BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Siapa yang tak kenal al Ghazali atau yang biasa
dipanggil imam Ghozali. Beliau merupakan ilmuwan muslim yang terkenal dan
tersohor namanya hingga keseluruh dunia terutama di indonesia.
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i (lahir di Thus; 1058 / 450 H – meninggal di Thus; 1111 / 14 Jumadil Akhir 505 H; umur 52–53 tahun) adalah seorang filosof dan teolog muslim Persia, yang dikenal sebagai Algazel di dunia Barat abad Pertengahan.
Ia berkuniah Abu Hamid karena
salah seorang anaknya bernama Hamid. Gelar
dia al-Ghazali ath-Thusiberkaitan dengan ayahnya yang bekerja sebagai pemintal
bulu kambing dan tempat kelahirannya yaitu Ghazalah di Bandar Thus, Khurasan,
Persia (Iran). Sedangkan gelar asy-Syafi'i menunjukkan bahwa dia bermazhab
Syafi'i. Ia berasal dari keluarga yang miskin.
Ayahnya mempunyai
cita-cita yang tinggi yaitu ingin anaknya menjadi orang alim dan saleh. Imam
Al-Ghazali adalah seorang ulama, ahli pikir, ahli filsafat Islam yang terkemuka
yang banyak memberi sumbangan bagi perkembangan kemajuan manusia. Ia pernah
memegang jawatan sebagai Naib Kanselor di Madrasah Nizhamiyah,
1.2 Rumusan Masalah
- Mengapa pada menjelang akhir kehidupan Al Ghazali, beliau cenderung tasawuf setelah sebelumnya melakukan pengembaraan spiritual?
- Bagaimana bentuk tasawuf dari imam Al Ghazali?
- Bagaimana pengaruh yang ditimbulkan dari tasawuf Al Ghazali pada masa berikutnya?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan penulisan makalah ini adalah untuk:
- Mengetahui apa itu alasan Al Ghazali memperdalam tassawufnya.
- Mengetahui bentuk tasawuf dari Al Ghazali.
- Mengetahui bagaimana pengaruh dari tasawuf Al Ghazali.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Kehidupan Dan Perjalanannya Menuntut Ilmu
Ayah beliau adalah seorang pengrajin
kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di kota Thusi.
Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari
kalangan orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh
saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin
memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon
engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk
keduanya.”
Setelah meninggal, maka temannya
tersebut mengajari keduanya ilmu, hingga habislah harta peninggalan yang
sedikit tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat melanjutkan wasiat
orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Dia berkata, “Ketahuilah oleh kalian berdua,
saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian. Saya seorang fakir dan
miskin yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan kalian berdua untuk masuk
ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu. Sehingga memperoleh makanan yang
dapat membantu kalian berdua.”
Lalu keduanya melaksanakan anjuran
tersebut. Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan ketinggian mereka.
Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau berkata, “Kami menuntut ilmu bukan karena
Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya karena Allah ta’ala.”[1] (Dinukil dari 6/193-194).
Beliau pun bercerita, bahwa ayahnya seorang
fakir yang shalih. Tidak memakan kecuali hasil pekerjaannya dari kerajinan
membuat pakaian kulit. Beliau berkeliling mengujungi ahli fikih dan bermajelis
dengan mereka, serta memberikan nafkah semampunya. Apabila mendengar perkataan
mereka (ahli fikih), beliau menangis dan berdoa memohon diberi anak yang faqih.
Apabila hadir di majelis ceramah nasihat, beliau menangis dan memohon kepada
Allah ta’ala untuk diberikan anak yang ahli dalam ceramah nasihat.
Kiranya Allah mengabulkan kedua doa
beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang faqih dan saudaranya
(Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat
Imam Al Ghazali memulai belajar di kala
masih kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di
kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu
Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At
Ta’liqat. Kemudian pulang ke Thusi
Beliau mendatangi kota Naisabur dan
berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil
menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu
perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun memahami perkataan
para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya. Menyusun
tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini.[2]
Setelah Imam
Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik.
Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau menantang
debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul Malik
mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya
untuk pindah ke sana. Maka pada tahun 484 H beliau berangkat ke Baghdad dan
mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun. Disinilah
beliau berkembang dan menjadi terkenal. Mencapai kedudukan yang sangat tinggi.
2.2 Polemik
Kejiwaan Imam Al Ghazali dan akhir hayatnya
Kedudukan dan ketinggian jabatan beliau
ini tidak membuatnya congkak dan cinta dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk
polemik (perang batin) yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan. Berawal dari perbedaan
pendapat antar aliran di timur tengah hingga terbunuhnya seorang yang dekat
dengannya yaitu perdana mentri Nizamul al-mulk.
Pada bulan Dzul Qai’dah
tahun 488 H beliau berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai
penggantinya. Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal
beberapa hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke
Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk
di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang
sekarang dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al
Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa
dan mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10
tahun.
Ibnu Asakir berkata, “Abu Hamid rahimahullah berhaji
dan tinggal di Syam sekitar 10 tahun. Beliau menulis dan bermujahadah dan
tinggal di menara barat masjid Jami’ Al Umawi. Mendengarkan kitab Shahih
Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah Al Hafshi.” [3]
Disampaikan juga oleh Ibnu Khallakan
dengan perkataannya, “An
Nidzam (Nidzam Mulk) mengutusnya untuk menjadi pengajar di madrasahnya di
Baghdad tahun 484 H. Beliau tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu
menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal menetap di Damaskus beberapa
lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan tinggal beberapa lama
di Iskandariyah. Kemudian kembali ke Thusi.”[4]
Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi
penguasa Khurasan, beliau dipanggil hadir dan diminta tinggal di Naisabur.
Sampai akhirnya beliau datang ke Naisabur dan mengajar di madrasah An
Nidzamiyah beberapa saat. Setelah beberapa tahun, pulang ke negerinya dengan
menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah. Beliau mendirikan satu
madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang shufi. Beliau
habiskan sisa waktunya dengan mengkhatam Al Qur’an, berkumpul dengan ahli
ibadah, mengajar para penuntut ilmu dan melakukan shalat dan puasa serta ibadah
lainnya sampai meninggal dunia.[5]
Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan
kembali mempelajari hadits dan berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam Adz
Dzahabi, “Pada akhir
kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya
serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur
panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum
sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang
putri.”[6]
Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan
kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita
Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan
shalat, lalu berkata, “Bawa
kemari kain kafan saya.” Lalu
beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan
berkata, “Saya patuh dan taat
untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian
beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit
menguning (menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34). Beliau wafat di kota Thusi,
pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan
Ath Thabaran[7]
2.3 Bentuk
Tasawuf
Di dalam tasawufnya, Al-Ghazali
memilih tasawuf sunni berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Nabi ditambah dengan
doktrin Ahlu Al Sunnah wa Al-jama’ah. Corak tasawufnya adalah psikomoral yang
mengutamakan pendidikan moral yang dapat di lihat dalam karya-karyanya seperti
Ihya’ullum, Al-Din, Minhaj Al-‘Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah Al Hidayah, M’raj
Al Salikin, Ayyuhal Wlad. Al Ghazali menilai negatif terhadap syathahat dan ia
sangat menolak paham hulul dan utihad (kesatuan wujud), untuk itu ia
menyodorkan paham baru tentang ma’rifat, yakni pendekatan diri kepada Allah
(taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya:[8]
1.
Pandangan Al-Ghazali tentang Ma’rifat
Menurut Al-Ghazali, ma’rifat adalah mengetahui rahasia
Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada, alat
untuk memperoleh ma’rifat bersandar pada sir-qolb dan roh. Pada saat sir, qalb
dan roh yang telah suci dan kosong itu dilimpahi cahaya Tuhan dan dapat
mengetahui rahasia-rahasia Tuhan, kelak keduanya akan mengalami iluminasi
(kasyf) dari Allah dengan menurunkan cahayanya kepada sang sufi sehingga yang
dilihatnya hanyalah Allah, di sini sampailah ia ke tingkat ma’rifat.[9]
2.
PandanganAl-Ghazalitentang-As-As’adah
Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang
paling tinggi adalah melihat Allah (ru’yatullah) di dalam kitab Kimiya
As-Sa’adah, ia menjelaskan bahwa As-Sa’adah (kebahagiaan) itu sesuai dengan
watak (tabiat). Sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya; nikmatnya
mata terletak pada ketika melihat gambar yang bagus dan indah, nikmatnya
telinga terletak ketika mendengar suara merdu.[10]
2.4 Pengaruh Tasawuf Imam Al
Ghazali
1. Konsep Negara
Teori Al Ghazali mengenai timbulnya negara (Sulthanah) dan pemimpin negara
(Sulthan)
Dalam kitabnya, Ihya Ulum Al Din
Al Ghazali menyatakan:
فاعلم أن
الله عز وجل أخرج آدم عليه السلام من التراب وأخرج ذريته من سلالة من طين ومن ماء
دافق، فأخرجهم من الأصلاب إلى الأرحام ومنها إلى الدنيا ثم إلى القبر ثم إلى العرض
ثم إلى الجنة أو إلى النار؛ فهذا مبدؤهم وهذا غايتهم وهذه منازلهم. وخلق الدينا
زاداً للمعاد ليتناول منها ما يصلح للتزود؛ فلو تناولوها بالعدل لانقطعت الخصومات
وتعطل الفقهاء ولكنهم تناولوها بالشهوات فتولدت منها الخصومات فمست الحاجة
إلى سلطانيسوسهم واحتاج السلطان إلى قانون يسوسهم به؛ فالفقيه هو العالم
بقانون السياسة وطريق التوسط بين الخلق إذا تنازعوا بحكم الشهوات؛ فكان الفقيه
معلم السلطان ومرشده إلى طرق سياسة الخلق وضبطهم لينتظم باستقامتهم أمورهم في
الدنيا، ولعمري إنه متعلق أيضاً بالدين ولكن لا بنفسه بل بواسطة الدنياح فإن الدنيا
مزرعة الآخرة، ولا يتم الدين إلا بالدنيا. والملك والدين توأمان؛ فالدين أصل
والسلطان حارس، وما لا أصل له فمهدوم، وما لا حارس له فضائع، ولا يتم الملك والضبط
إلا بالسلطان وطريق الضبط في فصل الحكومات بالفقه.[11]
Inti dari pernyataan di atas adalah:
a. Dunia diciptakan sebagai ladang untuk mencari bekal
menuju akherat
b. Karena manusia dalam mendapatkan dunia disertai syahwat maka
terjadilah pertikaian, maka
diperlukan Sulthan
c. Sulthan membutuhkan undang-undang maka, diperlukan
seorang Ahli Fiqih, karena Ahli Fiqihlah yang mengetahui undang-undang yang
mengatur apabila terjadi pertikaian.
Jadi menurut Al Ghazali terbentuknya negara (kerajaan) bukan serta-merta,
tapi karena adanya kebutuhan. Manusia tidak semuanya kuat lagi baik. Ada
manusia yang lemah dan ada pula manusia yang jahat. Agar si Lemah terlindung
dari kejahatan si Kuat atau agar si Baik terlindungi dari kedhaliman si jahat
maka diperlukan adanya orang atau lembaga yang mengatur dan undang-undang yang
mengikat. Sehingga dengan demikian rakyat menjadi aman terlindungi dari
kedhaliman serta dapat memenuhi segala kebutuhannya dalam rangka mencari bekal
untuk menuju akherat.
2. Teologi (Ilmu Kalam)
AL-Ghazali menjelaskan
bahwa yang dimaksud ilmu kalam adalah menjaga serta memelihara akidah Ahli
Sunnah dari gangguan Ahli Bid’ah yang menyesatkan. Sebab Allah SWT melalui
lisan rasul sudah menyampaikan akidah yang benar demi kemaslahatan dunia maupun
akhirat (agama). Hanya saja, akidah itu kemudian tercemari oleh kehadiran ahli
bid’ah. Dalam konteks ini, Teologi muncul untuk memurnikan kembali akidah yang
sudah tercemari oleh taklid itu pada asalnya
3. Filsafat
Al-Ghaza>li> membagi golongan-golongan ahli
filsafat kedalam tiga kelompok:
a. Kelompok al-Dahriyyun (sceptic atau
atheisme), ia merujuk pada aliran filsafat kuno yang tidak mempercayai adanya
Tuhan. Menurut aliran ini, kehidupan dunia ada dengan sendirinya melalui proses
alam. Mereka juga beranggapan bahwa manusia itu tercipta dari air sperma,
begitu juga sebaliknya. Demikianlah proses alam akan terus berjalan sesuai
dengan hukumnya, dan terus berjalan tanpa mengenal akhir.
b. Kelompok al-Thabi’iyyun (Naturalisme), aliran filsafat
yang lebih banyak membahas gejala dan perubahan materi; fenomena alam berikut
makhluk hidup dan tumbuh-tumbuhan. Objek penelitiannya lebih banyak dicurahkan
untuk memahami struktur tubuh mahkluk hidup. Aliran ini masih percaya terhadap
adanya Tuhan. Meski begitu, mereka berpendapat bahwa kekuatan yang dimiliki
manusia dihasilkan oleh struktur tubuhnya, bukan disebabkan sesuatu yang lain
yang berada diluar tubuh. Mereka juga menolak adanya dualisme jiwa dan badan.
Jiwa tidak lain dari materi (badan) itu sendiri. Sehingga, ketika seseorang
mati, maka jiwanya juga ikut mati. Mereka tidak mempercayai adanya dunia
adikodrati, seperti surge, neraka, kiamat, hisab, dll.
c. Kelompok Ilahiyyun (Metafisika), adalah golongan
filsuf yang percaya kepada Tuhan, mereka datang belakangan. Diantara kelompok
filsuf ini terdapat Plato murid Socrates, dan Aristoteles adalah murid Plato. Aristoteles
inilah yang berhasil menyusun Ilmu Mantik (logika), ia banyak memberikan
ulasan, komentar, dan penyempurnaan terhadap berbagai disiplin ilmu. Kelompok
ini pada garis besarnya membantah kedua kelompok sebelumnya.
Secara garis besar, kajian filsafat meliputi:
matematika (riyadliyyah), logika (mantiqiyyah), ilmu alam (thabi’iyyah),
metafisika (ilahiyyah),politik (siyasiyyah), dan etika (khalqiyyah).
Al-Ghaza>li menolak kompetensi filsuf untuk
memahami kebenaran-kebenaran metafisis. Bagian yang signifikan dari pengetahuan
tentang hal-hal seperti kenabian dan psikologi spritiual baginya, hanyalah
kebenaran pinjaman yang diambil dari Nabi dan orang suci. Al-Ghaza>li
berusaha membuktikan keterbatasan metode filsufi yaitu bahwa ilmu-ilmu metafisis
para filsuf tercemari oleh kesesatan-kesesatan ketidak-konsistenan. Hal ini,
kata al-Ghaza>li memperlihatkan kemustahilan mencapai keyakinan akan
kebenaran-kebenaran metafisis melalui filsafat.
Ada 3 diantara kritikan al-Ghaza>li sebagai sebab
yang membawa para filsuf Islam jatuh kedalam kekufuran, yaitu :
1. Pendapat yang menyebutkan bahwa alam bersifat azali dalam arti tak bermula
dalam zaman. Kalau alam bersifat azali sebagaimana halnya Tuhan, maka ini
berarti terdapat dua dzat yang sama-sama azali. Ini membawa kepada paham syirik
atau politeisme yang dalam al-Qur’a>n disebut sebagai dosa besar yang tidak
dapat diampuni.
2. Pendapat yang menyangkal ada kebangkitan jasmani. Padahal banyak ayat dalam
al-Qur’a>n yang menegaskan adanya pembangkitan jasmani itu. Ini berarti,
para filsuf telah menolak kebenaran yang disampaikan Allah melalui wahyu-Nya.
3. Pendapat yang menyakini bahwa Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi
di alam. Menurut al-Ghaza>li pendapat ini juga menyalahi pesan al-Qura>n
yang menegaskan pengetahuan Allah segala sesuatu tanpa terkecuali.
Pada prinsipnya, al-Ghaza>li> tidak antipati
terhadap filsafat. Sebab menurutnya, filsafat sama sekali tidak memiliki relasi
dengan agama. Al-Ghaza>li> termasuk pendukung skularisasi ilmu. Hanya
saja, menurutnya tidak sedikit paham/ajaran filsafat yang dapat menimbulkan
efek membahayakan (afa>t al-‘adzi>mah) bagi keimanan,
dan bahkan bertentangan dengan ajaran agama. Sebagaimana madzhab Dzahriyyun
yang mengingkari adanya Tuhan dan Thabi>’iyyun yang tidak mempercayai
keberadaan dunia lain. Begitu juga ajaran illa>hiyyun yang ditransfer dari
Ibnu Sina dan al-Farabi yang mengatakan bahwa jasad tidak akan menerima nikmat
mapun siksaan, yang mendapatka balasan di akherat kelak hanyalah ruh. Mereka
juga berpendapat bahwa alam bersifat qadim dan abadi.[20]
Kritikan yang tajam inilah yang tampaknya member
kontribusi tersendiri dalam kemunduran kajian dan pemikiran filsafat dunia
Islam khususnya di bagian Timur (ketika itu masuk dalam kekuasaan dinasti
Abbassiyah). Sementara dibagian Barat dunia islam (wilayah dinasti Umayyah)
pemikiran filsufis masih berkembang sesudah serangan al-Ghaza>li>. Beberapa
tokoh filsuf kemudian bangkit melakukan kritikan balik kepada al-Ghaza>li.
Salah satu diantarannya adalah Ibn-Rusyd. Ia mengarang buku tahafut al-tahafut
(hancurnya kehancuran) sebagai jawaban terhadap berbagai kritik yang
dilontarkan oleh al-Ghaza>li>. Diantara tiga kritikan paling krusial dari
al-Ghaza>li> terhadap kaum filsuf, Ibnu Rusyd member jawaban sebagai
berikut :
a. Ketika tuhan menciptakan alam bukannya dari suatu ketiadaan tetapi ketika
itu telah ada sesuatu disamping-Nya yang berupa materi dasar sebagai bahan
penciptaan sebagaimana ditunjukan oleh surat Hud ayat 7 dan al-Anbiya> ayat
30. Materi asal itupun bukannya berasal dari ketiadaan, tetapi dari sesuatu
yang dipancarkan oleh Tuhan. Disamping itu, kata khalaqa didalam al-Qur’a>n
juga menggambarkan penciptaan bukan dari tiada tetapi dari ada (misalnya surat
al-Mukminun ayat 12 tentang penciptaan manusia). Menurutnya tiada tidak bisa
berubah menjadi ada tetapi yang tepat adalah ada menjadi ada dalam bentuk lain.
Sementara tentang keazalian alam yang dimaksud para filsuf adalah merujuk pada
pengertian sesuatu yang diciptakan dalam keadaan terus menerus mulai dari zaman
tak bermula dengan bahan dasar yang telah ada disisi Tuhan sampai zaman tak
berakhir (surat Ibrahi>m ayat 47-48)
b. Mengenai pernyataan al-Ghaza>li> bahwa filsuf berpendapat Tuhan tidak
mengetahui perincian yang terjadi di alam, Ibn Rusyd membantah bahwa pernah ada
filsuf Islam yang mengatakan demikian. Sebenarnya yang dibahas para filsuf
adalah tentang bagaimana Tuhan mengetahui perincian itu. Ulasan tentang emanasi
wujud diatas kiranya cukup menjelaskan persoalan ini dari kacamata filsuf.
c. Terkait dengan tuduhan bahwa Filsuf menentang ajaran kebangkitan jasmani,
Ibn Rusyd mengatakan bahwa Filsuf muslim tidak menyebutkan hal itu. Ibn Rusyd
kemudian balik mengkritik inkonsistensi pemikiran al-Ghaza>li>. Sebab,
dalam Tahafut al-falasifah ia menulis bahwa dalam Islam tidak ada orang yang
berpendapat adanya kebangkitan rohani saja tetapi di dalam buku lainnya ia
mengatakan jika dikalangan Sufi muncul pandangan bahwa yang ada nanti ialah
kebangkitan rohani. Dari sini Ibn Rusyd menilai bahwa al-Ghaza>li> juga
tidak mempunyai argument kuat untuk menkafirkan para filsuf.
Tidak lama sesudah zaman Ibn Rusyd umat Islam di Barat
mengalami kemunduran besar di bidang pemikiran rasional dan ilmiah seiring
dengan runtuhnya kekuasaan Islam di Spanyol. Sementara umat Islam di Timur,
pemikiran keagamaan lebih dikuasai oleh teologi tradisional Asy’ariyyah dan
tasawuf yang kurang member leluasa bagi pengembangan pemikiran rasional.
4. Tasawuf
Setelah al-Ghaza>li> merasa kecewa dengan
ilmu-ilmu teolog, filsafat,dan sebagainya, akhirnya ia memilih jalan tasawuf.
Untuk mengetahui hakikat tasawuf yang sesungguhnya, al-Ghaza>li belajar dan
membaca kitab-kitab yang dikarang ulama-ulama tasawuf terkemuka pada waktu itu,
seperti Abu Yazid al-Bustami, Haris al-Muhasibi serta beliau membaca “ Qut
al-Qulu>b” karangan Abi Tha>lib al-Maliki, Mutafarriqah al-Ma’tsurah
karya al-Junaidi, namun dalam proses tersebut masih merasakan kekecewaan.
Ternyata kitab-kitab yang ia baca hanya menyuguhkan wacana tentang tasawuf.
Menurut al-Ghaza>li, inti tasawuf bukan pada
teorinya (wacana) melainkan pada aplikasinya (amaliyah). Subtansi tasawuf
terletak pada pengalaman dan rasa (al-dzauq). Dari sini al-Ghaza>li terasang
untuk mengamalkan ajaran-ajaran tasawuf mengasingkan diri (uzlah) dari satu
tempat ketempat yang lain, menyepi, tafakkur, melakukan ibadah haji dan ziarah
ke makam Rasulullah, sampai akhirnya beliau merasa bahwa dahaga intelektualnya
betul-betul puas berkat Mukasyafah.
Beliau juga berpendapat, bahwa kehidupan seorang
muslim dalam pengabdiannya kepada Allah tidak dapat dicapai dengan sempurna,
kecuali dengan jalan sufi yaitu dengan cara mendekatkan diri kepada Allah
melalui al-Riyadhat, al-Mujahadat, al-Musyahadat dan al-Mukasyafat.[21]
[7]
Thabaqat asy-syafi’iyah, hlm 201
[8]
https://guzzaairulhaq.wordpress.com/samudera-tasawuf/ajaran-ajaran-tasawuf-al-ghazali/, pada 2 oktober 2016 pukul 12.30
[9]
https://guzzaairulhaq.wordpress.com/samudera-tasawuf/ajaran-ajaran-tasawuf-al-ghazali/, pada 2 oktober 2016 pukul 12.30
[10]
https://guzzaairulhaq.wordpress.com/samudera-tasawuf/ajaran-ajaran-tasawuf-al-ghazali/, pada 2 oktober 2016 pukul 13.00
[11]
http://kangwasis.blogspot.co.id/2011/10/al-ghazalipengaruh-terhadap.html, pada 2 Oktober 2016 pukul 15.00
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa pesan saya jadilah orang yang jujur. Jangan jadi orang yang plagiat yang tidak mencantumkan sumber referensinya.
Kritik dan Saran sangat saya butuhkan, Demi menciptakan sesuatu yang sangat berguna dan bermanfaat Fiddunya Wal Akhiroh