehat dan
bukan orang yang cacat mental.
Dilihat dari perumusannya, maka peristiwa pidana/delik dapat
dibedakan dalam :
• Delik formil, tekanan perumusan delik ini ialah sikap
tindak atau perikelakuan yang dilarang tanpa merumuskan akibatnya.
• Delik materiil, tekanan perumusan delik ini adalah akibat
dari suatu sikap tindak atau perikelakuan.
Misalnya pasal 359 KUHP :
Dalam Hukum Pidana ada suatu adagium yang berbunyi : “Nullum
delictum nulla poena sine praevia lege poenali”, artinya tidak ada suatu
perbuatan dapat dihukum tanpa ada peraturan yang mengatur perbuatan tersebut
sebelumnya. Ketentuan inilah yang disebut sebagai asas legalitas .
Aturan hukum pidana berlaku bagi setiap orang yang melakukan
tindak pidana sesuai asas ruang lingkup berlakunya kitab undang-undang hukum
pidana. Asas ruang lingkup berlakunya aturan hukum pidana, ialah
1. Asas Teritorialitas (teritorialitets beginsel)
2. Asas nasionalitas aktif (actief nationaliteitsbeginsel)
3. Asas Nasionalitas Pasif (pasief nationaliteitsbeginsel)
E. Sistem Hukuman
Sistem hukuman yang dicantumkan dalam pasal 10 tentang pidana
pokok dan tambahan, menyatakan bahwa hukuman yang dapat dikenakan kepada
seseorang pelaku tindak pidana terdiri dari :
a. Hukuman Pokok (hoofd straffen ).
1. Hukuman mati
2. Hukuman penjara
3. Hukuman kurungan
4. Hukuman denda
b. Hukuman Tambahan (Bijkomende staffen)
1. Pencabutan beberapa hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim.
HUKUM ACARA PERDATA
I. PENDAHULUAN
1.1. Pengertian
Hukum Acara Perdata
Prof. Dr. Sudikno mertokusumo, SH
Hukum Acara Perdata adalah peraturan Hukum yang mengatur bagaimana cara
ditaatinya Hukum perdata materiil dengan peraturan hakim. Lebih kongkrit
dikatakan bahwa Hukum Acara Perdata mengatur tentang bagaimana caranya
mengajukan tuntutan hak, memeriksa, memutuskan, dan pelaksanaan daripada
putusannya.
Abdul kadir Muhamad
Hukum Acara Perdata adalah peraturan Hukum yang berfungsi untuk mempertahankan
berlakunya Hukum perdata sebagaimana mestinya. Hukum Acara Perdata dirumuskan
sebagai peraturan Hukum yang mengatur proses penyelesaian perkara perdata
melalui Pengadilan(hakim), sejak diajukan gugatan sampai dengan pelaksanaan
putusan hakim.
Retnowulan
Hukum Acara Perdata Hukum Perdata Formil adalah kesemuanya kaidah Hukum yang
menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana yang diatur dalam Hukum Perata
Materiil.
R. Soesilo
Hukum Acara Perdata /Hukum Perdata Formal yaitu kumpulan peraturan-peraturan
Hukum yang menetapkan cara memelihara Hukum perdata material karena pelanggaran
hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul dari Hukum perdata material itu,
atau dengan perkataan lain kumpulan peraturan-peraturan Hukum yang menentukan
syarat-syarat yang harus dipenuhi pada melangsungkan persengketaan dimuka hakim
perdata, supaya memperoleh suatu keputusan daripadanya, dan selanjutnya yang
menentukan cara pelaksaan putusan hakim itu.
Dari beberapa pengertian di atas bahwa Hukum Acara Perdata
adalah peraturan Hukum yang memiliki karakteristik :
- Menentukan dan
mengatur bagaimana cara menjamin ditaatinya Hukum Perdata Materiil.
- Menentukan
syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk beracara di muka persidangan
pengadilan, mulai dari pengajuan gugatan, pengambilan keputusan sampai
pelaksanaan putusan pengadilan.
1.2. Sejarah Terbentuknya
Hukum Acara Perdata
Tanggal 5 Desember 1846 Gubernur Jendral Ijan Jacob Rochussen
member tugas kerua MA dan MA Tentara untuk membuat sebuah Reglemen bagi
golongan Indonesia.
Tanggal 6 Agustus 1847 Jhr. Mr. H.L Wichers/ Ketua MA dan MA
Tentara telah selesai dengan rancangannya serta peraturan penjelasannya.
Tanggal 5 April 1848, Stbl. 1848 No. 16 Rancangan Wichers
diterima dan di umumkan oleh Gubernur Jendral dengan diberi nama “Het Inlands
reglement” I.R. dan mulai berlaku tanggal 1 Mei 1848.
1.3. Azas-asas Hukum Acara Perdata
1.3.1. Pengertian
Paul Scholten mendefinisikan asas Hukum sebagai
pikiran-pikiran dasar yang dapat didalam dan dibelakang system Hukum
masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan
putusan-putusan hakim yang berkenan denganya, ketentuan-ketentuan dan
keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai jabarannya.
Harjono memberikan pengertian atas Hukum yang mempunyai
fungsi sebagai normal pemberi nilai. Jadi dengan singkat system Hukum dibagin (secara
substantive/ atas dasar nilai-nilai yang dikandung dalam asas Hukum.
1.3. Asas-Asas Hukum
Acara Perdata
Sudikno Mertokusumo Hukum Acara Perdata menyebut ada 7 asas yaitu :
1. Hakim Bersifat
Menunggu. Pasal 118 HIR dan Pasal 142
RBg.
Inisiatif untuk
mengajukan tuntutan hak diserahkan sepeuhnya kepada yang bersangkutan. Jadi
apakah aka nada proses atau tidak, apakah suatu perkara atau tuntutan hak itu
akan diajukan atau tidak semua diserahkan kepada pihak yang berkepentingan,
sedangkan Hakim bersifat menunggu datagnya tuntutan hak diajukan kepadanya.
Akan tetapi sekali perkara diajukan kepadanya, Hakim tidak
BOLEH menolak untuk memeriksa dan mengadilinya, sekalipun dengan dalih bahwa
Hukum tidak atau kurang jelas (Pasal 16 UU No. 4/2004). Larangan untuk menolak
memeriksa perkara sebabkan anggapan bahwa hakim tahu akan hukumnya ( ius curi
novit ), kalau sekiranya ia tidak dapat menemukan Hukum tertulis, maka ia wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai Hukum yang hidup dalam masyarakat
(Pasal 28 UU No. 4/2004).
2. Hakim Pasif.
Pasal 178 (3) HIR dan Pasal 154 RBg.
Ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada
Hakim untuk diperiksa pada dasarnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara
dan bukan Hakim. Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha
mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya Peradilan
(Pasal 28 UU No. 4/2004).
Hakim harus aktif memimpin sidang, melancarkan jalane
persidangan, membantu kedua belah pihak dalam mencari kebenaran, tetapi dalam
memeriksa perkara perdata hakim harus bersikap Tut wuri, hakim terikat pada
peritiwa yang diajukan oleh para pihak.
Para pihak dapar secara bebas mengakhiri sendiri sengketa
yang telah diajukannya ke muka pengadilan, sedangkan hakim tidak dapat
menghalaginya. Hal ini dapat berupa perdamaian atau pencabutan gugatan (Pasal
130 HIR, 154 RBg).
Hakim wajib mengadili semua gugatan dan larangan menjatuhkan
putusan atas perkara yang tidak di tuntut, atau mengabulkan lebih dari yang di
tuntut (Pasal 178 ayat 2 dan 3 HIR, Pasal 189 ayat 2 dan 3 RBg.) apakah yang
bersangkutan mengajukan banding atau tidak itupun bukan kepentingan Hakim
(Pasal 6 UU No. 20/1047, Pasal 199 RBg).
3. Sifat Terbuka
Persidangan. Pasal 19 (1) dan Pasal 20 UU No. 4 Tahun 2004.
Bahwa setiap orang dibolehkan hadir, mendengar, dan
menyaksikan pemeriksaan persidangan (kecuali di tuntut lain oleh UU). Tujuannya
adalah untuk memberi perlindungan hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan
serta untuk lebih menjamin obyektifitas peradilan dengan pertanggungjawaban
pemeriksaan yang fair, tidak memihak serta putusan yang adik kepada masyarakat,
(Pasal 19 ayat 1 UU No. 4/2004).
Namun ada juga persidangan yang sifatnya tertutup, misalnya
perkara perceraian, akan tetapi sidang pembacaan putusan harus terbuka, jika
tidak dinyatakan terbuka untuk umum keputusan itu tidak sah dan tidak mempunyai
kekuatan hukuk serta mengakibatkan batalnya putusan itu menurut Hukum.
4. Mendengan Kedua
Belah Pihak. Pasal 5 (1) UU No. 4/2004
dan Pasal 132a, 121 (2) HIR dan Pasal 145 (2), 157 RBg serta Pasal 47 RV.
Bahwa kedua belah pihak haruslah diperlakukan sama, tidak
memihak dan didengar bersama-sama. Bahwa Pengadilanmengadili menurut Hukum
dengan tidak membeda-bedakan orang (Pasal 5 UU No. 4/2004).
Bahwa hakim tidak BOLEH menerima keterangan dari salah satu
pihak sebagai benar, bila pihak lawan tidak didengar dan diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya, hal itu
berarti juga bahwa pengajuan alat bukti harus dilakukan di muka sidang yang
dihadiri oleh kedua belah pihak (Pasal 132a, 121 Yt 2 HIR, Pasal 145 ayat 2,
157 RBg dan Pasal 47 Rv).
5. Putusan Harus
Disertai Alasan-alasan. Pasal 25 UU No. 1/2004 Pasal 184 (1), 319 HIR dan Pasal
195, 618 RBg.
Semua putusan hakim harus memuat alasan-alasan putusan yang
dijadikan dasar untuk mengadili (Pasal 25 ayat 1 UU No.4/2004, Pasal 184 ayat
1, 319 HIR, Pasal 195, 618RBg).
Betapa pentingnya alasan-alasan sebagai dasar putusan dapat
kita lihat dari beberapa putusan MA yang menetapkan, bahwa putusan yang tidak
lengkap atau kurang cukup dipertimbangkan merupakan alasan untuk kasasi dan
harus dibatalkan.
6. Beracara
dikenakan Biaya, Pasal 4 (2), 5 (2) UU No. 4/2004. Pasal 121 (4), 182, 183 HIR,
Pasal 145 (4), 192 RBg, kecuali Pasal 237 HIR, Pasal 273 RBg. Untuk berperkara
pada asanya dikenakan biaya (Pasal 4 ayat 2,5 ayat 2 UU No. 4/2004).
Biaya perkara ini meliputi biaya kepaniteraan dan biaya untuk
penggalian pemberitahuan para pihak serta biaya materai. Disamping itu apabila
diminta bantuan seorang pengacara maka harus pula dikeluarkan biaya.
Bagi mereka yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara,
dapat mengajukan perkara secara Cuma-Cuma (Pro Deo) dengan mendapatkan ijin
untuk dibebaskan dari pembayaran biaya perkara, dengan mengajukan surat
keterangan tidak mampu yang dibuat oleh Kepala Polisi (Pasal 237 HIR, 237 RBg).
Akan tetapi dalam praktek surat keterangan tidak mampu dibuat oleh Camat daerah
tempat tinggal yang berkepentingan.
7. Tidak ada
keharusan mewakilkan. Pasal 123 HIR, 147 RBg.
HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakili kapada orang
lain, sehingga pemeriksaan dipersidangan terjadi secara langsung terhadap para
pihak yang langsung berkepentingan. Akan tetapi para pihak dapat dibantu atau
diwakili oleh kuasanya kalau dikehendakinya (Pasal 123 HIR, 147 RBg).
Setiawan menyebutkan ada 8 asas yaitu :
1. Asas
kesederhanaan. Pasal 4 (2), 5 (2) UU No. 4/2004
2.
Pengadilanmengadili menurut Hukum dengan tidak membedakan orang, Pasal 5
(1) UU No. 4/2004.
3. Hakim aktif
memimpin proses. Pasal 132 HIR, Pasal 156 RBg.
4. Memberikan
perlakuan yang sama kepada para pihak
yang berperkara.
5. Para pihak
memiliki kedudukan yang sama.
6. Suatu putusan
Pengadilanharus diberi suatu pertimbangan yang cukup.
7. Penyelesaian
perkara dalam waktu yang pantas.
8. Hukum acara itu
sendiri bukan tujuan.
1.4. Sumber Hukum
Acara Perdata
A. Pengertian Sumber
Hukum Acara Perdata
Secara sederhana Sumber Hukum adalah segala sesuatu yang
dapat menimbulkan aturan dan tepat ditemukannya aturan-aturan Hukum.
B. Macam-macam Sumber
Hukum Acara Perdata
1. Peraturan
Perundang-undangan
a. HIR : Het Herzein
Indonesisch Reglement Stb. 1848 No. 16 Jonto Stb, 1941 No. 44 berlaku untuk
daerah jawa dan Madura.
b. RBg : Rechtsreglement
Buitengewesten Stb. 1927 No. 227 Untuk luar jawa dan Madura.
c. BW Buku ke IV :
Burgelijke Wetboek Voor Indonesisch
d. RV : Reglement op
de Burgelijk Rechtsvordering Stb. 1847 No. 52 Jo. Stb. 1849 No. 63 Hukum Acara
Perdata untuk golongan eropa.
e. UU No. 20/1947,
UU tentang Peradilan Ulangandi Jawa dan Madura.
f. UU No. 04/2004,
UU tentang Kekuasaan Kehakiman.
g. UU No. 14/1985
Jo, UU No. 5/2004.
h. UU No. 2/1986 Jo,
UU No. 8/2004 UU tentang Lingkungan Peradilan Umum.
i. UU No. 7/1989
UU tentang Peradilan Agama.
j. UU No. 1/1974
dan PP No. 9/1975
k. PERMA dan SEMA.
2. Yurisprudensi
3. Adat kebiasaan
yang dianut oleh para hakim dalam melakukan Pemeriksaan Perkara Perdata.
4. Doktrin
5. Perjanjian
International
Perjanjian kerjasama di bidang peradilan antara RI dan
Kerajaan Thailand.
II. BADAN
PERADILAN UMUM DAN KHUSUS
A. Susunan Badan
Peradilan Umum dan Khusus.
Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan :
1. Mahkaman Agung
dan Badan Peradilan yang ada dibawahnya : Peradilan Umum, Peradilan Agama,
Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Militer.
2. Mahkamah
Konstitusi
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :
- Menguji UU terhadap UUD
- Memutuskan
sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan UUD
- Memutus
pembubaran Partai Politik
- Memutus
sengketa hasil Pemilu.
(Pasal 24 ayat 2 UUD 1945 ; Pasal 10 UU No. 4/2004; Pasal 12
UU No.4/2004; Pasal 2 UU NO.4/2004).
Kekuasaan Kehakiman (UU No. 4/2004
Pasal 1 : Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara
yang merdeka.
Pasal 4 : Peradilan dilakukan “Demi keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Pasal 8 : “Asas Praduga tak bersalah”
Pasal 10 : Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah
MA dan badan Peradilan yang ada dibawahnya dan oleh sebuah MK.
Pasal 12 : MK berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :
- Menguji UU
terhadap UUD 1945.
- Memutus Sengketa
kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara RI 1945.
- Memutus
pembubaran Parpol dan
- Memutus
Perselisihan tentang hasil Pemilu.
Pasal 16 : Pengadilantidak BOLEH menolak untuk
memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa Hukum
tidak atau kurang jela, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
Pasal 11 : MA Berwenang menguji Peraturan Perundang-undangan
di bawah ayat 2.b UU terhadap UU.
Pasal 19 : Sidang Pemeriksaan Pengadilanadalah terbuka
untuk umum, kecuali UU menentukan lain.
Pasal 28 : Hakim wajib Menggali,mengikuti dan memahami
nilai-nilai Hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Pasal 20 : Semua peraturan Peradilan hanya sah dan
mempunyai kekuatan Hukum apabila di ucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Pasal 37 : Setiap orang yang tersangkut perkara berhak
memperoleh bantuan Hukum.
B. Kekuasan Peradilan
Umum dan Khusus.
1. Kekuasan
Peradilan Umum (UU No.2/1986 & UU No. 8/2004
- Kekuasaan
Kehakiman di lingkungan Peradilan Umum dilaksanakan oleh PengadilanTinggi
(Pasal 3 UU No. 2/1986).
- PengadilanNegeri
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan
perdata di tingkat pertama (Pasal 50 UU No. 2/1986).
- PengadilanTinggi
bertugas dan berwenang mengadili perkara pidana dan perfata di tingkat banding
(Pasal 51 (1) dan mengadili tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan
mengadili antara PN dan daerah
hukumannya (Pasal 51 (2) UU No.2/1986).
2. Kekuasaan
PengadilanAgama (UU No. 7/1989 Jo, UU No.3/2006)
Pasal 49 UU No.3/2006 :
- PengadilanAgama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara
ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang :
a. Perkawinan :
Perkawinan adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan
Undang-undang Perkawinan yang berlaku dan dilakukan menurut syari’ah
(Penjelasan UU No. 3 Tahun 2006 Pasal 49).
b. Kewarisan :
Waris adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris,
penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli
waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan
Pengadilanatas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli
waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.
c. Wasiat :
Wasiat adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau
manfaat kepada orang lain atau lembaga badan Hukum, yang berlaku setelah yang
member tersebut meningal dunia.
d. Hibah :
Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa
imbalan dari seseorang atau badan Hukum kepada orang lain atas badan Hukum
untuk dimiliki.
e. Wakaf :
Wakaf adalah perbuatan seorang atau sekelompok orang (wakif)
untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk
dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut
syari’ah.
f. Zakat :
Zakat adalahharta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim
atau badan Hukum yang memiliki oleh orang islam sesuai dengan ketentuan
syari’ah untuk diberikan kepada orang yang berhak menerimanya.
g. Infaq :
Infaq adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada
orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, mendermakan,
memberikan risky (karuania) atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain
berdasarkan rasa ikhlas, dank arena Allah S.W.T.
h. Shodagoh dan
i. Ekonomi
Syari’ah.
- PengadilanTinggi
Agama Kewenangannya diatur dalam Pasal 51 ayat 1 dan 2 UU No. 7/1989.
C. Kekuasaan
PengadilanTUN (UU No. 5/1986 & UU No. 9/2004)
- Kewenangan PTUN
diatur dalam Pasal 47 UU no. 5/1986 Sengketa TUN.
- Kewenangan PTUN
diatur dalam Pasal 51 UU no. 5/1986
D. Kekuasaan
Peradilan Militer.
- UU No. 31 Tahun
1997
E. Kekuasaan MA (UU
No. 14/1985 Jo. UU No.5/2004)
- MA Bertugas dan
berwenang memeriksa dan memutuskan :
1. Permohonan Kasasi.
2. Sengketa tetang
kewenangan mengadili.
3. Permohonan
meninjauh kembali putusan Pengadilanyang yelah memperoleh kekuatan Hukum tetap
(Pasal 28 UU No.14/1985)
- MA dalam tingkat
kasasi membatalkan putusan datau penetapa Pengadilandari semua lingkungan
peradilan karena :
1. Tidak berwenang dan
melampaui batas wewenang.
2. Salah menerapkan
atau melanggar Hukum yang berlaku.
3. Lalai memenuhi
syarat-syarat yang diwajibkan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang mengancam
kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan (Pasal 30 ayat 1 UU No.
5/2004).
F. Kompetensi/
Kewenangan Mengadili
Hukum Acara Perdata mengenal dua macam kewenangan yaitu :
1. Kewenangan
Mutlak/ Absolut.
2. Kewenangan
Relative/ NISBI Pasal 133 HIR, Pasal 159 RBg, Pasasl 136 HIR ataun 162 RBg,
menyangkut pembagian kekuasaan mengadili antar Pengadilanyang serupa tergantung
dari tempat tinggal tergugat, azasnya adalah yang berwenang adalah
PengadilanNegeri tempat tinggal tergugat, azas ini dengan bahasa latin dikenal
“Actor Sequitoir Forum Rei”.
Terhadap azas diatas terdapat beberapa pengecualian, misalnya
yang terdapat dalam Pasal 118 HIR dan 142 RBg.
1. P.N. tenpat
kediaman Tergugat, bila tempat tingal tergugat tidak diketahui.
2. Jika tergugat 2
orang atau lebih, gugat diajukan pada tempat tinggal salah satu tergugat,
terserah pilih Penggugat.
3. Akan tetapi
dalam ad. 2 diatas, bila pihak tergugat ada 2 orang, yang seorang berhutang,
dan yang lainnya penjaminnya, maka gugatan harus di P.N tempat tinggal yang
berhutang.
4. Bila tempat
tingal dan tempat kediaman, tergugat tidak dikenal, gugatan diajukan kepada P.N
tempat tinggal penggugat atau dari salah seorang dari Penggugat.
5. Dalam ad.4
gugatan mengenai barang tetap, dapat juga diajukan melalui P.N dimana barang
tetap itu terletak, hal ini berbeda dengan ketentuan Pasal 99 (8) RV dan Pasal
142 (5) RBg. Dalam hal gugat menyangkut barang tetap gugat diajukan di P.N di
mana barang tersebut terletak.
6. Bila ada tempat
tinggal yang dipilih dengan suatu akta, gugatan diajukan sesuai dengan akta,
bila penggugat mau, ia dapat mengajukan gugat di tempat tinggal tergugat.
Pengecualian lain misalnya yang terdapat :
1. Pasal 21 BW,
jika Tergugat tidak cakap, maka gugatan diajukan di P.N tempat tinggal orang
tua, wali atau Pengampu, Pasal 20 BW, Jika tergugat PNS gugatan diajukan di P.N
dimana ia bekerja atau dinas. Pasal 22 BW, gugatan terhadap buruh yang tinggal
di rumah majikan, maka gugatan di ajukan di mana majikannya tinggal.
2. Pasal 99 ayat
15 RV, Gugatan kepailitan diajukan di P.N yang menyatakan tergugat pailit.
3. Pasal 99 ayat
14 RV, Gugatan Vrijwaring/ Penjaminan (Gugatan Interfensi) di ajukan di P.N
yang sedang memeriksa gugatan asal.
4. Pasal 38 ayat 1
dan 2 PP No. 9/1975 : Gugatan pembatalan perkawinan dapat diajukan di
Pengadilantempat berlangsungnya perkawinan itu.
5. Pasal 20 ayat 2
dan 3 Pp No. 9/1975 : Gugatan perceraian diajukan di P.N tempat tinggal
penggugat, bila tergugat diam di liar negeri.
Pasal 17 BW :
- Setiap orang
dianggap punya tempat tinggalnya dimana ia menempatkan pusat kediamannya.
- Dalam hal tak
ada tempat, maka tempat kediaman sewajarnya dianggap sebagai tempat tinggal.
Pasal 118 ayat 1 HIR :
Gugatan perdata, yang pada tingkat pertama, masuk kekuasaan
P.N, harus dimasukkan dengan surat permintaan yang di tandatangani oleh
Penguggat atau oleh wakilnya menurut P{asal 123, kepada Ketua P.N didaerah
Hukum siapa yang tergugat bertempat diam atau jika tidak diketahui tempat
diamnya, tempat tinggalnya sebetulnya.
Pasal 66 (2) UU No.7/1989 :
- Pengajuan
cerai talaq diajukan ke Pengadilan tempat kediaman termohon, Pasal 73 (1) UU
No.7/1989.
Pasal 73 (1) UU No.7/1989 :
- Gugatan
Perceraian/ cerai gugat diajukan kepada Pengadilan tempat kediaman tempat
penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan kediamannya
bersama tanpa ijin tergugat.
III. SURAT KUASA
KHUSUS
A. Kuasa Pada Umumnya
1. Pengertian Kuasa
Secara Umum.
Pasal 1792 KUH Perdata sebagai berikut :
Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang
memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk dan atas
namanya menyelenggarakan suatu urusan.
Dalam perjanjian kuasa terdapat dua pihak, yaitu :
- Pemberi Kuasa/
Latsgever/ instrucilon/ mandate.
- Penerima Kuasa/
Kuasa/ yang diberi perintah atau mandate melakukan sesuatu untuk dan atas nama
pemberi kuasa.
2. Sifat Perjanjian
Kuasa.
Pasal 1792 dan 1793 (1) BW terdapat beberapa sifat pokok,
yaitu :
a. Penerima kuasa
langsung berkapasitas sebagai wakil pemberi kuasa.
b. Pemberi kuasa
bersifay konsensual.
c. Berkarakter
garansi – kontrak Pasal 1806 BW.
3. Berakhirnya
Kuasa – Pasal 1813 BW.
a. Pemberi kuasa
mnarik kembali secara sepihak (diatur lebih lanjut dalam Pasal 1814 BW dan 1819
BW).
b. Salah satu pihak
meninggal dunia Pasal 1813 BW.
c. Penerima kuasa
terlepas kuasa.
Pasal 1817 BW member hak secara sepihak kepada kuasa untuk
melepaskan kuasa yang diterimanya dengan syarat :
- Harus memberitahu
kehendak pelepasan itu kapada pemberi kuasa.
- Pelepasan hak
tidak BOLEH dilakukan pada saat yang tidak layak.
4. Dapat Disepakati
Kuasa Mutlak.
Dalam lalu lintas pergaulan Hukum telah memperkenalkan dan
membenarkan pemberian kuasa mutlak, perjanjian kuasa seperti ini diberi judul
“Kuasa Multak” yang memuat klausul :
- Pemberi kuasa
tidak dapat mencabut kembali kuasa yang memberikan kepada penerima kuasa.
- Meninggalnya
pemberi kuasa, tidak mengakhiri perjanjian pemberi kuasa.
Diperbolehkannya membuat persetujuan Kuasa mutlak bertitik
tolak dari prinsip kebebasan berkontrak ( Pasal 1338, sepanjang tidak
bertentangan dengan Pasal 1337 BW).
B. Macam-macam
Surat Kuasa
1. Kuasa umum
diatur Pasal 1795 BW, menurut Pasal ini, kuasa umum bertujuan memberikan kuasa
kepada seorang untuk mengurus kepentingan pemberi kuas, yaitu :
- Melakukan
tindakan pengurusan harta kekayaan mandate.
- Pengurusan itu,
meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan pemberi kuasa atas harta
kekayaannya.
- Dengan demikian
titik berat kuasa umum, hanya meliputi perbuatan atau tindakan pengurusan
kepentingan pemberi kuasa.
2. Kuasa Istimewa
Pasal 1796 BH mengatur perihal pemberi kuasa istimewa,
selanjutnya ketentuan pemberian kuasa istimewa dapat dikaitkan dengan ketentuan
Pasal 157 HIR dan Pasal 184 RBg. Jika ketentuan pasal-pasal ini dirangkai
diperlukan beberapa syarat yang harus dipenuhi agar kuasa tersebut sah menurut
Hukum sebagai kuasa Hukum istimewa.
a. Bersifat
limitative.
b. Harus berbentuk
akta otentik.
3. Kuasa Perantara.
Pasal 1792 BW dan Pasal 62 KUHD yang dikenal dengan agen
perdagangan atau makelar, disebut juga broker atau perwakilan dagang.
4. Kuasa Khusus
(Pasal 123 HIR & Pasal 147 RBg serta SEMA No.01/1971).
Pasal 123 HIR atau Pasal 147 RBg dan SEMA No.01/1971,
mengatur berbagai hal yang terkait dengan Surat Kuasa Khusus tersebut misalnya
:
- Surat kuasa
khusus dapat dibuat secara dibawah tangan atau secara otentik.
- Surat kuasa
khusus harus menyebutkan identitas pemberi dan penerima kuasa.
- Harus menyebutkan
nomer perkara, bila sudah ada.
- Pengadilan mana
dan dimana.
- Perihal apa dan
untuk apa surat kuasa diberikan.
- Bila ada
rekonvensi dalam surat kuasa harus sudah menyebut dengan tegas.
- Harus menyebut
subyek dan obyek.
- Harus bermaterai
secukupnya.
- Dll.
IV. GUGATAN DAN
PERMOHONAN
A. Gugatan
Kontentiosa/ Gugatan Perdata/ Gugatan/ Gugat.
1. Pengertian
Gugatan Kontentiosa adalah gugatan perdata yang mengandung
sengketa diatara pihak yang berperkara yang pemeriksaan penyelesaiannya
diberikan kepada pengadilan dengan posisi para pihak :
- Yang mengajukan
penyelesaian sengketa disebut dan bertindak sebagai penggugat.
- Sedangkan yang
ditarik sebagai pihak lawan dalam penyelesaian disebut dan berkedudukan sebagai
tergugat.
- Permasalahan
Hukum yang diajukan ke Pengadilan mengandung sengketa.
- Sengketa terjadi
diantara para pihak.
- Berarti gugatan
perdata bersifat partai.
2. Bentuk Gugatan.
a. Bentuk lisan (Pasal
120 HIR/ Pasal RBg).
Syarat formil gugatan lisan : bila penggugat tidak bisa
membaca dan menulisan.
Cara pengajuan gugatan lisan :
- Diajukan dengan lisan
- Kepada Ketua PN
dan
- Menjelaskan dan
menerangkan isi dan maksud gugatan.
Fungsi Ketua PN
- Ketua PN wajib
memberikan layanan.
- Pelayanan yang
harus diberikan Ketua PN.
- Mencatat dan
menyuruh catatan gugatan yang disampaikan penggugat.
- Merumuskan sebaik
mungkin gugatan itu dalam bentuk tertulis sesuai dengan yang diterangkan oleh
penggugat.
Sehubungan dengan ini Ketua PN pperlu diperhatikan putusan MA
tentang ini yang menegaskan “adalah tugas Hakim Pengadilan Negeri untuk
menyempurnakan gugatan tulisan tersebut dengan jalan melengkapinya dengan
petitum, sehingga dapat mencapai apa sebetulnya yang dimaksud dengan opeh
Penggugat.
b. Bentuk Tulisan.
Gugatan yang paling diutamakan adalah gugatan dalan bentuk
tertulis. (Pasal 118 ayat 1 HIR, Pasal 142 RBg dan yang berhak dan berwenang
membuat dan mengajukan gugatan perdata adalah :
- Penggugat sendiri
(Pasal 118 ayat 1 HIR)
- Kuasa/ wakil
(Pasal 123 ayat 1 HIR)
3. Formulasi Surat
Gugatan
a. Ditujukan kepada
Ketua PN sesuai dengan kopetensi relative.
b. Diberi tanggal
c. Ditandatangani
oleh penggugat atau kuasa.
d. Identitas para
pihak.
- Nama lengkap.
- Alamat/ tempat
tinggal
- Penyebutan
identitas lain tidak imperative.
e. Alamat/ tempat
tinggal.
Mengenai perumusan Posita gugatan muncul 2 teori yaitu :
(1) Substcntierings
Theorie : dalil dugagatan tidak cukup hanya merumuskan peristiwa Hukum yang
menjadi dasar tuntutan, tetapi juga harus dijelaskan fakta-fakta yang mendahului
peristiwa Hukum yang menjadi penyebab timbulnya peristiwa Hukum tersebut.
(2) Teori
Individualisasi (individualisering theorie) : peristiwa atau kejadian Hukum
yang dikemukakan dalam gugatan, harus dengan jelas memperlihatkan hubungan
Hukum yang menjadi dasar tuntutan, namun tidak perlu di kemukakan dasar dan
sejarah terjadinya hubungan Hukum, karena hal itu dapat diajukan berikutnya
dalam proses permeriksaan sidang pengadilan.
Unsur Fundamentum Petendi/ Posita Gugatan :
(1) Posita berdasarkan
fakta.
(2) Posita berdasarkan
Hukum.
f. Petitum Gugatan
: hal-hal yang diminta agar diputuskan oleh hakim.
Bentuk Petitum sebagai berikut :
(1) Bentuk tunggal
Petitum yang hanya menyantumkan mohon keadilan atau ex-acquo
(mohon keadilan)
- Tidak memenuhi
syarat formil dan meteriil Petitum.
- Akibat hukumnya,
gugatan dianggap mengandtng cacat formil, sehingga gugatan harus dinyatakan
tidak diterima.
(2) Bentuk Alternatif
4. Tata Cara
Pemeriksaan Gugatan Kontentiosa.
a. Sistem Pemeriksaan
Secara Contradictoir
1. Dihadiri oleh
kedua belah pihak secara in person atau kuasa.
2. Proses
pemeriksaan berlangsung secara optegnspraak proses pemeriksaan perkara
berlangsung dengan saling sanggah menyanggah baik dalam bentuk replik-duplik maupun
konklusi.
b. Asas
Pemeriksaan.
1. Mempertahankan
tata Hukum perdata. Hakim berperan dan bertugas untuk menegakkan kebenaran dan
keadilan.
2. Menyerahkan
sepenuhnya kewajiban mengemukakan fakta dan kebenaran kepada para pihak.
3. Tugas hakim
menemukan kebenaran formil.
4. Persidangan
terbuka untuk umum.
5. Aiudi Alterem
Partem ( Pemeriksaan persidangan harus mendengar kedua belah pihak secara
seimbang).
6. Asas
Imparsialitas
Mengandung pengertian luas yaitu :
- Tidak memihak.
- Bersikap jujur
dan adil.
- Tidak bersikap
diskriminatif.
5. Pengecualian
Terhadap Acara pemeriksaan Contradictoir
a. Dalam proses
Verstek.
b. Gugatan gugur.
6. Pencabutan Gugatan
(Pasal 271-272 RV)
a. HIR dan RBg.
Tidak mengatur pencabutan gugatan.
b. Pencabutan
gugatan merupakan hak penggugat
1. Pencabutan mutlak
hak penggugat selama pemeriksaan belum berlangsung.
2. Atas persetujuan
tergugat apabila pemeriksaan telah berlangsung.
c. Cara pencabutan
1. Yang berhak
melakukan pencabutan adalah penggugat sendiri secara pribadi atau kuasanya.
2. Pencabutan
gugatan yang belum diperiksa dilakukan dengan surat.
3. Pencabutan
gugatan yang sudah diperiksa dilakukan dalam sidang.
7. Komulasi Gugatan/
Penggabungan Gugatan.
1. Pengertian
Kumulasi gugatan adalah penggabungan lebih dari satu tuntutan
hukuk kedalam satu gugatan.
2. Tujuan
penggabungan Gugatan.
a. Mewujudkan
peradilan sederhana.
b. Menghindari
putusan yang saling bertentangan.
3. Syarat Penggabungan.
a. Terdapat hubungan
erat.
b. Terdapat hubungan
Hukum.
4. Bentuk
Penggabungan.
a. Kumulasi
subyektif
b. Kumulasi Obyektif
5. Pengabungan yang
tidak dibenarkan :
a. Pemilik obyek
gugatan berbeda.
b. Gugatan yang
digabungkan tunduk pada Hukum acara yang berbeda.
c. Gugatan tunduk
pada kompetensi absolute yang berbeda.
d. Gugatan
rekonvensi tidak ada hubungan dengan gugatan kovensi.
6. Penggabungan
gugatan cerai dengan pembagian harta bersama diataur dalam Pasal 86 (1) UU
No.7/1989, dalam hal ini diperkenankan.
A, B, dan C menggugat DEF dalam hal warisan juga ternyata DEF
punya hutang bersama pada A, B, dan C dalam hal ini, komulasi gugat
diperkenankan.
Penggugat (A) bertindak sebagai wali dan anaknya yang belum
dewasa menggugat (B), kemudian digabungkan dengan gugatan mengenai utang
pribadi (B) kepada (A), dalam hal ini komulasi gugat tidak diperkenankan.
8. Perubahan Gugatan.
a. HIR tidak
mengatur, sehingga Hakim leluasa menentukan. Sebagai patokan dapat dipergunakan
ketentuan bahwa perubahan atau penambahan gugat diperkenankan asalkan
kepentingan penggugat terutama tergugat jangan sampai dirugikan.
b. MA dalam
putusannya tanggal 6 Maret 1971 No. 209 K/SIP/1970 menentukan bahwa suatu
perubahan tuntutan tidak bertentangan dengan asas-asas Hukum secara perdata,
asalkan tidak merubah atau menyimpang dari kejadian meteriil walaupun tidak ada
tuntutan subsidair untuk peradilan yang adil, terutama dalam yurisprudensi
Indonesia, penerbit I, II, III, IV.1972 hal. 470 MA RI.
c. Perubahan gugatan
dilarang dilarang apabila berdasar atas keadaan Hukum yang sama domohon
pelaksanaan suatu hak yang lain. Misalnya :
1. Semula dimohon
ganti rugi berdasar ingkar janji gugat dirubah, berdasar ingkar janji agar
tergugat dipaksa untuk memenuhi janjinya.
2. Semula dasar
gugatan perceraian adalah peryizinahan, kemudian dirubah dasar gugatan menjadi
keretakan yang tidak dapat diperbaiki.
d. Penggugat berhak
merubah atau mengurangi tuntutannya sampai saat perkara diputus, tanpa BOLEH
merubah atau menambah pokok gugatannya (pasal 127 RV).
e. Yurisprudensi No.
1043 K/SIP/1971, Perubahan surat gugatan diperbolehkan asal tidak mengakibatkan
perubahan Posita dan tergugat tidak dirugikan haknya membela diri.
B. Gugatan
Rekonvensi
1. Pengertian
Gugatan Rekonvensi.
Pasal 132 ayat (1) HIR hanya memberikan pengertian singkat.
Maknanya menurut pasal ini adalah sebagai berikut :
- Rekonvensi
adalah gugatan yang diajukan tergugat sebagai gugatan balasan terhadap gugatan
yang diajukan penggugat kepadanya, dan
- Gugagatan
Rekonvensi itu, diajukan tergugat kepada PN, pada saat berlangsung proses
pemeriksaan gugatan yang diajukan penggugat;
Contoh :
A menggugat B untuk menyerahkan tanah yang telah dibelinya
dari B sesuai dengan transaksi jual beli yang dibuat di PPAT. Terhadap gugatan
itu Pasal 032 ayat (1) HIR member hak kepada B mengajukan gugatan rekonvensi
terhadap A untuk melunasi pembayaran yang masih tersisa ditambah ganti rugi
bunga atas perbuatan Wanprestasi yang dilakukannya.
2. Komposisi Para
Pihak Dihubungkan Dengan Gugatan Rekonvensi.
Dalam keadaan normal, komposisi para pihak dalam gugatan biasa
terdiri dari :
- Pengugat
sebagai pihak yang berinisiatif mengajukan gugatan.
- Tergugat
sebagai pihak yang ditarik dan di dudukan sebagai orang digugat.
- Gugatan hanya
tunggal derdiri dari gugatan yang diajukan penggugat saja.
- Oleh karena
itu dasar dan landasan pemeriksaan perkara, di sidang pengadilan sepenuhnya
bertitik tolak dari gugatan penggugat tersebut.
a. Komposisi
Gugatan.
Dengan adanya gugatan rekonvensi, komposisi gugatan menjadi :
1. Gugatan penggugat
disebut gugatan rekonvensi yang bermaksa sebagai gugatan asal yang ditunjukan
penggugat kepada tergugat.
2. Gugatan tergugat
disebut gugatan rekonvensi yang bermakna gugatan balik yang ditujukan tergugat
kepada tergugat.
b. Komposisi Para
Pihak.
Selain muncul dan saling berhadapan gugatan konvensi dan
rekonvensi, serta merta hal itu menimbulkan komposisi yang menempatkan para
pihak dalam kedudukan :
- Penggugat asal
sebagai penggugat Konvensi pada saat yang bersamaan berkedudukan menjadi Tergugat
Rekonvensi terhadap gugatan Rekonvensi.
- Penggugat asal
sebagai Tergugat Rekonvensi pada saat yang bersamaan berkedudukan sebagai
Tergugat Konvensi.
c. Gugatan
Rekonvensi Bersifat Eksepsional.
1. Prinsip Umum
gugatan adalah : setiap gugatan yang diajukan seseorang kepada orang lain,
memiliki sifat individual yang terpisah dan berdiri sendiri dari gugatan yang
lain.
Pasal 121 (1) HIR atau Pasal 1 Rv :
- Setiap gugatan di
register dan diberi nomer terdiri oleh Panitera dalam buku yang disediakan
untuk itu;
- Pendaftaran
perkara dalam buku register dilakukan dengan tertib dan cermat dengan
mencantumkan seluruh data gugatan yang bersangkutan.
- Selanjutnya Ketua
PN atau Ketua Majelis menentukan hari sidang pemeriksaan perkara dengan jalan
memanggil para pihak.
2. Gugatan
Rekonvensi mengenyampingkan ketentuan Pasal 121 (1) tersebut diatas, hal ini
bisa dilihat dati ketentuan Pasal 132a HIR memberikan hak kepada tergugat
melakukan komulasi gugatan Rekonvensi dengan gugatan konvensi dalam proses
pemeriksaan gugatan perkara yang sedang berjalan :
- Mengajukan
gugatan Rekonvensi sebagai gugatan balik atas gugatan penggugat, dan
- Gugatan
Rekonvensi itu dikomulasi Tergugat dengan gugatan konvensi penggugat.
d. Tujuan Gugatan Rekonvensi.
- Menegakkan
Asas Peradilan Kesederhanaan.
- Menghemat
biaya dan waktu.
e. Syarat Materiil
Gugatan Rekonvensi.
1. Undang-undang
Tidak Mengatur Syarat Materiil.
Tidak ada ketentuan syarat materiil, Pasal 132a HIR hanya
berisi penegasan, bahwa :
- Tergugat dalam
setiap perkara berhak mengajukan gugatan Rekonvensi;
- Tidak
disyaratkan antara keduanya mesti mempunyai hubungan yang erat atau koneksitas
yang substansial.
2. Praktek Peradilan
cenderung masyarakat koneksitas
Gugatan Rekonvensi baru dianggap sah dan dapat diterima untuk
diakumulasi dengan Konvensi apabila terpenuhi syarat :
- Terdapat factor
pertautan hubungan mengenai dasar Hukum dan kejadian yang relevan antara
gugatan konvensi dan Rekonvensi.
- Hubungan
pertautan itu harus sangat erat sehingga penyelesaiannya dapat dilakukan secara
efektif da;a, satu proses dan putusan.
f. Syarat Formil
Gugatan Rekonvensi
1. Gugatan
Rekonvensi di formulasi secara tegas ;
2. Yang dianggap
ditarik sebagai tergugat Rekonvensi hanya terbatas Penggugat Konvensi :
- Yang dapat
ditarik senbagai tergugat.
- Tidak mesti
menarik semua penggugat Konvensi.
- Dilarang menarik
sesame tergugat Konvensi menjadi tergugat Rekonvensi.
3. Gugatan
Rekonvensi diajukan bersama-sama dengan jawaban.
Pasal 132b (1) HIR Berbunyi : “Tergugat wajib mengajukan
gugatan melawan bersama-sama dengan menjawabnya baik dengan surat maupun dengan
lisan”
Terhadap makna “jawaban” telah terjadi perbedaan pendapat yaitu
:
a. Rekonvensi wajib
diajukan besama-sama dengan jawaban pertama.
- Membolehkan atau
member kebabasan bagi tergugat mengajukan gugatan Rekonvensi diluar jawaban
pertama dapat menimbulkan kerugian bagi penggugat dalam mebela hak dan
kepentingannya.
- Selain itu
membolehkan tergugat mengajukan gugtan Rekonvensi melampaui jawaban pertama
dapar menimbulkan ketidak lancaran pemeriksaan dan penyelesaian perkara.
- Rasio yang
terkandung dalam pembatasan pengajuan mesti pada jawaban pertama agar tergugat
tidak sewenang-wenang dalam mempergunakan haknya mengajukan gugatan Rekonvensi.
b. Batas pengajuan
Gugatan Rekonvensi sampai tahab pembuktian.
Hal ini sejalan dengan putusan MA No. 239 K/SIP/1968, menurut
putusan tersebut gugatan Rekonvensi dapat diajukan selama proses jawab menjawab
berlangsung. Karena Pasal 132b (1) dan Pasal 158 RBg, hanya menyebut jawaban,
sendangkan replik, duplik juga merupakan jawaban meskipun bukan jawaban
pertama, demikian pula putusan MA No.642 K/SIP/1972, bahwa atas pengajuan
gugatan rekonvensi masih terbuka sampai dimasukinya tahap proses pemeriksaan
saksi, pembahasan yang demikian disepakati oleh Prof. Soedikno Martokusumo.
Yaitu apabila proses pemeriksaan telah memasuki tahap pembuktian tergugat tidak
dibenarkan mengajukan gugatan rekonvensi.
g. Larangan
Mengajukan Gugatan Intervensi.
1. Larangan
mengajukan gugatan Rekonvensi kepada diri orang yang bertindak berdasarkan
suatu kualitas ( Pasal 132a (1) HIR.
2. Larangan
mengajukan gugatan Rekonvensi diluar Yuridiksi PN yang memeriksa perkara. Pasal
118 (1) dan (3) HIR.
3. Larangan
mengajukan gugatan Rekonvensi terhadap exsekusi pasal 132a (1) ke-3 HIR dan
pasal 379Rv.
4. Larangan
mengajukan gugatan Rekonvensi pada tingkat banding Pasal 132a (2) HIR dan
putusan MA No.1250 K/Pdt/1986.
5. Larangan
mengajukan gugatan Rekonvensi pada tingkat kasasi Putusan MA No. 209
K/SIP/1970.
C. Gugatan
Intervensi
Proses dengan tiga pihak/ ikut sertanya pihak ketiga dalam
suatu proses (Pasal 279-282 Rv)
1. Voeging.
Jika pihak ketiga itu mau membela atau mengabungkan diri ke
salah satu pihak yang sedang berperkara.
2. Tussenkomst
Jika pihak ketiga itu tidak memihak salah satu pihak,
melainkan membela kepentingannya sendiri terhadap penggugat dan tergugat.
3. Vrijwaring.
Penarikan pihak ketiga dalam suatu proses untuk menanggung,
supaya tergugat dapat bebas dari penuntutan yang merugikan.
Cara Mengajukan Gugatan Intervensi :
1. Mengajukan
permohonan kepada majelis agar diperkenankan mencampuri proses tersebut dan
dinyatakan ingin menggabungkan diri kepada salah satu pihak (voging) (Retno
Wulan, SH. Hal.48).
2. Pihak pemohon
intervensi datang dipersidangan lalu dengan lisan atau tulisan mengemukakan
kehendaknya untuk mencampuri perkara tersebut sebagai pihak ketiga. (Subekti,
SH. Hal. 71)
3. Gugatan
intervensi diajukan kepada pihak ketiga kepada Ketua Pengadilan dengan melawan
pihak yang sendang bersengketa/ ikut salah satu pihak dengan menunjuk no,
tanggal perkara yang dilawan seperti gugatan biasa tanpa membayar biaya perkara
dan tidak diberi nomer baru (Mukti Arti. Hal. 109)
D. Gugatan Class
Action/ Gugatan Perwakilan Kelompok.
Perma No.1/2002 Tanggal 26 april 2006.
1. Pengertian Class
Action
- Suatu tata cara
pengajuan gugatan yang dilakukan satu orang atau lebih.
- Orang itu
bertindak mewakili kelompok (CR) untuk diri sendiri dan sekaligus mewakili
anggota kelompok (class members).
- Antara yang
mewakili kelompok dengan kelompok yang diwakili memiliki kesamaan fakta dan
dasar Hukum.
Pasal 1 huruf a PERMA No.1/2002.
2. Tujuan GPK/ CA/
RA.
- Mengembangkan
penyederhanaan akses masyarakat memperoleh keadilan.
- Mengefektifkan
efisiensi penyelesaian pelanggaran Hukum yang merugikan orang banyak.
3. Syarat Formil
CA/ RA
a. Ada kelompom
(Class)
Ø Perwakilan
kelompok.(Class Action).
Ø Anggota kelompok
(class members)
b. Kesamaan fakta
atau dasar Hukum.
c. Kesamaan jenis
tuntutan.
4. Konsep Hak
Gugatan LSM berbeda dengan Class Action
a. Konsep CA
Berdasarkan commanality.
Landasan utama konsep CA adalah asas atau syarat commonality
yaitu prinsip kesamaan yang berkenaan dengan fakta dan dasar hokum dan kesamaan
tuntutan hokum. Atau lazim juga disebut kesamaan kepentingan (same interest)
kesamaan penderitaan (same grievence) dan kesamaan tujuan sam purpose) .
Agar dasar kesamaan (mononality) dapat ditegakkan, diperlukan
factor-faktor yang menjadi landasannya yang disebut unsure CA.
5. Formulasi
gugatan CA
a. Persyaratan umum
berdasarkan Ketentuan HIR dan RBG.
- Mencantumkan
dan mengalamatkan gugatan berdasarkan kopetensi relative (yudiksi relative)
sesuai dengan system dan patokan yang digariskan pasal 118 HIR.
- Mencantumkan tanggal pada gugatan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa pesan saya jadilah orang yang jujur. Jangan jadi orang yang plagiat yang tidak mencantumkan sumber referensinya.
Kritik dan Saran sangat saya butuhkan, Demi menciptakan sesuatu yang sangat berguna dan bermanfaat Fiddunya Wal Akhiroh