Sabtu, 17 Februari 2018

LEGISLASI PADA MASA IMAM – IMAM MADZHAB



MAKALAH
LEGISLASI PADA MASA IMAM – IMAM MADZHAB




Dosen Pengampu :
Gusnam Haris, S.Ag., M.Ag
Disusun Oleh :
Kelompok 3
1.             Joko Lestiyo                                  ( 12360020 )
2.             Ahmad Fauzan                             ( 16360001 )
3.             Aang Sobari Saeful Risal             ( 16360012 )
4.             Danial Muhammad Milkiz          ( 16360025 )


PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2016/2017


KATA PENGANTAR

     Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan tugas Makalah dengan judul “ legislasi pada masa imam–imam madzhab”.
     Sholawat teriring salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah hingga zaman yang terang benderang.
     Tujuan dibuatnya makalah ini diharapkan agar dijadikan sebagai wawasan kita terhadap mata kuliah “ Sejarah Hukum Islam ” sesuai dengan tema yang kami angkat. Penyusun telah berusaha demi keberhasilan dan kesempurnaan makalah ini. Namun, kami merasa masih terlalu banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mohon kritikan dan saran yang membangun baik dari dosen pembimbing maupun dari rekan-rekan mahasiswa.
     Tidak lupa penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada semua ppihak yang telah membantu dalam penyelesaian Makalah ini, semoga dengan apa yang ada dalam Makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua. Amiin ...




Yogyakarta, Maret 2017


penyusun


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................... 2
DAFTAR ISI................................................................................................... 3
PEMBAHASAN
          A.    Pengertian Madzhab............................................................................. 4
          B.     Faktor penyebab munculnya Imam – Imam Madzhab......................... 5
          C.     Macam – Macam Imam Madzhab........................................................ 9
    D.    Pengaruh Perkembangan Fiqh dan Hadits dengan penetapan Islam
          pada masa Imam Madzhab .................................................................. 14
KESIMPULAN............................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 22


PEMBAHASAN
A.  PENGERTIAN MADZHAB
Madzhab artinya aliran, golongan, faham, pokok pikiran dari seseorang. Dengan demikian Bermadzhab adalah mengikuti hasil pemikiran seseorang atau sekelompok orang dalam hubungannya dengan pelaksanaan hukum islam. Misalnya, bermadzhab Syafi’i berarti mengikuti pendapat – pendapat Imam Syafi’I dalam melaksanakan hukum Islam (Fiqh ).
Madzhab Fiqh bermula dari pendapat individu ( Ulama/ Mujtahid) yang kemudian diikuti oleh banyak orang dan berakumulasi menjadi keyakinan kelompok. Dasar pelaksanaan madzhab ini adalah ketaatan kepada imam mujtahid.
Menurut Amir Syarifuddin, terbentuknya madzhab fiqh ini ditandai oleh beberapa kegiatan yang mendahuluinya. Yaitu :
           1.      Menetapkan metode berfiqir untuk memahami sumber hukum islam
           2.      Menetapkan istilah hukum yang digunakan dalam fiqh
           3.      Menyusun kitab Fiqh secara sistematis dan mencakup semua masalah hukum.
Dalam Madzhab terkandung dua hal yang saling berkaitan, yaitu metode dan pendapat / fatwa.
Metode adalah jalan pikiran / cara yang di tempuh oleh Imam Madzhab dalam menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan Al – Qur’an dan Hadits.
Pendapat / Fatwa adalah kesimpulan atau keputusan hukum suatu peristiwa yang dihasilkan oleh imam madzhab.
            Oleh karena Itu, Bermadzhab dalam Fiqh ada dua macam, yaitu ;
          1.      Bermadzhab Fil Aqwal
Yaitu mengikuti segala pendapat dari seorang ulama tanpa mempertimbangkan dasar hukum penetapannya. Atau dikenal dengan Taqlid atau Imitasi.
          2.      Bermadzhab Fil Manhaj
Yaitu mengikuti seorang ulama dalam hal metode ijtihadnya, bukan sekedar mengikuti pendapatnya saja namun disertai dengan pemahaman tentang dasar perbuaatan yang dilakukan. Atau sering disebut dengan istilah Ittiba’
       Hukum asal bermadzhab adalah Mubah, hal ini berdasarkan pada tiga alasan, yaitu:
        1.      Kewajiban umat Islam adalah mengikuti dan melaksanakan semua ajaran Islam yang termaktub dalam Al – Qur’an dan Hadits
        2.      Kedudukan hukum Fiqh adalah relatif, karena merupakan produk akal manusia  ( ulama ) dalam menafsirkan ajaran – ajaran Islam yang terkandung dalam Al Qur’an dan Hadits.
        3.      Para imam mujtahid menyatakan bahwa semua pendapat mereka adalah keputusan pribadi yang mengikat hanya kepada diri mereka sendiri. Jika terdapat pendapat yang lebih kuat ( rajih ) dan lebih mendekati kebenaran, mereka mempersilahkan umat Islam untuk memilih pendapat tersebut.[1]

B.       FAKTOR – FAKTOR PENYEBAB MUNCULNYA IMAM – IMAM MADZHAB
Faktor munculnya imam madzhab di karenakan jumlah mujtahid di dunia ini tidak hanya satu otang saja maka besar kemungkinan terjadi perbedaan-perbedaan dalam hal pengambilan dan ketetapan suatu hukum islam. Hal ini berbeda ketika di masa rasulullah SAW dimana tidak akan terjadi perbedaan lantaran nabi sendiri adalah Al-Hakim sehingga segala sesuatu perdebatan dengan mudah di selesaikan dihadapan nabi.
Seiring berjalannya waktu dan wafatnya nabi, generasi penerus islam menghadapi tantangan dalam hal penetapan hukum karena perubahan zaman dan kebudayaan yang sangat deras, banyak permasalahan yang saat ini terjadi yang tidak ditemukan di zaman nabi. Untuk itu diperlukan madzhab untuk menetapkan hukum islam.
Awal terbentuknya madzhab tidak terjadi setelah wafatnya nabi SAW, tetapi terjadi secara bertahap. Sepeninggal nabi SAW, khulafaurrasyidin memiliki pandangan sendiri-sendiri dalam menyingkapi sebuah permasalahan, tetapi mereka bukan termasuk imam madzhab. Timbul suatu pertanyaan mengapa keempat khalifah tersebut bukan disebut imam madzhab padahal mereka bukan al-hakim dan berijtihad pada permasalahan yang tidak dilakukan nabi SAW.
Contoh Ijtihad pada masa sahabat ialah ketika Abu bakar mentapkan jizyah/pajak bagi masyarakat non muslim di madinah ataupun Umar bin Khattab membentuk baitul mall untuk menjaga keuangan Negara. Kebijakan-kebijakan tersebut tidak pernah dilaksanakan pada masa nabi, tetapi mengingat semakin berkembangnya kehidupan ekonomi masyrakat tersebut maka perlu diambil kebijakan tersebut.
Sebagaimana diketahui, bahwa ketika agama islam telah tersebar meluas ke berbagai penjuru, banyak sahabat nabi yang telah pindah tempat dan berpencar-pencar ke seluruh penjuru dunia. Dengan demikian, kesempatan untuk bertukar pikiran atau bermusyawarah memecahkan suatu masalah sukar di laksanakan.
Sejalan dengan pendapat diatas, Qasim Abdul Aziz Khomis menjelaskan bahwa factor-faktor yang menyebabkan ikhtilaf dikalangan sahabat ada tiga yakni :
1.    Perbedaan para sahabat dalam memahami nash-nash al-qur’an
2.   Perbedaan para sahabat disebabkan perbedaan riwayat
3.   Perbedaan para sahabat dikarenakan ra’yu.
Sementara Jalaluddin Rahmat melihat menyebab ikhtilaf dari sudut pandang yang berbeda, ia berpendapat bahwa salah satu sebab utama ikhtilaf diantara para sahabat prosedur penetapan hukum untuk masalah-masalah baru yang tidak terjadi pada zaman Rasulullah SAW.
Setelah berakhirnya masa sahabat yang dilanjutkan dengan masa tabi’in, muncullah generasi tabi’it tabi’in. ijtihad para sahabat dan tabi’in dijadikan suri tauladan oleh generasi penerusnya yang tersebar diberbagai daerah wilayah kekuasaan islam pada saat itu. generasi ketiga ini dikenal dengan Masa Tabi’it Tabi’in. didalam sejarah dijelaskan bahwa masa ini dimulai memasuki abad kedua hijriah, dimana pemerintahan islam dipegang oleh daulah abbasiyah. Periode ini dalam sejarah hukum islam juga dianggap sebagai periode gemilangan fiqh islam, dimana lahir beberapa madzhab fiqh yang panji-panjinya yang dibawa tokoh-tokoh fiqh yang agung yang berjasa mengintegrasi fiqh islam dan meninggalkan khazanah luar biasa yang menjadi landasan kokoh bagi setiap ulama fiqh sampai sekarang.
Sebenarnya periode ini adalah kelanjutan periode sebelumnya, karena pemikiran-pemikiran dibidang fiqh yang diwakili madzhab ahli hadist dan ahli ra’yu menyebabkan timbulnya madzhab-madzhab fiqh, dan madzhab-madzhab inilah yang mengaplikasikan pemikiran-pemikiran operasional. Ketika mamasuki abad kedua hijriah inilah merupakan era kelahiran madzhab-madzhab hukum dan dua abad kemudian madzhab-madzhab hukum ini telah melembaga dalam masyrakat islam dengan pola dan karakteristik tersindiri dalam melakukan istinbath hukum.
Kelahiran madzhab-madzhab hukum dengan pola dan karakteristik tersindiri ini, tak pelak lagi menimbulkan berbagai perbedaan pendapat dan beragamnya produk hukum yang dihasilkan. Para tokoh atau imam madzhab seperti abu hanifah, imam malik, imam syafi’i, imam ahmad ibn hanbal dan lainnya, masing-masing menawarkan kerangka metodologi, teori dan kaidah-kaidah ijtihad yang menjadi pijakan mereka dalam menetapkan hukum.
 Metodelogi, teori, dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para tokoh dan para imam madzhab ini, pada awalnya hanya bertujuan untuk memberikan jalan dan merupakan langkah-langkah atau upaya dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang dihadapi baik dalam memahami nash al-qur’an dan al-hadist maupun kasus-kasus hukum yang tidak ditemukan jawabnnya dalam nash.
 Metodelogi, teori, dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para imam madzhab tersebut terus berkembang dan diikuti oleh generasi selanjutnya dan ia tanpa disadari menjelma menjadi doktrin untuk menggali hukum dan sumbernya. Dengan semakin mengakarnya dan melembaganya doktrin pemikiran hukum dimana satu dengan lainnya terdapat perbedaan yang khas, maka kemudian ia muncul sebagai aliran atau madzhab yang akhirnya menjadi pijakan oleh masing-masing pengikut madzhab dalam melakukan istinbath hukum. Teori-teori pemikiran yang telah dirumuskan oleh masing-masing madzhab tersebut merupakan sesuatu yang sangat penting artinya, karena ia menyangkut penciptaan pola kerja dan kerangka metodologi, yang sistematis dalam usaha melakukan istinbath hukum. Penciptaan pola kerja dan kerangka metodelogi tersebut inilah dalam pemikiran hukum islam disebut ushul fiqh.
Sampai saat ini fiqh ikhtilaf terus berlangsung, mereka tetap bersilisih paham dalam masalah furu’iyyah, sebagai akibat dari keanekaragaman sumber dan aliran dalam memahami nash dan mengistinbathkan hukum yang tidak ada nashnya. Persilisihan itu terjadi antara pihak yang memperluas dan mempersempit, antara memperlonggar dan memperketat, antara cenderung berpegang pada zahir nash, antara yang mewajibkan madzhab dan yang melarangnya. Menurut penulis, perbedaan pendapat dikalangan umat islam ini, sampai kapan pun dan di tempat manapun akan terus berlangsung dan hal ini menunjukkan kedinamisan umat islam, karena pola piker manusia terus berkembang. Pendapat-pendapat inilah yang kemudian melahirkan madzhab-madzhab islam yang masih menjadi pegangan orang sampai sekarang. Masing-masing madzhab tersebut memiliki pokok-pokok pegangan yang berbeda yang akhirnya melahirkan pandangan dan pendapat yang berbeda pula, termasuk diantaranya adalah pandangan mereka terhadap kedudukan al-qur’an dan as-sunnah.[2]


C.      MACAM – MACAM IMAM MADZHAB
Mazhab fiqih yang muncul dalam periode ini adalah: Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i,  Hambali, Al Laits bin Sa’ad, Al Auza’i, al Hasan al Bashri, Utsman bin Sulaiman, Ishaq bin Rahawaih, Sufyan at Tsauri, Abu Tsur, Abu Ubaid, Daud bin Ali, Ibnu Jarir Atthabari (semuanya ahli sunnah), Zaid bin Ali, Ja’far Shadiq (Syi’ah), Abdullah bin Ibadh (Khawarij).
Dari sekian banyaknya Mazhab diatas, ada 4 (empat) madzhab yang sangat populer dan  masih utuh sampai sekarang, yaitu sebagai berikut:
1.     Madzhab Hanafi
Pemikiran fiqh dari mazhab ini diawali oleh Imam Abu Hanifah. Ia dikenal sebagai imam Ahlurra’yi serta faqih dari Irak yang banyak dikunjungi oleh berbagai ulama di zamannya.[3]
Mazhab Hanafi dikenal banyak menggunakan ra’yu, qiyas, dan istihsan. Dalam memperoleh suatu hukum yang tidak ada dalam nash, kadang-kadang ulama mazhab ini meninggalkan qaidah qiyas dan menggunakan qaidah istihsan. Alasannya, qaidah umum (qiyas) tidak bisa diterapkan dalam menghadapi kasus tertentu. Mereka dapat mendahulukan qiyas apabila suatu hadits mereka nilai sebagai hadits ahad.
Yang menjadi pedoman dalam menetapkan hukum Islam (fiqh) di kalangan Mazhab Hanafi adalah Al-Qur’an, sunnah Nabi SAW, fatwa sahabat, qiyas, istihsan, ijma’i. Sumber asli dan utama yang digunakan adalah Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW, sedangkan yang lainnya merupakan dalil dan metode dalam meng-istinbat-kan hukum Islam dari kedua sumber tersebut.
Tidak ditemukan catatan sejarah yang menunjukkan bahwa Imam Abu Hanifah menulis sebuah buku fiqh. Akan tetapi pendapatnya masih bisa dilacak secara utuh, sebab muridnya berupaya untuk menyebarluaskan prinsipnya, baik secara lisan maupun tulisan. Berbagai pendapat Abu Hanifah telah dibukukan oleh muridnya, antara lain Muhammad bin Hasan asy-Syaibani dengan judul Zahir ar-Riwayah dan An-Nawadir. Buku Zahir ar-Riwayah ini terdiri atas 6 (enam) bagian, yaitu:
* Bagian pertama diberi nama al-Mabsut;
* Bagian kedua al-Jami’ al-Kabir;
* Bagian ketiga al-Jami’ as-Sagir;
* Bagian keempat as-Siyar al-Kabir;
* Bagian kelima as-Siyar as-Sagir; dan
* Bagian keenam az-Ziyadah.
Keenam bagian ini ditemukan secara utuh dalam kitab Al-Kafi yang disusun oleh Abi al-Fadi Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Maruzi (w. 344 H.). Kemudian pada abad ke-5 H. muncul Imam as-Sarakhsi yang mensyarah al-Kafi tersebut dan diberi judul al-Mabsut. Al-Mabsut inilah yang dianggap sebagai kitab induk dalam Mazhab Hanafi.
Disamping itu, Mazhab Hanafi juga dilestarikan oleh murid Imam Abu Hanifah lainnya, yaitu Imam Abu Yusuf yang dikenal juga sebagai peletak dasar usul fiqh Mazhab Hanafi. Ia antara lain menuliskannya dalam kitabnya al-Kharaj, Ikhtilaf Abu Hanifah wa Ibn Abi Laila, dan kitab-kitab lainnya yang tidak dijumpai lagi saat ini.
Ajaran Imam Abu Hanifah ini juga dilestarikan oleh Zufar bin Hudail bin Qais al-Kufi (110-158 H.) dan Ibnu al-Lulu (w. 204 H). Zufar bin Hudail semula termasuk salah seorang ulama Ahlulhadits.
Berkat ajaran yang ditimbanya dari Imam Abu Hanifah langsung, ia kemudian terkenal sebagai salah seorang tokoh fiqh Mazhab Hanafi yang banyak sekali menggunakan qiyas. Sedangkan Ibnu al-Lulu juga salah seorang ulama Mazhab Hanafi yang secara langsung belajar kepada Imam Abu Hanifah, kemudian ke pada Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani.


2.     Mazhab Maliki.
Pemikiran fiqh mazhab ini diawali oleh Imam Malik. Ia dikenal luas oleh ulama sezamannya sebagai seorang ahli hadits dan fiqh terkemuka serta tokoh Ahlulhadits.
Pemikiran fiqh dan usul fiqh Imam Malik dapat dilihat dalam kitabnya al-Muwaththa’ yang disusunnya atas permintaan Khalifah Harun ar-Rasyid dan baru selesai di zaman Khalifah al-Ma’mun. Kitab ini sebenarnya merupakan kitab hadits, tetapi karena disusun dengan sistematika fiqh dan uraian di dalamnya juga mengandung pemikiran fiqh Imam Malik dan metode istinbat-nya, maka buku ini juga disebut oleh ulama hadits dan fiqh belakangan sebagai kitab fiqh. Berkat buku ini, Mazhab Maliki dapat lestari di tangan murid-muridnya sampai sekarang.
Prinsip dasar Mazhab Maliki ditulis oleh para murid Imam Malik berdasarkan berbagai isyarat yang mereka temukan dalam al-Muwaththa’. Dasar Mazhab Maliki adalah Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, Ijma’, Tradisi penduduk Madinah (statusnya sama dengan sunnah menurut mereka), Qiyas, Fatwa Sahabat, al-Maslahah al-Mursalah, ‘Urf; Istihsan, Istishab, Sadd az-Zari’ah, dan Syar’u Man Qablana. Pernyataan ini dapat dijumpai dalam kitab al-Furuq yang disusun oleh Imam al-Qarafi (tokoh fiqh Mazhab Maliki). Imam asy-Syatibi menyederhanakan dasar fiqh Mazhab Maliki tersebut dalam empat hal, yaitu Al-Qur’ an, sunnah Nabi SAW, ijma’, dan rasio. Alasannya adalah karena menurut Imam Malik, fatwa sahabat dan tradisi penduduk Madinah di zamannya adalah bagian dari sunnah Nabi SAW. Yang termasuk rasio adalah al-Maslahah al-Mursalah, Sadd az-Zari’ah, Istihsan, ‘Urf; dan Istishab. Menurut para ahli usul fiqh, qiyas jarang sekali digunakan Mazhab Maliki. Bahkan mereka lebih mendahulukan tradisi penduduk Madinah daripada qiyas.
Para murid Imam Malik yang besar andilnya dalam menyebarluaskan Mazhab Maliki diantaranya adalah Abu Abdillah Abdurrahman bin Kasim( w. 191 H.) yang dikenal sebagai murid terdekat Imam Malik dan belajar pada Imam Malik selama 20 tahun, Abu Muhammad Abdullah bin Wahab bin Muslim (w. 197 H.) yang sezaman dengan Imam Malik, dan Asyhab bin Abdul Aziz al-Kaisy (w. 204 H.) serta Abu Muhammad Abdullah bin Abdul Hakam al-Misri (w. 214 H.) dari Mesir. Pengembang mazhab ini pada generasi berikutnya antara lain Muhammad bin Abdillah bin Abdul Hakam (w. 268 H.) dan Muhammad bin Ibrahim al-Iskandari bin Ziyad yang lebih populer dengan nama Ibnu al-Mawwaz (w. 296 H.).
Disamping itu, ada pula murid-murid Imam Malik lainnya yang datang dari Tunis, Irak, Hedjzaz, dan Basra. Disamping itu Mazhab Maliki juga banyak dipelajari oleh mereka yang berasal dari Afrika dan Spanyol, sehingga mazhab ini juga berkembang di dua wilayah tersebut.
3.     Mazhab Syafi’i
Pemikiran fiqh mazhab ini diawali oleh Imam asy-Syafi’i. Keunggulan Imam asy-Syafi’i sebagai ulama fiqh, usul fiqh, dan hadits di zamannya diakui sendiri oleh ulama sezamannya.
Sebagai orang yang hidup di zaman meruncingnya pertentangan antara aliran Ahlulhadits dan Ahlurra ‘yi, Imam asy-Syafi ‘i berupaya untuk mendekatkan pandangan kedua aliran ini. Karenanya, ia belajar kepada Imam Malik sebagai tokoh Ahlulhadits dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani sebagai tokoh Ahlurra’yi.
Prinsip dasar Mazhab Syafi’i dapat dilihat dalam kitab usul fiqh ar-Risalah. Dalam buku ini asy-Syafi’i menjelaskan kerangka dan prinsip mazhabnya serta beberapa contoh merumuskan hukum far’iyyah (yang bersifat cabang). Dalam menetapkan hukum Islam, Imam asy-Syafi’i pertama sekali mencari alasannya dari Al-Qur’an. Jika tidak ditemukan maka ia merujuk kepada sunnah Rasulullah SAW. Apabila dalam kedua sumber hukum Islam itu tidak ditemukan jawabannya, ia melakukan penelitian terhadap ijma’ sahabat. Ijma’ yang diterima Imam asy-Syafi’i sebagai landasan hukum hanya ijma’ para sahabat, bukan ijma’ seperti yang dirumuskan ulama usul fiqh, yaitu kesepakatan seluruh mujtahid pada masa tertentu terhadap suatu hukum, karena menurutnya ijma’ seperti ini tidak mungkin terjadi. Apabila dalam ijma’ tidakjuga ditemukan hukumnya, maka ia menggunakan qiyas, yang dalam ar-Risalah disebutnya sebagai ijtihad. Akan tetapi, pemakaian qiyas bagi Imam asy-Syafi ‘i tidak seluas yang digunakan Imam Abu Hanifah, sehingga ia menolak istihsan sebagai salah satu cara meng-istinbat-kan hukum syara’.
Penyebarluasan pemikiran Mazhab Syafi’i berbeda dengan Mazhab Hanafi dan Maliki. Diawali melalui kitab usul fiqhnya ar-Risalah dan kitab fiqhnya al-Umm, pokok pikiran dan prinsip dasar Mazhab Syafi ‘i ini kemudian disebarluaskan dan dikembangkan oleh para muridnya. Tiga orang murid Imam asy-Syafi ‘i yang terkemuka sebagai penyebar luas dan pengembang Mazhab Syafi’i adalah Yusuf bin Yahya al-Buwaiti (w. 231 H./846 M.), ulama besar Mesir; Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w. 264 H./878 M.), yang diakui oleh Imam asy-Syafi ‘i sebagai pendukung kuat mazhabnya; dan ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (w. 270 H.), yang besar jasanya dalam penyebarluasan kedua kitab Imam asy-Syafi ‘i tersebut.
4.     Mazhab Hanbali
Pemikiran Mazhab Hanbali diawali oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Ia terkenal sebagai ulama fiqh dan hadits terkemuka di zamannya dan pernah belajar fiqh Ahlurra’yi kepada Imam Abu Yusuf dan Imam asy-Syafi’i.
Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziah, prinsip dasar Mazhab Hanbali adalah sebagai berikut:
a.    An-Nusus (jamak dari nash), yaitu Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, dan Ijma’
b.    Fatwa Sahabat
c.    Jika terdapat perbedaan pendapat para sahabat dalam menentukan hukum yang dibahas, maka akan dipilih pendapat yang lebih dekat dengan Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW.
d.   Hadits mursal atau hadits daif yang didukung oleh qiyas dan tidak bertentangan dengan ijma’; dan
e.    Apabila dalam keempat dalil di atas tidak dijumpai, akan digunakan qiyas. Penggunaan qiyas bagi Imam Ahmad bin Hanbal hanya dalam keadaan yang amat terpaksa. Prinsip dasar Mazhab Hanbali ini dapat dilihat dalam kitab hadits Musnad Ahmad ibn Hanbal. Kemudian dalam perkembangan Mazhab Hanbali pada generasi berikutnya, mazhab ini juga menerima istihsan, sadd az-Zari’ah, ‘urf; istishab, dan al-maslahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam.

Para pengembang Mazhab Hanbali generasi awal (sesudah Imam Ahmad bin Hanbal) diantaranya adalah al-Asram Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Hani al-Khurasani al-Bagdadi (w. 273 H.), Ahmad bin Muhammad bin al-Hajjaj al-Masruzi (w. 275 H.), Abu Ishaq Ibrahim al-Harbi (w. 285 H.), dan Abu al-Qasim Umar bin Abi Ali al-Husain al-Khiraqi al-Bagdadi (w. 324 H.). Keempat ulama besar Mazhab Hanbali ini merupakan murid langsung Imam Ahmad bin Hanbal, dan masing-masing menyusun buku fiqh sesuai dengan prinsip dasar Mazhab Hanbali di atas.[4]

D.      PENGARUH PERKEMBANGAN FIQH DAN HADITS DENGAN PENETAPAN ISLAM PADA MASA IMAM MADZHAB
Pengaruh perkembangan hukum Islam baik Fiqh maupun Hadits pada priode ini di antaranya:
a.    Perhatian para khalifah terhadap fiqh dan fuqaha.
Para khalifah Abbasiyah tidak membatasi perhatiannya terhadap politik saja sebagaimana pada masa Umayyah, akan tetapi lebih menekankan langkah-langkah agama. Demikian pula mereka tidak menyepelekan posisi para fuqaha seperti yang telah dilakukan oleh para khalifah, misalnya Abu Ja’far al-Mansur memberi mereka berbagai hadiah. Al-Mahdi dan khalifah sesudahnya menjauhkan kaum zindiq dan menyiksanya, serta al-Rasyid mengkhususkan Abu Yusuf (salah seorang murid dari Imam Abu Hanifah) sebagai teman bergaul. Demikian pula al-Makmun bergaul bersama ulama dalam diskusi ilmiah.[5]
Jadi dari penjelasan ini dapat dipahami bahwa perhatian khalifah terhadap fiqh dan fuqaha ini telah memberikan pengaruh yang jelas dalam pembentukan hukumterutama situasi yang diorientasikan oleh para hakim, sehingga apa yang dianjurkan oleh para hakim, masyarakat cepat merealisasikan tujuan mereka.
b.   Kebebasan Berfikir
Kebebasan berfikir yang dialami pada masa ini, Sangat besar karena apabila salah seorang di antara mereka berijtihad dalam mengetahui hukum dengan tenang tanpa dibatasi oleh suatu kekuatan yang mengkunkung pendapatnya. Namun yang menjadi sumber rujukannya adalah Alquran dan Sunnah Rasul. Pada waktu itu pemerintah tidak mengharuskan undang-undang khusus dalam pembentukan hukum dan tidak ada mazhab tertentu dalam fiqh, sehingga dalam satu masalah yang dihadapkan kepada para fuqaha akan diperoleh lebih dari satu fatwa hukum, karena masing masing qadhi dan para mufti berfatwa dengan pendapat hasil ijtihad mereka.
Demikian pula orang yang siap berijtihad, mereka mengikuti mufti mana saja, karena mazhab belum terbatas dan orang tidak diharuskan untuk mengikuti satu mazhab tertentu.
c.    Luasnya Wilayah
Kekuasaan Islam Pada priode ini kekuasaan Islam telah meliputi berbagai macam bangsa dengan latar belakang tradisi dan strata sosial serta kepentingan yang berbeda-beda. Wilayah kekuasaan tersebut berkembang luas ke Timur hingga menembus sampai ke negeri Andalusia (Spanyol). Penduduk yang sangat luas ini sudah merupakan keharusan adanya undang-undang yang dijadikan pedoman dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, terutama para qadhi dan gubernur, dengan ketetapan bahwa undang-undang dan pemberian fatwa-fatwa tetap bersumberkan dari syariat.[6]
Olehnya itu para ulama berusaha mencurahkan segenap kapasitas kemampuannya mengembangkan seluruh permasalahan yang terjadi kepada sumber-sumber hukum Islam. Karena di suatu negara banyak dipengaruhi oleh adat kebiasaan, seperti di Irak ahli fiqhi dihadapkan adat kebiasaan Persia dan Syiria, al-Auza’i dihadapkan adat kebiasaan dan hubungan sosial yang semuanya bercorak Romawi serta di Mesir al-Laits bin Saad dan Syafi’i dihadapkan campuran Mesir dengan Romawi, demikan seterusnya. [7]
Jadi para ulama berusaha membersihkan apa yang dihadapinya, sebagiannya diterima dan sebagiannya juga ditolak sampai kehidupan umum daerah itu bercorak Islami, sehingga dikenal banyak hukum-hukum bersumber dari hadis-hadis dan adat. berdasarkan pertimbangan kemaslahatan dan hajat tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa perundang-undangan dalam Islam tidak mempersempit kebutuhan hidup dan tidak mengurangi kemaslahatan.
d.        Pembukuan Ilmu Pengetahuan
Pada priode ini Alquran sudah dibukukan dan tersebar luas di kalangan umat Islam. Demikain pula hadis nabi kebanyakan telah dibukukan sejak awal abad ke-2 H. Serta fatwa sahabat dan tabi’in juga telah dibukukan. Olehnya itu para imam Mujtahid pada periode ini ketika menghadapi berbagai permasalahan, maka dengan mudah mereka merujuk kepada Alquran dan Sunnah serta fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in.

Di antara ilmu-ilmu yang telah dibukukan dan sangat dibutuhkan fiqh adalah tafsir dan sunnah.
1.     Pembukuan Tafsir
Pada masa sahabat Diantara penafsir adalah Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Ibnu Mas’ud dan Ubai bin Abbas, mereka ini menafsirkan ayat Alquran dan terkadang juga menjelaskan sebab turunnya. Dengan sandaran yang mereka dengar dari Rasulullah.
 Lalu pada masa tabi’in mereka meriwayatkan dari sahabat. Demikianlah setiap tingkatan meriwayatkan dari para pendahulunya dan menambahkan apa yang dihasilkan ijtihad mereka. Kemudian hal ini menyebabkan para ulama berorientasi pada pengumpulan tafsir dan setiap ulama pada masing-masing daerah mengumpulkan riwayat yang diketahui tokoh daerahnya, sebagaimana yang dilakukan penduduk Mekah terhadap tafsir Ibnu Abbas. Penduduk Kufah terhadap tafsir Ibnu Mas’ud.
Pada masa Abbasyiah, para ulama mulai menyusun tafsir berdasarkan susunan ayat, diantaranya tafsir Ibnu Jurais, tafsir As-Sudiy, tafsir Muhammad bin Ishak dan sebagainya. Sayangnya tafsir tersebut tidak sampai kepada kita secara asli, namun isi kandungannya ditulis oleh Ibnu Jarir al-Tabari.
Dalam kitabnya yang terkenal tafsir al-Thabari, merupakan satu kitab tafsir yang menyimpulkan hadis-hadis dan pendapat-pendapat terdahulu.[8] Jadi pada periode ini pada dasarnya bukan hanya Alquran telah dibukukan akan tetapi tafsir-tafsir Alquran juga banyak telah dibukukan, hal ini memudahkan memahami sumber hukum. Karena diketahui juga bahwa pada masa Abbasyiah ilmu yang timbul dengan berbagai macamnya, seperti nahwu, sharaf, tarikh dan lainnya yang membantu memahami isi kandungan Alquran.


2.     Pembukuan Sunnah Rasulullah.
Pembukuan sunnah ini resmi dilakukan pada masa Khalifah Umar bin
Abdul Aziz dan orang yang pertama-tama mengumpulkan hadis tersebut adalah Abu Bakar Muhammad bin Amir bin Hazim dan Ibnu Syihab al-Zuhri yang mengumpulkan hadis yang ada di Madinah.
Sejak masa itu dimulai pembukuan hadis yang merupakan materi pokok fiqhi lalu dilanjutkan para ulama, seperti Ibnu Juraij di Mekah, Anas bin Malik di Madinah dan Rabi’ bin Shabih di Basrah. Hanya saja bukan semata-mata hadis yang dikumpulkan tetapi masih bercampur dengan pendapat sahabat dan fatwa-fatwa tabi’in.
Pada akhir abad II lalu diriwayatkan hadis hanya semata-mata dari nabi, dalam bentuk musnad seperti musnad Ahmad bin Hanbal, kemudian dilanjutkan oleh generasi berikutnya yang berusaha membedakan antara hadis sahih dan daif. Lalu mereka menyusun hadis berdasarkan bab fiqhi. Mereka yang melakukan hal ini seperti para tokoh yang enam yaitu Imam Bukhari, Imam Muslim, Abu Dawud, al-Turmudzi, Ibnu Majah dan al-Nasa’i. Buku-buku mereka dikenal dengan  اﻟﺴﺘﺔ ﻛﺘﺐ Pada periode ini muncul tokoh-tokoh yang memiliki bakat dan kemampuan yang didukung oleh situasi dan kondisi yang ada, sehingga hukum Islam semakin berkembang, seperti Abu Hanifah (150 H/767 M), Malik (179 H/798 M), Syafi’i (204 H/820 M), dan Ahmad bin Hanbal (241 H/955 M) serta sahabat mereka dan tokoh tokoh lainnya yang semasa dengan mereka. Keempat tokoh inilah yang besar pengaruhnya dalam periode ini.
 Setelah terjadinya pembukuan tafsir dan sunnah, maka sumber-sumber hukum Islam pada periode pembukuan ini ada 4 (empat) :
1. Alquran
2. Sunnah
3. Ijma’
4. Ijtihad dengan metode qiyas atau ijtihad dengan salah satu metode istinbath.
 Apabila seorang mufti mendapatkan ketetapan hukum pada suatu masalah dalam Alquran atau sunnah, maka dia harus berpedoman kepada ketetapan nash tersebutkalau tidak didapatkan dalam Alquran dan sunnah, namun dia mengetahui ketetapan hukumnya berdasarkan ijma’ para mujtahid, maka dia harus berpegang dan memberi fatwa hukum berdasarkan ijma’ tersebut. Apabila tidak didapatkan dari Alquran, sunnah dan ijma’, maka barulah mereka berijtihad dan beristinbath sesuai dengan petunjuk syariat.


KESIMPULAN
Ø  Madzhab artinya aliran, golongan, faham, pokok pikiran dari seseorang. Dengan demikian Bermadzhab adalah mengikuti hasil pemikiran seseorang atau sekelompok orang dalam hubungannya dengan pelaksanaan hukum islam.
Ø  Munculnya Mazhab-mazhab fiqh diawali dari munculnya mazhab ahli ra’yi dan mazhab ahli hadis. Mazhab inilah yang mengaplikasikan pemikiran -pemikiran operasional hukum Islam
Ø  Mazhab fiqih yang muncul dalam periode ini adalah: Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i,  Hambali, Al Laits bin Sa’ad, Al Auza’i, al Hasan al Bashri, Utsman bin Sulaiman, Ishaq bin Rahawaih, Sufyan at Tsauri, Abu Tsur, Abu Ubaid, Daud bin Ali, Ibnu Jarir Atthabari (semuanya ahli sunnah), Zaid bin Ali, Ja’far Shadiq (Syi’ah), Abdullah bin Ibadh (Khawarij).
Ø  Ada 4 (empat) madzhab yang sangat populer dan  masih utuh sampai sekarang, yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i,  dan Hambali.
Ø  Metode Istimbat Abu Hanifah
a.         Al Quran
b.         Hadis Nabi Yang Shahih
c.         Ijma’ Sahabat Nabi
d.        Qiyas
e.         Istihsan (Kebaikan Umum)
f.          Adat Masyarakat Setempat
Ø  Metode Istimbat Imam Malik
a.           Al Quran
b.          Hadis Nabi Yang Shahih
c.           Ijma’  ‘Amalan Ahlu Madinah
d.          Qiyas
e.            Maslahah Mursalah/Istislah


Ø  Metode Istimbat Imam Syafi’i
a.         Al Quran
b.         Hadis  Shahih
c.         Ijma’ Para Mujtahid
d.        Fatwa Sahabat
e.         Qiyas
Ø  Metode Istimbat Ahmad bin Hambal
a.         Al Quran
b.         Hadis Nabi 
c.         Fatwa Sahabat
d.        Hadis Mursal Dan Dha’if
e.         Qiyas
Ø  Sebab – sebab terjadinya perbedaan dalam Bermadzhab, sebagai berikut :
a.         Perbedaan cara istimbath para fuqaha, watak serta kesiapan ilmiah mereka, sehingga ada yang keras,ada yang moderat, dan toleran.
b.         Lingkungan hidup fuqaha Islam berbeda macam dan kecendrungannya, sehingga perlu suatu penyesuaian.
c.         Perbedaan bukanlah pada hal-hal pokok, semua terikat dengan hukum fiqih yang disepakati; al-Quran, as-Sunnah, ijma’ dan ra’yu yang disyariatkan.
d.        Perbedaan dalam mendapatkan hadis tertentu
e.         Beda pemahaman terhadap suatu nash
f.          Metode pengambilan hukum yang berbeda.
Ø  Pengaruh perkembangan hukum Islam baik Fiqh maupun Hadits pada priode ini di antaranya:
a.         Perhatian para khalifah terhadap fiqh dan fuqaha.
b.         Kebebasan Berfikir
c.         Luasnya Wilayah
d.        Pembukuan Ilmu Pengetahuan


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab Khallaf, Khulasah Tarikh al – Tasyri al – Islamy, (cet. I : Jakarta : Raja Grafindo, 2001)

Ahmad Asy – Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Madzhab, ( Jakarta, Hamzah, 2011 )
Dr. Ali Sodiqin, Dkk. Fiqh Ushul Fiqh; Metodologi dan Implementasinya di Indonesia, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014

Muhammad Ali as – Sayis, Tarikh al – Fiqh al – islami. Diterjemahkan oleh Dedi Junaidi dengan judul “Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam” (Cet. I. Jakarta. Akademika Arresindo, 1996)

M. Quraisy Shihab. Membumikan Al – Quran ( Cet. VI Bandung. Mizan, 1994 )

M. Syuhudi Islmail. Pengantar Ilmu Hadits ( Cet. II, Bandung : Angkasa, 1994 )




[1] Dr. Ali Sodiqin, Dkk. Fiqh Ushul Fiqh; Metodologi dan Implementasinya di Indonesia, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014
[3] Ahmad Asy – Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Madzhab, ( Jakarta, Hamzah, 2011 )

[5] M. Syuhudi Islmail. Pengantar Ilmu Hadits ( Cet. II, Bandung : Angkasa, 1994 )
[6] Abdul Wahab Khallaf, Khulasah Tarikh al – Tasyri al – Islamy, (cet. I : Jakarta : Raja Grafindo, 2001)
[7] Muhammad Ali as – Sayis, Tarikh al – Fiqh al – islami. Diterjemahkan oleh Dedi Junaidi dengan judul “Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam” (Cet. I. Jakarta. Akademika Arresindo, 1996)
[8] M. Quraisy Shihab. Membumikan Al – Quran ( Cet. VI Bandung. Mizan, 1994 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa pesan saya jadilah orang yang jujur. Jangan jadi orang yang plagiat yang tidak mencantumkan sumber referensinya.

Kritik dan Saran sangat saya butuhkan, Demi menciptakan sesuatu yang sangat berguna dan bermanfaat Fiddunya Wal Akhiroh