MAKALAH
FIQH
DAN USHUL FIQH MADZHAB HANBALI
Dosen Pengampu: H. Wawan Gunawan, S.Ag.,
M.Ag.
Disusun Oleh: Kelompok 4
1.
Aang
Sobari Saeful Risal (16360012)
2.
Indriana (16360013)
3.
Abdul
Munif Afandi (16360014)
4.
Junita
Nur Atika (16360015)
JURUSAN
PERBANDINGAN MADZHAB
FAKULTAS
SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2016/2017
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Segala
puji bagi Allah swt atas segala karunia, rahmat, hidayah dan inayah nya
sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam tak
lupa pula kita ucapkan kepada Nabi Muhammad SAW, suri tauladan yang mulia serta
inspirator dalam segala aspek kehidupannya.
Secara
keseluruhan, makalah ini berisi tentang Imam Hanbali. Termasuk di dalam nya
kehidupan, perjalanan keilmuan, pemikiran-pemikiran, hambatan serta buah
karyanya. Makalah ini dapat terselesaikan dengan baik karena bantuan banyak
pihak. Oleh karena itu penyusun menyampaikan rasa hormat dan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penusunan makalah ini. Dan memohon
maaf atas kekurangan yang terdapat dalam makalah ini
Dasar
penyusunan makalah ini adalah buku-buku yang berisi tentang biografi dan
perkembangan madzhab yang didapat dari berbagai sumber. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat dan membawa kebaikan sebagaimana mestinya. Aamiin.
Wassalamu’alaikum. Wr.Wb.
Yogyakarta,
November 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................... 1
DAFTAR
ISI................................................................................................. 2
A.
PENDAHULUAN.................................................................................... 3
1.
Latar Belakang...................................................................................... 3
B.
PEMBAHASAN....................................................................................... 4
1.
Biografi Imam Ahmad Ibn Hanbal....................................................... 4
2.
Fiqh Imam Ahmad Ibn Hanbal............................................................. 7
3.
Usul Fiqh Imam Ahmad Ibn Hanbal.................................................. 15
4.
Kitab Karya Imam Ahmad Ibn Hanbal.............................................. 19
C.
PENUTUP............................................................................................... 22
1.
Kesimpulan......................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 23
A. PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Islam adalah
agama terakhir yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.Sumber ajaran islam
adalah Al-Qur’an dan Hadits. Jadi umat islam pada pelaksanaan hukum Islam
berpedoman pada dua sumber itu. Ketika Rasulullah masih hidup, segala
permasalahan yang belum jelas hukum nya bisa ditanyakan langsung kepada Rasul
sehingga pada masa itu para sahabat tidak mengalami kesulitan.
Namun ketika
Rasulullah wafat dan masa itu agama islam telah tersebar ke berbagai daerah,
permasalahan-permasalahan baru muncul dan solusi untuk itu adalah
menyelesaikannya dengan cara masing-masing. Munculah para ulama dengan metode
dan hasil pemikirannya.
Munculah ahli hadist dan ahli Fuqaha yang menyelesaikan persoalan
dengan metode tekstual atau kontekstual. Sebut saja Malik bin Annas, Abu
Hanifah, Muhammad Idris As-syafi’i yang mendapat dukungan dari pengikutnya lalu
berkembang menjadi madzhab.
Ahmad bin Hanbal, seorang Imam madzhab terakhir mendapat banyak
hambatan dalam kehidupannya. Muncul lebih akhir daripada madzhab yang lain
membuat hasil pemikirannya kalah sukses dalam penyebarannya. Ia terkenal ketat
ketat berpegang pada sunnah nabi setelah Al-Qur’an. Madzhab ini disebut-sebut
kurang sukses penyebaran ajarannya. Apa yang membedakan ia dan imam madzhab
sebelumnya. Hal ini lah yang mendasari kami (penyusun) untuk membahas mengenai
Imam Hambali dan proses pembentukan serta penyebaran madzhabnya.
B. PEMBAHASAN
1.
Biografi Ahmad Bin Hanbal
Imam Hambali,
salah satu imam madzhab sunni yang bernama lengkap Abu Abdullah Ahmad ibn
Muhammad ibn Hanbal ibn Hilal ibn Asad ibn Idris ibn Abdullah ibn Hayyain ibn
Abdullah Ibn Anas ibn Auf ibn Qasit ibn Syaiban[1].
Ia dikenalsebagai teladan yang zuhud dan saleh. Beliau hidup di zaman
pemerintahan Abbasyah. Lahir di kota Baghdad, bulan Rabiul Awal 164 Hijriyah
dan wafat pada Jum’at 12 Rabiul Awal 241 H
Orang tua Ibn
hambal adalah keturunan arab. Ayah nya Muhammad adalah seorang tentara dan Ibunya
bernama Safiyyah binti Maimunah binti Abdul Malik Asy- Sya’bani dari suku Amir.
Ia hidup dalam kemiskinan lantaran Ayahnya meninggal sebelum dia dilahirkan. Ia
pernah bekerja di kedai–kedai jahit, memenun kain kemudian menjualnya, dan
kadangkala membawa barang - barang di jalan - jalan.Sejak umur 14 tahun ia
mulai belajar bahasa dan menghafal Al-Qur’an. Setelah dia mempelajari bahasa
dan mengafal Qur’an Ibnu Hambal belajar menulis dan mengarang. Sebagian ilmu
dia pelajari dari Abu Yusuf. Beliau menyalin kitab-kitab Abu Yusuf kemudian
menghafalnya. Ibn Hambal pernah mengembara ke Mekkah, Madinah, Syam, Yaman,
Kufah, Baghdad, Basrah dan Jazirah untuk menuntut ilmu.
Guru pertama
nya yaitu Abi Yusuf Yakub bin Ibrahim Al- Qadhi yang mengajarinya ilmu Fiqih
dan Hadist. Ada yang berpendapat bahwa guru pertamanya yaitu Husyaim bin Basyir
bin Abi Khasim Al Wasiti, seorang ahli hadist.Lima tahun lamanya Ibn Hambal
berguru pada Husyaim. Dalam mempelajari fiqh dan usul Fiqh ia berguru pada Imam
Syafi’i. Ibnu Hambal bertemu Imam Syafi’i ketika Imam Syafi’i mengajar di Masjid
al Haram. Ibnu Hambal telah belajar bagaimana memahami dan menyimpulkan hukum
(Istimbath) dari Imam Syafi’i Ia mengaku kagum pada kecakapan imam Syafi’i
dalam mengistimbathkan hukum islam.Selain itu beliau juga berguru pada Umair
Bin Abdullah, Abdur Rahman bin Mahdi, Abi Bakar bin Iyasy dan Sufyan ibn
Uyainah.
Ibn Hambal
memilih jalan ahli hadis. Awalnya ia mengumpulkan hadist yang diriwayatkan
ulama-ulama di kotanya. Ibn Hambal menerima hadis mulai tahun 179 H-186 H di
Baghdad lalu bergerak menuju Basrah kemudian tahun berikutnya menuju Hijaz. Sejak
umur 16 tahun beliau mempelajari hadis dan melawat ke berbagai kota untuk
mencari hadis.
Setelah banyak
belajar dari guru-guru nya, pada umurnya yang ke 40 tahun beliau mengajar hadis
di masjid Al Jamii Baghdad. Ia mempunyai 2 majlis, yang pertama pelajaran ‘am diadakan
setelah ashar di masjid dan yang kedua pelajaran khas diadakan di rumahnya.Ibn
Hambal mencatat hadis yang ia dengar dan pelajari untuk menghindari kelupaan.
Dalam mengajar ia duduk dengan tenang dan tidak pernah bersendau gurau. Di
majlis nya adakalanya ia meriwayatkan hadis dan adakalanya memberikan fatwa.Termasuk
para muridnya yaitu Imam Bukhari, Imam Muslim, Yahya bin Adam, Abu Daud, Abdul
Rahman bin Mahdi, Yazid bin Harun, Ibrahim Al Harbi, Ad-Damasyiqi dan banyak
lagi.
Ibnu Hambal
menikah dengan Husan, hamba sahaya nya dan Al-Abbasah binti Al-Fadl. Dari Husan
ia dikaruniai beberapa anak yaitu Said, Muhammad, Al-Hasan, Zainab dan Fatimah
serta dua orang anak kembar yang diberi nama Hasan dan Husen yang meninggal
setelah baru dilahirkan. Dari Abbasah beliau dikaruniai beberapa anak yaitu
Salih dan Abdullah.
Khalifah Al-
Makmun, penguasa Abbasyah pada masa itu mengajak para ulama supaya sependirian
dengan dirinya tentang kemakhlukan Al-Qur’an sebagaimana pendapat
sahabat-sahabat Al-Makmun, Mu’tazilah. Imam Ahmad menyatakan faham itu salah
dan menyimpang dari Al-Qur’an. Al- Makmun menggunakan kekuasaannya untuk
memaksa para ulama supaya berpendirian sama dengannya. Namun Ibn Hambal menolak
hal itu dan dia pun dipenjara, diasingkan ke Tarsus dan dicambuk hingga pingsan.
Meskipun dalam keadaan yang menderita dia tetap teguh pada pendiriannya.
Konflik ini mereda ketika masa Khalifah Al- Mutawakkil, Ibn Hambal dilepaskan
dan kembali mengajar seperti biasa. Ia dihormati dan dimuliakan walau telah
mengalami penderitaan selama 14 tahun[2].
Menjelang
kematiannya, ibn Hambal terkena penyakit demam panas pada hari pertama di bulan
Rabi’ul Awal 240 H. Ketika ia sakit, ia tidak pernah mengeluh meski bagaimana
pun keadaannya, beliau tetap menjalankan solat sebagaimana mestinya. Ketika ia
berwudhu dan tidak mampu menyuci celah jari nya ia meminta kepada anak-anaknya
untuk menyucikannya. Imam Ibn Hambal wafat pada hari jum’at pagi tanggal 12
bulan Rabiul Awal 241 H dan dikebumikan ba’da sholat Jum’at diiringi pulahan
ribu orang[3].
Murid – murid
Imam Ahmad ibn Hambal yang terkenal dintaranya adalah Ibnu Qoyyim Al – Jauziyah
dan Najmudin Ar- Rafi. Kaidah Fiqhnya yang terkenal dari Ibnu Qoyyim Al-
Jauziyah adalah “ Hukum bisa berubah dan beragam karena perubahan waktu, tadisi
dan niat”. Sedang dari Najmudin Ar- Rafi Kaidah Fiqhnya adalah “ Bila ada
pertentangan antara Nash dan Maslahat, maka Maslahatlah yang lebih di
utamakan”.
Imam Ahmad bin
Hambal menurut shubhiy secara mapan mengajarkan ajaran keagamaan nya di
Baghdad. Tersiarnya mazhab hambali, tidak seperti tersiarya mazhab lainnya.
Mazhab ini mulai tersebar di kota Baghdad tempat kediaman Imam Ahmad ibn
Hambal, kemudian berkembang pula ke negeri Syam[4]. Masa
awal pertumbuhan madzhab Hambali mendapat pergolakan dan hambatan dalam perkembangan
nya karena berbagai daerah telah memeluk satu mazhab tertentu sehingga pemeluk
mazhab ini sedikit. Seperti Mesir yang saat itu dikuasai dinasti Fatimiyah
kemudian diganti ayyubiyah merupkan penganut Fanatik satu mazhab.
Mazhab Hambali
banyak tersebar di Kawasan Syam (Siria), khususnya Nabulus dan di sekitar
Damaskus. Di kawasan Jazirah Arabia, madzhab Hambali berkembang belakangan,
yaitu pada saat munculnya pergerakan yang dipimpin oleh Muhammad bin Abdul
Wahhab. Tokoh ini adalah pengikut madzhab Hambali yang fanatik yang ditekuninya
dari kitab Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Di tangan
keduanya lah ajaran Imam Hambali semakin meluas.
Menurut Mani’
ibn Hamad Al-Juhni, penyebarannya tidak seluas 3 madzhab pendahulunya dikarenakan
4 faktor, yaitu :
1.
Terlalu berpegang teguh pada riwayat dan naql.
2.
Sempitnya peluang melakukan ijtihad, kecuali dalam keadaan darurat.
3.
Tidak didukung oleh pemerintah, kecuali masa sekarang mendapat
dukungan pemerintah Saudi Arabia.
4.
Kemunculannya lebih akhir dari madzhab yang lain, maka pada masa
sekarang berkembang di Saudi Arabia[5].
2.
Fiqh Imam Ahmad ibn Hanbal
Pengertian Fiqh
menurut bahasa berarti pemahaman atau pengetahuan. sedangkan menurut istilah
fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum
syara amali yang diambil dari dalil – dalil yang terperinci.[6].
Pemikiran islam tentang fiqih oleh Imam Hambali. Ahmad ibn Hanbal (Imam
Hambali) menyibukkan diri sebagai seorang yang Ahli Hadist (tradisionalist),
para ahli theology menyetujui bahwa Imam Hambali sebagai Ahli Hadist. Adapun
hasil pemikirannya tentang Islam mengenai ilmu fiqih sebagai berikut.
1.
Najis dan bersuci :
Menurut madzhab Imam Hambali tentang bersuci, Imam Hambali berpendapat
bahwa: “Najis tidak dapat dihilangkan kecuali dengan air”. Dari pendapat Imam
Hambali tersebut, kami dapat memberi sebuah pendapat bahwa yang dimaksudkan
oleh Imam Hambali adalah najis tidak akan dikatakan hilang apabila belum
dibasuh dengan air. Namun air yang seperti apa? Apakah bisa dengan sembarang
air atau bagaimana? Itulah pertanyaan yang timbul ketika kami berfikir tentang
pendapat Imam Hambali mengenai bersuci.
Kemudian ada sebuah pendapat Imam Hambali kembali mengenai bersuci, “Air
tersebut tidak dapat dipergunakan untuk bersuci”. Pernyataan inilah yang seakan
membuat kami menjadi bertanya-tanya, air seperti apakah yang dimaksudkan? Maka
kami dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud oleh Imam Hambali ialah air yang
mampu untuk bersuci harus memiliki syarat mutlak yaitu air yang suci sekaligus
mensucikan. Artinya banyak sekali jenis air yang suci namun belum tentu
mensucikan.
2. Wudlu
Ada beberapa pendapat Imam Hambali mengenai Wudlu, antara lain:
·
Membaca Basmalah ketika wudlu adalah wajib.
·
Berkumur dan menghirup air kedalam hidung adalah sunnah didalam wudlu serta
mandi.
·
Wajib mengusap seluruh kepala.
·
Disunnahkan mengusap kepala dengan sekali sapu.
·
Kedua telinga termasuk bagian kepala. oleh karena itu, disunnahkan mengusap
keduanya ketika mengusap kepala.
·
Sunnah mengusap kepala serta telinga dengan sekali usap.
·
Boleh mengusap kedua kaki, boleh juga memilih antara membasuh dan mengusap
seluruh kaki.
·
Tertib didalam wudlu itu wajib.
Hal–hal yang dapat membatalkan Wudhu menurut
Imam Hambali antara lain, sebagai berikut[7] :
·
Apapun yang keluar dari qubul dan dubur dapat membatalakan Wudhu.
·
Apabila seseorang terus menerus berhadas, seperti air kencing terus menetes
atau sebentar – sebentar menetes, tidak membatalkan Wudhu asal setiap sholat
melakukan Wudhu.
·
Kalau hati, pengllihatan dan pendengarannya tidak berfungsi sewaktu tidur,
sehingga tidak dapat mendengar pembicaraan orang – orang sekitarnya dan tidak
dapat memahaminya, baik orang yang tidur tersebut dalam keadaan duduk ,
telentang atau berdiri, maka kalau sudah demikian dapat membatalkan Wudhu.
·
Imam Syafi’i dan Hambali berpendapat menyentuh wanita lain itu dapat
membatalkan Wudhu secara mutlak, baik sentuhan dengan telapak tangan maupun
dengan belakangnya.
·
Muntah dapat membatalkan Wudhu secara mutlak.
·
Keluarnya darah dan nanah dapat membatalkan Wudhu dengan syarat darah dan nanah yang keluar itu
banyak.
Dari beberapa pendapat Imam Hambali tersebut, kami dapat memberi pendapat
bahwa dalam hal wudlu ataupun rukun wudlu itulah yang sekarang ini dianut oleh
kebanyakan masyarakat Islam di Indonesia. Namun ada sebuah kekurangan atas
pendapat Imam Hambali dalam hal wudlu yang sebenarnya wajib dilakukan dalam
rukun wudlu yaitu mengenai membasuh wajah atau muka.
3. Tayamum
Menurut Imam Hambali mengenai Tayamum, ada beberapa pendapat yang
dikemukakan yaitu antara lain:
·
Tidak boleh bertayamum kecuali dengan tanah yang suci atau dengan pasir
yang berdebu.
·
Mengusap sampai kesiku adalah mustahab (sunnah), sedangkan sampai
kepergelangan tangan adalah wajib.
·
Tayamum akan batal secara mutlak jika telah menemukan air.
·
Tidak boleh mengerjakan dua sholat fardu dengan satu tayamum, baik bagi
orang mukmin ataupun musyafir.
Dari beberapa pendapat Imam Hambali tersebut mengenai Tayamum, maka kami
berpendapat bahwa tata cara bertayamum serta hal yang membatalkan tayamum sudah
sejalan dengan dasar hukum islam yaitu Al-qur’an. Namun seperti halnya pendapat
Imam Hambali mengenai wudlu,dalam tayamum ini pun sama. Masih ada sebuah
kekurangan tentang mengusap wajah atau muka.
Disamping itu, kami berpendapat mengenai tayamum yang tidak boleh
mengerjakan dua waktu sholat fardu dengan satu tayamum. Artinya ialah hanya
satu waktu sholat saja untuk satu tayamum,apabila untuk melaksanakan sholat
fardu berikutnya harus melakukan tayamum kembali.
4. Sholat
Imam Hambali berpendapat mengenai Sholat antara lain:
·
Menutup aurat termasuk syarat-syarat sholat.
·
Mengangkat kedua tangan pada waktu takbirotul ikhrom ada tiga. pendapat,
yaitu sejajar bahu, sejajar telinga dan boleh memilih diantara keduanya
·
Bersedekap dengan meletakkan kedua tangan dibawah pusar.
·
Wajib membaca Surat Al fatihah pada setiap roka’at sholat.
Berdasarkan pendapat Imam Hambali tersebut mengenai Sholat, kami
berpendapat bahwa dalam sholat seorang muslim atau muslimat wajib menutup
anggota tubuh mereka yang sebagai daerah terlarang untuk diperlihatkan (aurat),
karena dari segi moral bertujuan untuk menjaga kesopanan dan harga diri
seseorang.
Mengenai mengangkat tangan saat takbirotul ikhrom sebagian orang ada yang
sejajar bahu, Namun ada pula yang melakukannya sejajar telinga. Kedua hal
tersebut sah untuk dilakukan, akan tetapi lebih baik dilakukan dengan sejajar
bahu. Karena sesuai dengan anjuran Rosulullah SAW. Begitu pula dengan tata cara
bersedekap,lebih baik diletakkan diatas pusar atau lebih tepatnya di ulu hati.
Selain itu mengenai wajibnya membaca surat Al fatihah itu sangat
diharuskan, karena itu termasuk rukun dan syarat sahnya sholat. Jika hal itu
tidak dilakukan maka sholat yang dilakukan dapat dikatakan sia-sia.
5. Zakat
Mengenai membayar
zakat, Imam Hambali berpendapat bahwa “Jika seseorang memiliki barang sampai
nisab, maka ia harus mengeluarkan zakatnya”. Artinya bahwa seseorang yang
memiliki harta atau kekayaan yang sudah mencapai nisab (berat timbangan) sesuai
dengan hukum islam. Maka diwajibkan untuk mengeluarkan zakat. Hal ini bertujuan
agar kita belajar untuk saling berbagi dengan sesama, karena semua hal yang
kita punya adalah titipan yang sifatnya sementara.
6. Puasa, menurut Imam Hanbali
mengenai puasa, ada beberapa pendapat diantaranya:
·
Waktu niat dalam berpuasa ramadhan antara terbenam matahari hingga waktu
fajar kedua (fajar sadiq). Sedangkan puasa sunah boleh pada malam hari atau pagi hari dengan satu
syarat belum makan sesuatu apapun dari terbit fajar.[8]
·
Puasa dikatakan batal jika melakukan persetubuhan, namun jika makan tidak dikatakan
batal.
Dari beberapa pendapat Imam Hambali mengenai puasa, kami dapat memberikan
pendapat bahwa dalam melakukan niat puasa dibulan ramadhan itu pada waktu
tenggelam matahari, lebih tepatnya setelah kita usai mengerjakan sholat tarawih
hingga sebelum terbit fajar. Niat tersebut bias saja didalam hati ataupun
diucapkan, karena untuk lebih meyakinkan serta memantapkan akan apa yang akan
dilakukan termasuk niat berpuasa.
Barang siapa yang lupa berniat pada malam harinya, tapi bukan sengaja
meninggalkan itu , maka hendahlah ia berniat ketika ingat, walaupun telah
sianng. Hal ini didasarkan firman Allah :
ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ
أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ ۚ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي
الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ ۚ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ
وَلَٰكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ ۚ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Artinya :
“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu)
dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi
Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah
mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa
atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa
yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”. (Q.S
al–Ahzab : 5)
Menurut Imam Hanafi, Maliki, dan Hambali bila hilal telah nampak pada suatu
daerah, maka seluruh penduduk berbagai daerah wajib berpuasa, tanpa membedakan
jauh dan dekat, dan tidak perlu beranggapan adanya perbedaan munculnya hilal.[9]
Pendapat Imam Hambali mengenai batalnya puasa jika bersetubuh, namun jika
makan puasa itu tidak batal. Imam Hambali berpendapat demikian dengan catatan
bahwa ada unsur paksaan. Namun seperti yang kita tahu bahwa puasa ialah menahan
lapar dan dahaga serta hawa nafsu dari terbit fajar sampai tenggelamnya
matahari. Menurut kami atas dasar pengertian puasa tersebut, bagaimana pun
keadaannya. jika kita makan maka puasa pada saat itu juga dapat dikatakan
batal.
7. Haji
Imam hambali dalam pendapatnya mengenai Haji yaitu “Wajib dilaksanakan
dengan segera dan tidak boleh ditunda-tunda jika sudah berkewajiban”. Dari
pendapat Imam Hambali, kami dapat memberikan pendapat bahwa yang dimaksud
berkewajiban ialah seseorang yang telah memenuhi syarat untuk menunaikan ibadah
haji. Baik secara material (harta) maupun spiritual (mental).
Seperti yang terkandung dalam rukun Islam yang kelima, Menunaikan ibadah
haji bila mampu. Jika seseorang tersebut telah mampu secara fisik maupun
mental, memiliki harta yang cukup, serta sudah mubaligh (dewasa). Maka
diharuskan untuk melaksanakan ibadah haji tersebut dan tidak boleh menundanya
lagi.
Imam Syafi’i, Maliki Hambali (jumhuhr ulama) berpendapat bahwa suatu
perkawinan tidak sah tanpa ada wali. Dasar yang mereka pergunakan adalah Q.S An – Nur : 32
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ
مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِنْ يَكُونُوا
فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara
kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang
lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi
Maha Mengetahui”. (Q.S an–Nur :
32)
Menurut Imam
Syafi’I dan Imam Hambali jika wanita
yang baligh dan berakal sehat itu masih gadis, maka hak mengawinkan dirinya ada
pada wali. Akan tetapi jika ia janda, maka hak itu ada pada keduanya. Wali
tidak boleh mengawinkan janda itu tanpa persetujuannya, sebaliknya wanita itu
tidak boleh mengawinkan dirinya tanpa
restu sang wali. Akad yang diucapkan hanya oleh wanita tersebut tidak berlaku
sama sekali, walaupun akad itu sendiri memerlukan persetujuannya.
Imam Hambali memberikan urutan tentang
susunan wali dalam nikah yaitu: ayah, penerima wasiat dari ayah, kemudian yang
terdekat dan seterusnya mengikuti aturan yang ada dalam waris dan baru beralih
ke tangan hakim.
3.
Ushul Fiqh Imam Ahmad Ibn Hambal
Secara bahasa ushul fiqih berasal dari dua kata, yaitu ushul dan
fiqih.Ushul artinya sumber, asal, dasar, kaidah atau pondasi.Sedangkan fiqih
adalah dasar–dasar pemahaman. Dengan demikian ushul fiqh adalah ilmu yang
membahas tentang metode penggalian dan penetapan (istimbat) hukum islam ( fiqh
).[11]
Menurut abu qayyim al -jauziyah , prinsip dasar madzhab imam
hambali adalah sebagai berikut :
1.
Nas dari al quran dan sunah yang shoheh
2.
Fatwa para sahabat nabi yang disetujui semua sahabat
3.
Fatwa para sahabat nabi yang
timbul dalam perselisihan diantara mereka yang diambilnya yang lebih dekat
dengan nas al quran dan sunah.
4.
Hadits mursal dan hadits doif, jika tidak ada suatu hadits shahih.
5.
Qiyas, bila tidak memperoleh nassh, tidak pula memperoleh pendapat
sahabat, tidak ada hadits mursal atau hadits dhaif. Ia menggunakan qiyas ketika
darurat.
Kemudian dalam
perkembangan madzhab hambali pada generasi berikutnya, madzhab ini juga menerima
istihsan, sad az-Zari’ah, urf, istishab dan al–maslahah al–mursalah sebagai
dalil dalam penetapan islam[12].
Ciri khas Ushul
Fiqh Imam Ahmad ibn Hambal adalah dalam mengistimbathkan hukum, Imam Ahmad ibn
Hambal hanya emakai Qiyas dalam keadaan darurat, yaitu saat tidak ada hadits
dan fatwa sahabat yng menjelaskannya. Sehingga madzhab ini lebih condong kepada
madzhab hadits.
Ahmad
menempatkan al-Qur’an sebagai sumber hukum pertama karena tidak seorangpun
ulama yang yang mengatakan bahwa as-Sunnah harus ditempatkan pada posisi
yang pertama. Ahmad sependapat dengan
asy-Syafi’i yaitu menjadikan as-Sunnah sebagai penjelas al-Qur’an yang
dipergunakan untuk mentakhsis ‘am al-Qur’an. Menurut Ahmad, dhahirnya al-Qur’an
harus ditafsirkan dengan as-Sunnah.
لوساغ ردّسنن رسول الله صلى الله عليه وسلم فهمه الرّجل من ظهر الكتاب
لردّتْ بذلك اكثر السنة وبطلت باالكيّة.
“Jikalau boleh menolak sunnah-sunnah
Rasulullah lantaran sesuatu faham yang difahami seseorang dari zahir al-Qur’an,
tentulah harus ditolak kebanyakan sunnah Nabi dan rusaklah sunnah itu sama
sekali.”
Menurut Ahmad
as-Sunnah ditempatkan pada posisi yang kedua sebagai sumber hukum karena
al-Qur’an itu qath’i sedangkan as-Sunnah dhanni, as-Sunnah sebagai penjelas
al-Qur’an lalu hadits sendiri menempatkan dirinya pada martabat kedua. Ahmad
menetapkan bahawa jika seseorang mencari apa yang ada di al-Qur’an haruslah
melalui as-Sunnah.
إذ روينا عن النبيّ صلى الله عليه وسلم فى الحلال والحرام والأحكام
شدّدْنا فى الأسانيد وانتقدْنا الرجال وإذروينا فى الفضاءل والعقاب سهّلنا فى
الأساند وتسا محنا فى الأحاديث.
“Apabila kami riwayatkan dari Nabi
s.a.w. tentang halal, haram dan hukum, kami berlaku amat teliti dalam
memperhatikan sanad dan kami kritik para perawinya. Dan apabila kami riwayatkan
dari Nabi tentang fadla-il dan siksa, kami berlaku mudah dalam menghadapi sanad
dan kami tidak bersikap keras dalam menghadapi hadits-hadits itu.”
Kemudian Ahmad
menempatkan fatwa shahabi karena dipandang sebagai hujjah yang mengiringi
hadits Nabi SAW dan mendahulukan hadits mursal dan hadits dha’if dari pada
qiyas. Hadits mursal tabi’i adalah hadits yang dikemudiankan dari fatwa
shahabat lalu hadits mursal shahabi tidak dikemudiankan dari fatwa shahabi.
Ahmad memandangnya sebagai dasar kedua sesudah as-Sunnah. Dalam hadis ia
menitikberatkan kepada shahih sanad tanpa memandang kepada banyak atau sedikit
yang merawi.[13]
والحق أنّه ليس بحجّجة فإنّ الله لم يبعث إلى هذه الأمّة إلاّ نبيّنا
محمّدا و ليس لنا إلاّرسول واحد وكتاب واحد, وجميع الأمّة مأ مور بإتّباع كتابه
وسنّة نبيّه.
“Pendapat yang haq, ialah pendapat
sahabi tidak dapat menjadi hujjah karena sesungguhnya Allah tidak mengutus
kepada ummat ini selain dari pada Nabi Muhammad dan kita tidak mempunyai selain
dari pada seorang Rasul dan sebuah kitab. Semua ummat diperintah mengikuti Kitab
Allah dan Sunnah Nabinya.”
Menurut
sebagian riwayat Ahmad juga mengambil fatwa-fatwa tabi’in ada juga yang
mengatakan tidak mengambil atau menerima fatwa tabi’in. Akan tetapi
Hanbaliyahlah yang mengambil fatwa
tabi’in dan ada yang mendahulukannya dari pada qiyas dan ada juga yang tidak.
Ahmad tidak mengambil pendapat tabi’in sebagai dasar tasyri’ tetapi hanya untuk
ihtiyath.
Ahmad
berpendapat bahwa ijma’ tidak mungkin terjadi selain pada masa sahabat. Para
perawi mengatakan bahwa Ahmad berkata, “Barang
siapa mengatakan adanya ijma’, maka dia itu adalah seorang yang dusta”. Ahmad
menolak ijma’ selain masa sahabat karena pada masa sahabat pasti mereka
bersandar pada al-Qur’an dan Sunnah. Pendapat Ahmad terhadap ijma’ adalah
perselisihan adalah pada ijma’ yang selain sahabat, karena tidak ada jalan
untuk mengetahui ijma’.
من ادّعى وجود الإجماع فهو كا ذب.
“Barang siapa adanya ijma’, maka dia itu
adalah seorang yang dusta.”
Qiyas dalam
fiqh Islam adalah, “Menghubungkan
sesuatu urusan yang tidak dinashkan hukumnya, dengan urusan lain yang dinashkan
hukumnya, lantaran keduanyasama pada sifat yang mewajibkan hukum itu”.
Jika ada yang mengatakan bahwa Ahmad menolak qiyas, maka qiyas yang ditolak
Ahmad, ialah qiyas di tempat nash. Ahmad menolak qiyas dan lebih suka
menggunakan hadist dla’if dari pada menggunakan qiyas selama masih ada hadist
atau fatwa sahabat. Karena jika seseorang lebih suka menggunakan qiyas maka
secara tidak langsung menolak hadist dan fatwa sahabat. Ahmad menggunakan qiyas
hanya pada waktu darurat saja dan karena tidak ada dalil.
استخراج الحكم
المذ كور لما لم يذ كر بجا مع بينهما.
“Mengeluarkan hukum yang telah
disebutkan untuk yang belum disebutkan lantaran ada persamaan antara keduanya.”
Menurut
asy-Syaukani, “Istishhab, ialah
bahwasannya apa yang telah ada di masa yang telah lalu, maka menurut hukum asal
dipandang masih ada di masa sekarang dan di masa yang akan datang”. Jadi
misal, jika ada sesuatu yang asalnya wajib maka tetaplah wajib sehingga ada
dalil yang tidak mewajibkannya. Begitu juga dengan hukum sunah, mubah, haram
dan lain-lain. Hanbaliyyah lebih banyak menggunakan istishhab karena untuk
menyedikitkan qiyas. Hanbaliyyah menganggap istishhab sebagai dalil dari
dalil-dalil fatwa. Hanbaliyyah cenderung fiqhnya kepada atsar.
معنى الإستصحاب,
أنّ ما ثبت فى الزمان الما ضى فالأصل بقا ؤه فى الزمان الحضر والمستقبل.
“Arti Istishhab, ialah bahwasannya
apa yang telah ada dimasa yang telah lalu, maka menurut hukum asal dipandang
masih ada dimasa sekarang dan dimasa yang akan datang.”
Maslahah mursalah
dipakai Ahmad karena bahwasannya fatwa sahabat didirikan atas dasar maslahat.
Ahmad mendasarkan Siyasah Syar’iyah
kepada maslahat[14].
Madzhab ini subur karena menggunakan maslahat dan Ahmad menghargai maslahat
yang tidak bertentangan dengan dalil atau sesuai dengan syara’ dan dapat
dijangkau oleh akal.
Ahmad memakai
dzari’ah jika suatu perbuatan itu mendatangkan manfaat bagi orang lain atau
umum maupun dirinya sendiri. Contoh fatwa Ahmad yang disandarkan kepada
dzarai’, yaitu Ahmad tidak menyukai kita berbelanja di toko yang menurunkan
harga agar pembeli tersebut tidak membeli di toko sebelahnya. Dalam suatu aqad
Ahmad memandangnya dari segi niat, maksud dan tujuan tidak hanya kepada lafal
saja.
Ahmad bukanlah
orang yang membenarkan pendapat akal secara mutlak tanpa bersandar kepada
al-Qur’an dan Sunnah. Kemudian Ahmad juga bukan tipe orang yang suka mencampuri
urusan orang lain tetapi karena kondisi dan suasana tidak sejalan maka terpaksa
Ahmad mencampuri urusan-urusan tersebut. Contoh urusan politik, urusan dengan
penguasa, urusan dengan ulama’ yang lain karena berbeda pendapat dan lain-lain.
4.
Kitab Karya Imam Bin Hanbal
Kitab karya Imam Ahmad Bin Hambal
a.
Musnad Imam Ahmad bin Hanbal
Musnad ini adalah koleksi besar yang berisi hadits-hadits yang
selama ini telah dkumpulkannya. Ia menyusun kitab ini pada tahun 180 H sejak
umurnya 16 tahun. Ibn Hambal menghabiskan banyak waktu untuk menghimpun
hadits-hadits. Ia wafat sebelum sempat menyusun dan mengatur Musnad. Isinya
empat puluh ribu hadits. Kemudian putra
nya Abdullah memasukan hadits-hadits
yang didengar nya ke dalam Musnad. Perawi Musnad yang beredar sekarang
adalah Abdullah. Ibn Hambal menulis
hadits di musnad hadits yang cukup sanad dan sahih menurutnya walaupun ada pula
hadits yang dhaif[15].
Ia membagi susunan kitabnya itu atas bab-bab berdasarkan nama para sahabat yang
meriwayatkan hadist yang bersangkutan[16].
b.
Az Zuhd
Kitab ini membicarakan
tentang zuhud nabi-nabi, sahabat, khalifah dan sebagian dari imam–imam yang berdasarkan kepada
hadits, atsar dan akbar-akbar.
Kitab fiqh dalam Madzhab Hambali
1.
Al-Umdah (kitabinti)
Berisi perasalahan–permasalahan
fiqh menurut satu pendapat dalam madzhab hambali. Dalam kitab ini tidak
disebutkan banyak dalil, agar orang yang mempelajari akan menguasai dasar fiqh
secara utuh. Kitab ini karangan ibnu khudamah.
2.
Al-Muqni’ ( yang memuaskan )
Kitab ini dibuat untuk mempelajari fiqh tingkat lanjutan atau
pertengahan. Kitab ini menyebutkan dua pendapat Imam Madzhab. Dalam kitab ini
disebutkan beberapa permasalahan yang tidak disebutkan dalam kitab al-Umdah.
Namun tidak disebutkan dalil-dalilnya. Kitab ini juga karangan Ibnu Qudamah.
3.
Al-Kahfi
Kitab ini adalah kitab kelanjutan dari kitab Al-Muqni’ yang juga merupakan
kitab karya Ibnu Qudamah. Di dalam kitab ini disebutkan pendapat yang lebih luas
dan dalil-dalil pada setiap masalah. Namun kitab inil ebih sedikit tema pembahasannya
dari pada kitab Al-muqni’.
4.
Al-Mughni
Kitab ini dirancang untuk pembelajaran fiqih tingkat mahir. Di
dalam kitab ini juga disebutkan perselisihan pendapat tingkat lanjut serta menyebutkan
pendapat para sahabat dan pendapat para ulama’ tabi’in generasi sesudahnya. Kitab
ini juga mengupas masing–masing pendapat tersebut secara panjang lebar. Kemudian
menyimpulkan pendapat yang paling kuat. Kitab ini juga karangan Ibnu Qudamah.
C.
PENUTUP
Kesimpulan
Dari penjelasan mengenai madzhab Imam bin Hambal sebelumnya dapat
disimpulkan bahwa Imam bin Hambal adalah seorang ahli hadis yang selalu
semangat belajar ilmu pengetahuan. Meskipun hidup sederhana tak menyurutkan
semangatnya untuk melawat ke berbagai daerar untuk menuntut ilmu. Tercatat
Husyin dan Imam syafi’i serta banyak guru lain telah ia datangi untuk berguru. Ia
seorang ahli hadits tapi juga memahami fiqh.
Ia adalah seorang yang zuhud lagi sholeh. Dalam pemikirannya ia
menggunakan Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan Hadits sebagai yang kedua. Dalam
beristimbath Ibn Hambal menggunakan metode Nushus, fatwa sahabi, hadits
mursal/daif, qiyas. Dan dikembangkan lagi istishab, mashalih dan dzarai. Imam
Ahmad ibn Hambal juga lebih condong pada Madzhab Hadits, karena Imam Ahmad ibn
Hambal lebi memilih menggunakan Hadits Doif dari pada Qiyas.
Dalam penyebarannya Madzhab Imam Hambali tidak sesukses 3 madzhab
sebelumnya salah satunya disebabkan karena datang lebih akhir. Meskipun begitu
ajarannya sangat berkembang di Saudi Arabia berkat Abdul Wahab seorang
penggerak pembaharuan di Saudi Arabia. Kitab karya nya yang termashyur adalah
al-Musnad yang berisi himpunan haditsnya sejak ia mulai mengumpulkan hadits.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Abdurrahman. 1991. Perbandingan Mazhab. Bandung: PT. Sinar
Baru
·
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 1997. Pokok-Pokok
Pegangan Imam Mazhab. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
·
Asy-Syurbasi, Ahmad. 1991. Sejarah dan Biografi Empat Imam
Madzhab. Jakarta: PT Bumi Aksara.
·
Fakhruddin, 2009. Intellectual Network Sejarah dan Pemikiran
Empat Imam Madzhab Fiqh. Malang : UIN Malang Press.
·
Hosen, Ibrahim. 1971. Fiqh Perbandingan. Jakarta: Balai
Penerbitan & Perpustakaan Islam Yayasan Ihya ‘Ulumuddin.
·
Sodiqin, Ali dkk. 2014. Fiqh Ushul Fiqh. Yogyakarta:UIN
Sunan Kalijaga.
·
Syaikhu,
2013. Perbandingan Madzhab Fiqh.
Yogyakarta: CV Aswaja Pressindo
·
Tahido, Huzaemah. 1997. Pengantar Perbandingan Mazhab.
Ciputat: Logos Wacana Ilmu.
[1]Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah Empat
Imam Madzhab, Jakarta: PT Bumi Aksara, 1991, hlm.190
[2]Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah Empat
Imam Madzhab, Jakarta: PT Bumi Aksara, 1991, hlm.214
[3]Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah Empat
Imam Madzhab, Jakarta: PT Bumi Aksara, 1991, hlm.257
[4] Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, Ciputat: Logos Wacana
Ilmu,1997,hlm 145
[5]Fakhruddin, Intellectual Network
Sejarah Dan Pemikiran Empat Imam Madzhab, Malang: UIN-Malang Press,2009,
hlm.8
[6]DR. Ali Sodiqin , DKK. Fiqih ushl
fiqih, Yogyakarta:UIN Sunan Kalijaga,2014, hlm.11
[11]DR. Ali Sodiqin , DKK. Fiqih ushl
fiqih, Yogyakarta:UIN Sunan Kalijaga,2014, hlm.19
[12]Dr. Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar
Perbandingan Madzhab, Halaman 140
[13][13] Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan. Jakarta:Balai Penerbitan dan
Perpustakaan Yayasan Ihya Ulumuddin Hlm 61
[14] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Pokok-Pokok Pegangan Imam
Mazhab. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997, 305-306.
[15]Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad
Hasbi. Pokok-Pokok Pegangan Imam
Mazhab.Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm.536
[16] Abdurrahman. Perbandingan Mazhab. Bandung: PT. Sinar Baru, 1991,
hlm.30
mantap bung.....
BalasHapuslanjutkan!!!!!
semoga bermanfaat
Banyak yang perlu diperbaiki dan saran saya kalau membahas fikih Madzhab Hambali dan ushul nya, langsung merujuk kepada kitab aslinya, jangan pakai kitab lainnya. Jujur banyak sekali yang keliru dan menyelisihi pendapat-pendapat madzhab Hambali
BalasHapus