Selasa, 14 Maret 2017

TASAWWUF IMAM GHOZALI

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Siapa yang tak kenal al Ghazali atau yang biasa dipanggil imam Ghozali. Beliau merupakan ilmuwan muslim yang terkenal dan tersohor namanya hingga keseluruh dunia terutama di indonesia.
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i (lahir di Thus; 1058 / 450 H – meninggal di Thus; 1111 / 14 Jumadil Akhir 505 H; umur 52–53 tahun) adalah seorang filosof dan teolog muslim Persia, yang dikenal sebagai Algazel di dunia Barat abad Pertengahan.
Ia berkuniah Abu Hamid karena salah seorang anaknya bernama Hamid. Gelar dia al-Ghazali ath-Thusiberkaitan dengan ayahnya yang bekerja sebagai pemintal bulu kambing dan tempat kelahirannya yaitu Ghazalah di Bandar Thus, Khurasan, Persia (Iran). Sedangkan gelar asy-Syafi'i menunjukkan bahwa dia bermazhab Syafi'i. Ia berasal dari keluarga yang miskin.
Ayahnya mempunyai cita-cita yang tinggi yaitu ingin anaknya menjadi orang alim dan saleh. Imam Al-Ghazali adalah seorang ulama, ahli pikir, ahli filsafat Islam yang terkemuka yang banyak memberi sumbangan bagi perkembangan kemajuan manusia. Ia pernah memegang jawatan sebagai Naib Kanselor di Madrasah Nizhamiyah, 
1.2 Rumusan Masalah
  1.       Mengapa pada menjelang akhir kehidupan Al Ghazali, beliau cenderung tasawuf setelah sebelumnya melakukan pengembaraan spiritual?
  2.       Bagaimana bentuk tasawuf dari imam Al Ghazali?
  3.       Bagaimana pengaruh yang ditimbulkan dari tasawuf Al Ghazali pada masa berikutnya?

1.3 Tujuan Penulisan
            Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk:
  1.       Mengetahui apa itu alasan Al Ghazali memperdalam tassawufnya.
  2.       Mengetahui bentuk tasawuf dari Al Ghazali.
  1.       Mengetahui bagaimana pengaruh dari tasawuf Al Ghazali. 

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Kehidupan Dan Perjalanannya Menuntut Ilmu
Ayah beliau adalah seorang pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di kota Thusi. Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.”
Setelah meninggal, maka temannya tersebut mengajari keduanya ilmu, hingga habislah harta peninggalan yang sedikit tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat melanjutkan wasiat orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Dia berkata, “Ketahuilah oleh kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian. Saya seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu. Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.”
Lalu keduanya melaksanakan anjuran tersebut. Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan ketinggian mereka. Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau berkata, “Kami menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya karena Allah ta’ala.”[1] (Dinukil dari  6/193-194).
Beliau pun bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir yang shalih. Tidak memakan kecuali hasil pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit. Beliau berkeliling mengujungi ahli fikih dan bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah semampunya. Apabila mendengar perkataan mereka (ahli fikih), beliau menangis dan berdoa memohon diberi anak yang faqih. Apabila hadir di majelis ceramah nasihat, beliau menangis dan memohon kepada Allah ta’ala untuk diberikan anak yang ahli dalam ceramah nasihat.
Kiranya Allah mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat
Imam Al Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat. Kemudian pulang ke Thusi
Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya. Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini.[2]
Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya untuk pindah ke sana. Maka pada tahun 484 H beliau berangkat ke Baghdad dan mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun. Disinilah beliau berkembang dan menjadi terkenal. Mencapai kedudukan yang sangat tinggi.






2.2 Polemik Kejiwaan Imam Al Ghazali dan akhir hayatnya
Kedudukan dan ketinggian jabatan beliau ini tidak membuatnya congkak dan cinta dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan. Berawal dari perbedaan pendapat antar aliran di timur tengah hingga terbunuhnya seorang yang dekat dengannya yaitu perdana mentri Nizamul al-mulk.
            Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya. Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.
Ibnu Asakir berkata, “Abu Hamid rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10 tahun. Beliau menulis dan bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’ Al Umawi. Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah Al Hafshi.” [3]
Disampaikan juga oleh Ibnu Khallakan dengan perkataannya, “An Nidzam (Nidzam Mulk) mengutusnya untuk menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H. Beliau tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan tinggal beberapa lama di Iskandariyah. Kemudian kembali ke Thusi.”[4] 
Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau dipanggil hadir dan diminta tinggal di Naisabur. Sampai akhirnya beliau datang ke Naisabur dan mengajar di madrasah An Nidzamiyah beberapa saat. Setelah beberapa tahun, pulang ke negerinya dengan menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah. Beliau mendirikan satu madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang shufi. Beliau habiskan sisa waktunya dengan mengkhatam Al Qur’an, berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar para penuntut ilmu dan melakukan shalat dan puasa serta ibadah lainnya sampai meninggal dunia.[5]
Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”[6]
Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran[7]
2.3 Bentuk Tasawuf
Di dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlu Al Sunnah wa Al-jama’ah. Corak tasawufnya adalah psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral yang dapat di lihat dalam karya-karyanya seperti Ihya’ullum, Al-Din, Minhaj Al-‘Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah Al Hidayah, M’raj Al Salikin, Ayyuhal Wlad. Al Ghazali menilai negatif terhadap syathahat dan ia sangat menolak paham hulul dan utihad (kesatuan wujud), untuk itu ia menyodorkan paham baru tentang ma’rifat, yakni pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya:[8]

1.      Pandangan Al-Ghazali tentang Ma’rifat
Menurut Al-Ghazali, ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada, alat untuk memperoleh ma’rifat bersandar pada sir-qolb dan roh. Pada saat sir, qalb dan roh yang telah suci dan kosong itu dilimpahi cahaya Tuhan dan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan, kelak keduanya akan mengalami iluminasi (kasyf) dari Allah dengan menurunkan cahayanya kepada sang sufi sehingga yang dilihatnya hanyalah Allah, di sini sampailah ia ke tingkat ma’rifat.[9]

2.      PandanganAl-Ghazalitentang-As-As’adah
Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah (ru’yatullah) di dalam kitab Kimiya As-Sa’adah, ia menjelaskan bahwa As-Sa’adah (kebahagiaan) itu sesuai dengan watak (tabiat). Sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya; nikmatnya mata terletak pada ketika melihat gambar yang bagus dan indah, nikmatnya telinga terletak ketika mendengar suara merdu.[10]

2.4 Pengaruh Tasawuf Imam Al Ghazali

1. Konsep Negara
Teori Al Ghazali mengenai timbulnya negara (Sulthanah) dan pemimpin negara (Sulthan)
Dalam kitabnya, Ihya Ulum Al Din Al Ghazali menyatakan:
فاعلم أن الله عز وجل أخرج آدم عليه السلام من التراب وأخرج ذريته من سلالة من طين ومن ماء دافق، فأخرجهم من الأصلاب إلى الأرحام ومنها إلى الدنيا ثم إلى القبر ثم إلى العرض ثم إلى الجنة أو إلى النار؛ فهذا مبدؤهم وهذا غايتهم وهذه منازلهم. وخلق الدينا زاداً للمعاد ليتناول منها ما يصلح للتزود؛ فلو تناولوها بالعدل لانقطعت الخصومات وتعطل الفقهاء ولكنهم تناولوها بالشهوات فتولدت منها الخصومات فمست الحاجة إلى سلطانيسوسهم واحتاج السلطان إلى قانون يسوسهم به؛ فالفقيه هو العالم بقانون السياسة وطريق التوسط بين الخلق إذا تنازعوا بحكم الشهوات؛ فكان الفقيه معلم السلطان ومرشده إلى طرق سياسة الخلق وضبطهم لينتظم باستقامتهم أمورهم في الدنيا، ولعمري إنه متعلق أيضاً بالدين ولكن لا بنفسه بل بواسطة الدنياح فإن الدنيا مزرعة الآخرة، ولا يتم الدين إلا بالدنيا. والملك والدين توأمان؛ فالدين أصل والسلطان حارس، وما لا أصل له فمهدوم، وما لا حارس له فضائع، ولا يتم الملك والضبط إلا بالسلطان وطريق الضبط في فصل الحكومات بالفقه.[11]
Inti dari pernyataan di atas adalah:
a. Dunia diciptakan sebagai ladang untuk mencari bekal menuju akherat
b. Karena manusia dalam mendapatkan dunia disertai syahwat maka terjadilah      pertikaian, maka diperlukan Sulthan
c. Sulthan membutuhkan undang-undang maka, diperlukan seorang Ahli Fiqih, karena Ahli Fiqihlah yang mengetahui undang-undang yang mengatur apabila terjadi pertikaian.
Jadi menurut Al Ghazali terbentuknya negara (kerajaan) bukan serta-merta, tapi karena adanya kebutuhan. Manusia tidak semuanya kuat lagi baik. Ada manusia yang lemah dan ada pula manusia yang jahat. Agar si Lemah terlindung dari kejahatan si Kuat atau agar si Baik terlindungi dari kedhaliman si jahat maka diperlukan adanya orang atau lembaga yang mengatur dan undang-undang yang mengikat. Sehingga dengan demikian rakyat menjadi aman terlindungi dari kedhaliman serta dapat memenuhi segala kebutuhannya dalam rangka mencari bekal untuk menuju akherat.
2. Teologi (Ilmu Kalam)
AL-Ghazali menjelaskan bahwa yang dimaksud ilmu kalam adalah menjaga serta memelihara akidah Ahli Sunnah dari gangguan Ahli Bid’ah yang menyesatkan. Sebab Allah SWT melalui lisan rasul sudah menyampaikan akidah yang benar demi kemaslahatan dunia maupun akhirat (agama). Hanya saja, akidah itu kemudian tercemari oleh kehadiran ahli bid’ah. Dalam konteks ini, Teologi muncul untuk memurnikan kembali akidah yang sudah tercemari oleh taklid itu pada asalnya

3. Filsafat
Al-Ghaza>li> membagi golongan-golongan ahli filsafat kedalam tiga kelompok:

a. Kelompok al-Dahriyyun (sceptic atau atheisme), ia merujuk pada aliran filsafat kuno yang tidak mempercayai adanya Tuhan. Menurut aliran ini, kehidupan dunia ada dengan sendirinya melalui proses alam. Mereka juga beranggapan bahwa manusia itu tercipta dari air sperma, begitu juga sebaliknya. Demikianlah proses alam akan terus berjalan sesuai dengan hukumnya, dan terus berjalan tanpa mengenal akhir.

b. Kelompok al-Thabi’iyyun (Naturalisme), aliran filsafat yang lebih banyak membahas gejala dan perubahan materi; fenomena alam berikut makhluk hidup dan tumbuh-tumbuhan. Objek penelitiannya lebih banyak dicurahkan untuk memahami struktur tubuh mahkluk hidup. Aliran ini masih percaya terhadap adanya Tuhan. Meski begitu, mereka berpendapat bahwa kekuatan yang dimiliki manusia dihasilkan oleh struktur tubuhnya, bukan disebabkan sesuatu yang lain yang berada diluar tubuh. Mereka juga menolak adanya dualisme jiwa dan badan. Jiwa tidak lain dari materi (badan) itu sendiri. Sehingga, ketika seseorang mati, maka jiwanya juga ikut mati. Mereka tidak mempercayai adanya dunia adikodrati, seperti surge, neraka, kiamat, hisab, dll.

c. Kelompok Ilahiyyun (Metafisika), adalah golongan filsuf yang percaya kepada Tuhan, mereka datang belakangan. Diantara kelompok filsuf ini terdapat Plato murid Socrates, dan Aristoteles adalah murid Plato. Aristoteles inilah yang berhasil menyusun Ilmu Mantik (logika), ia banyak memberikan ulasan, komentar, dan penyempurnaan terhadap berbagai disiplin ilmu. Kelompok ini pada garis besarnya membantah kedua kelompok sebelumnya.
Secara garis besar, kajian filsafat meliputi: matematika (riyadliyyah), logika (mantiqiyyah), ilmu alam (thabi’iyyah), metafisika (ilahiyyah),politik (siyasiyyah), dan etika (khalqiyyah).
Al-Ghaza>li menolak kompetensi filsuf untuk memahami kebenaran-kebenaran metafisis. Bagian yang signifikan dari pengetahuan tentang hal-hal seperti kenabian dan psikologi spritiual baginya, hanyalah kebenaran pinjaman yang diambil dari Nabi dan orang suci. Al-Ghaza>li berusaha membuktikan keterbatasan metode filsufi yaitu bahwa ilmu-ilmu metafisis para filsuf tercemari oleh kesesatan-kesesatan ketidak-konsistenan. Hal ini, kata al-Ghaza>li memperlihatkan kemustahilan mencapai keyakinan akan kebenaran-kebenaran metafisis melalui filsafat.
Ada 3 diantara kritikan al-Ghaza>li sebagai sebab yang membawa para filsuf Islam jatuh kedalam kekufuran, yaitu :
1. Pendapat yang menyebutkan bahwa alam bersifat azali dalam arti tak bermula dalam zaman. Kalau alam bersifat azali sebagaimana halnya Tuhan, maka ini berarti terdapat dua dzat yang sama-sama azali. Ini membawa kepada paham syirik atau politeisme yang dalam al-Qur’a>n disebut sebagai dosa besar yang tidak dapat diampuni.
2. Pendapat yang menyangkal ada kebangkitan jasmani. Padahal banyak ayat dalam al-Qur’a>n yang menegaskan adanya pembangkitan jasmani itu. Ini berarti, para filsuf telah menolak kebenaran yang disampaikan Allah melalui wahyu-Nya.
3. Pendapat yang menyakini bahwa Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam. Menurut al-Ghaza>li pendapat ini juga menyalahi pesan al-Qura>n yang menegaskan pengetahuan Allah segala sesuatu tanpa terkecuali.
Pada prinsipnya, al-Ghaza>li> tidak antipati terhadap filsafat. Sebab menurutnya, filsafat sama sekali tidak memiliki relasi dengan agama. Al-Ghaza>li> termasuk pendukung skularisasi ilmu. Hanya saja, menurutnya tidak sedikit paham/ajaran filsafat yang dapat menimbulkan efek membahayakan (afa>t al-‘adzi>mah) bagi keimanan, dan bahkan bertentangan dengan ajaran agama. Sebagaimana madzhab Dzahriyyun yang mengingkari adanya Tuhan dan Thabi>’iyyun yang tidak mempercayai keberadaan dunia lain. Begitu juga ajaran illa>hiyyun yang ditransfer dari Ibnu Sina dan al-Farabi yang mengatakan bahwa jasad tidak akan menerima nikmat mapun siksaan, yang mendapatka balasan di akherat kelak hanyalah ruh. Mereka juga berpendapat bahwa alam bersifat qadim dan abadi.[20]
Kritikan yang tajam inilah yang tampaknya member kontribusi tersendiri dalam kemunduran kajian dan pemikiran filsafat dunia Islam khususnya di bagian Timur (ketika itu masuk dalam kekuasaan dinasti Abbassiyah). Sementara dibagian Barat dunia islam (wilayah dinasti Umayyah) pemikiran filsufis masih berkembang sesudah serangan al-Ghaza>li>. Beberapa tokoh filsuf kemudian bangkit melakukan kritikan balik kepada al-Ghaza>li. Salah satu diantarannya adalah Ibn-Rusyd. Ia mengarang buku tahafut al-tahafut (hancurnya kehancuran) sebagai jawaban terhadap berbagai kritik yang dilontarkan oleh al-Ghaza>li>. Diantara tiga kritikan paling krusial dari al-Ghaza>li> terhadap kaum filsuf, Ibnu Rusyd member jawaban sebagai berikut :
a. Ketika tuhan menciptakan alam bukannya dari suatu ketiadaan tetapi ketika itu telah ada sesuatu disamping-Nya yang berupa materi dasar sebagai bahan penciptaan sebagaimana ditunjukan oleh surat Hud ayat 7 dan al-Anbiya> ayat 30. Materi asal itupun bukannya berasal dari ketiadaan, tetapi dari sesuatu yang dipancarkan oleh Tuhan. Disamping itu, kata khalaqa didalam al-Qur’a>n juga menggambarkan penciptaan bukan dari tiada tetapi dari ada (misalnya surat al-Mukminun ayat 12 tentang penciptaan manusia). Menurutnya tiada tidak bisa berubah menjadi ada tetapi yang tepat adalah ada menjadi ada dalam bentuk lain. Sementara tentang keazalian alam yang dimaksud para filsuf adalah merujuk pada pengertian sesuatu yang diciptakan dalam keadaan terus menerus mulai dari zaman tak bermula dengan bahan dasar yang telah ada disisi Tuhan sampai zaman tak berakhir (surat Ibrahi>m ayat 47-48)
b. Mengenai pernyataan al-Ghaza>li> bahwa filsuf berpendapat Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam, Ibn Rusyd membantah bahwa pernah ada filsuf Islam yang mengatakan demikian. Sebenarnya yang dibahas para filsuf adalah tentang bagaimana Tuhan mengetahui perincian itu. Ulasan tentang emanasi wujud diatas kiranya cukup menjelaskan persoalan ini dari kacamata filsuf.
c. Terkait dengan tuduhan bahwa Filsuf menentang ajaran kebangkitan jasmani, Ibn Rusyd mengatakan bahwa Filsuf muslim tidak menyebutkan hal itu. Ibn Rusyd kemudian balik mengkritik inkonsistensi pemikiran al-Ghaza>li>. Sebab, dalam Tahafut al-falasifah ia menulis bahwa dalam Islam tidak ada orang yang berpendapat adanya kebangkitan rohani saja tetapi di dalam buku lainnya ia mengatakan jika dikalangan Sufi muncul pandangan bahwa yang ada nanti ialah kebangkitan rohani. Dari sini Ibn Rusyd menilai bahwa al-Ghaza>li> juga tidak mempunyai argument kuat untuk menkafirkan para filsuf.
Tidak lama sesudah zaman Ibn Rusyd umat Islam di Barat mengalami kemunduran besar di bidang pemikiran rasional dan ilmiah seiring dengan runtuhnya kekuasaan Islam di Spanyol. Sementara umat Islam di Timur, pemikiran keagamaan lebih dikuasai oleh teologi tradisional Asy’ariyyah dan tasawuf yang kurang member leluasa bagi pengembangan pemikiran rasional.
4. Tasawuf
Setelah al-Ghaza>li> merasa kecewa dengan ilmu-ilmu teolog, filsafat,dan sebagainya, akhirnya ia memilih jalan tasawuf. Untuk mengetahui hakikat tasawuf yang sesungguhnya, al-Ghaza>li belajar dan membaca kitab-kitab yang dikarang ulama-ulama tasawuf terkemuka pada waktu itu, seperti Abu Yazid al-Bustami, Haris al-Muhasibi serta beliau membaca “ Qut al-Qulu>b” karangan Abi Tha>lib al-Maliki, Mutafarriqah al-Ma’tsurah karya al-Junaidi, namun dalam proses tersebut masih merasakan kekecewaan. Ternyata kitab-kitab yang ia baca hanya menyuguhkan wacana tentang tasawuf.
Menurut al-Ghaza>li, inti tasawuf bukan pada teorinya (wacana) melainkan pada aplikasinya (amaliyah). Subtansi tasawuf terletak pada pengalaman dan rasa (al-dzauq). Dari sini al-Ghaza>li terasang untuk mengamalkan ajaran-ajaran tasawuf mengasingkan diri (uzlah) dari satu tempat ketempat yang lain, menyepi, tafakkur, melakukan ibadah haji dan ziarah ke makam Rasulullah, sampai akhirnya beliau merasa bahwa dahaga intelektualnya betul-betul puas berkat Mukasyafah.
Beliau juga berpendapat, bahwa kehidupan seorang muslim dalam pengabdiannya kepada Allah tidak dapat dicapai dengan sempurna, kecuali dengan jalan sufi yaitu dengan cara mendekatkan diri kepada Allah melalui al-Riyadhat, al-Mujahadat, al-Musyahadat dan al-Mukasyafat.[21]










[1] Thabaqat Asy Syafi’iyah 6 , hlm193-194
[2] Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala,hlm 323
[7] Thabaqat asy-syafi’iyah, hlm 201

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa pesan saya jadilah orang yang jujur. Jangan jadi orang yang plagiat yang tidak mencantumkan sumber referensinya.

Kritik dan Saran sangat saya butuhkan, Demi menciptakan sesuatu yang sangat berguna dan bermanfaat Fiddunya Wal Akhiroh