“PERAN POLITIK ISLAM
DALAM MASYARAKAT DAN PENGUASA
SEJAK ZAMAN
RASULULLAH SAW HINGGA SEKARANG”
TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER GASAL
MATA KULIAH HUKUM KETATANEGARAAN ISLAM
T.A 2017/2018
Penguji : Bapak. Dr. Subaidi, S.Ag., M.S.I
Disusun Oleh :
Aang Sobari Saeful Risal (
16360012 )
Kelas PM ‘16
JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2018
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penyusun
panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan taufik dan hidayah-Nya penulis
dapat menyelesaikan tugas ujian akhir semester gasal dengan judul “Peran politik islam dalam masyarakat dan penguasa sejak zaman Rasulullah saw hingga sekarang”.
Sholawat
teriring salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada baginda Nabi Muhammad
SAW, yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah hingga zaman yang terang
benderang.
Tujuan dibuatnya makalah ini diharapkan
agar dijadikan sebagai wawasan kita terhadap mata kuliah “ Hukum Ketatanegaraan
Islam ” sesuai dengan tema yang kami angkat. Penyusun telah berusaha demi
keberhasilan dan kesempurnaan makalah ini. Namun, kami merasa masih terlalu
banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mohon kritikan dan saran yang
membangun baik dari dosen pembimbing maupun dari rekan-rekan mahasiswa.
Tidak lupa penyusun mengucapkan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian
Makalah ini, semoga dengan apa yang ada dalam Makalah ini dapat memberi manfaat
bagi kita semua. Amiin ...
Yogyakarta, Januari 2018
Penyusun
DAFTAR ISI
COVER JUDUL.......................................................................................................
1
KATA PENGANTAR..............................................................................................
2
DAFTAR ISI.............................................................................................................
3
BAB I
PENDAHULUAN........................................................................................
4
A.
Latar
Belakang...............................................................................................
4
B.
Perumusan
Masalah........................................................................................
5
BAB II
PEMBAHASAN..........................................................................................
6
A.
Pengertian
Politik...........................................................................................
6
B.
Sejarah
Politik................................................................................................
7
C.
Perilaku
Politik...............................................................................................
7
D.
Politik
Islam...................................................................................................
8
1.
Pengertian
Politik Islam........................................................................
8
2.
Sejarah
Politik Islam.............................................................................
11
a.
Politik
Islam Masa Nabi..............................................................
11
b.
Politik
Islam Masa Khalifah al-Rasyidin.....................................
14
c.
Politik
Islam Masa dari Khilafah Menuju Daulah.......................
16
3.
Prinsip-prinsip
Dasar Politik Islam........................................................
17
4.
Ciri-ciri
Politik Islam.............................................................................
19
5.
Peran
Politik Islam................................................................................
20
a.
Peran
Kepala Negara dalam Politik Islam...................................
20
b.
Peran
Masyarakat dalam Politik Islam........................................
20
BAB III
PENUTUP..................................................................................................
21
A. Kesimpulan....................................................................................................
21
B. Saran ............................................................................................................. 22
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................
23
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah politik termasuk salah satu
bidang studi yang menarik perhatian masyarakat pada umumnya. Hal ini antara
lain disebabkan karena masalah politik selalu mempengaruhi kehidupan
masyarakat. Masyarakat yang tertib, aman, damai, sejahtera lahir batin, dan
seterusnya tidak bisa dilepaskan dari system politik yang diterapka. Karena
demikian pentingnya masalah politik ini, telah banyak studi dan kajian yang
dilakukan para ahli terhadapnya. Demikian pula ajaran Islam sebagai ajaran yang
mengatur kehidupan manusia secara menyeluruh juga diyakini mengandung kajian
masalah politik dan kenegaraan. Dalam hubungan ini, Ibn Khaldun berpendapat
bahwa agama memperkokoh kekuatan yang telah dipupuk oleh Negara dan solidaritas
dan jumlah penduduk. Sebabnya adalah karena semangat agama bias meredakan
pertentangan dan iri hati yang dirasakan oleh satu anggota dari golongan itu
terhadap anggota lainnya, dan menuntun mereka ke arah kebenaran.
Sejalan dengan pemikiran tersebut,
pada tugas akhir ini penulis akan memaparkan mengenai masalah politik dalam
pandangan Islam yang meliputi pengertiannya, sejarah perpolitikan dalam Islam,
prinsip-prinsip dasar politik Islam, dan ruang lingkup politik Islam. Supaya
tidak ada lagi pemikiran-pemikiran yang bersifat fanatik terhadap pemikiran
barat yang mengatakan bahwa Islam adalah agama yang hanya mengatur urusan hamba
dengan tuhannya dan tidak mengatur masalah-masalah social termasuk politik ini.
Padahal, persoalan yang pertama-tama timbul dalam Islam menurut sejarah
bukanlah persoalan tentang keyakinan melainkan persoalan politik.
Pada masa sekarang ini, perkembangan ilmu politik semakin maju. Hal
ini membuktikan bahwa politik merupakan salah satu unsur yang penting dalam
kehdupan manusia. Perkembangan ilmu politik yang semakin maju pada suatu
kehidupan misalnya cara manusia menggunakan akal pikiran dalam menangani
masalah kehidupan, dari sudut pandang tersebut maka seorang individu dapat
menggunakan ilmu politiknya dalam menangani suatu problema kehidupan
bermasyarakat.
Untuk menggunakan ilmu politik
tersebut manusia mendapatkan bimbingan dari berbagai macam bentuk pendidikan
formal, informal, maupun nonformal. Dari pendidikan itulah seorang individu
dapat merealisasikan cara mereka dalam berpolitik. Dalam Negara Indonesia,
politik merupakan hal yang sangat prioritas karena politik membawa Negara ini
ke ambang pinti kemajuan, dan juga dalam politik di Indonesia, orang-orangnya
menggunakan cara yang sangat akruat dari yang lainnya. Beda dengan
Negara-negara di luar, seperti Negara-negara Arab yang menggunakan politik
Islam, mereka lebih mengarah kepada satu tujuan dan pedoman yaitu berdasarkan
Al-Qur’an dan Hadist.
Dengan berdasarkan hal tersebut di
atas, maka penulis mengangkat judul laporan ini dengan judul Politik Islam,
yaitu Politik yang mengarah pada perintah dari Al-Qur’an dan Hadist dalam
menjalankannya di kehidupan masyarakat.
B.
Perumusan Masalah
Dengan mengetahui uraian singkat di atas, tentu dapat kita bedakan
apa pengertian dari politik islam itu sendiri. Sehingga, dengan demikian kami
dapat membuat pertanyaan yang mengarah kepada hal tersebut. Bertitik tolak dari
latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalahnya sebagai berikut:
1.
Bagaimana
peran politik Islam dalam masyarakat dan penguasa ?
2.
Bagaimana
hubungan antara politik Islam zaman Rasulullah SAW dengan zaman sekarang ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Politik
Secara etimologis, politik berasal
dari kata Yunani polis yang berarti kota atau negara kota. Kemudian arti itu
berkembang menjadi polites yang berarti warganegara, politeia yang berarti
semua yang berhubungan dengan negara, politika yang berarti pemerintahan negara
dan politikus yang berarti kewarganegaraan. Aristoteles (384-322 SM) dapat
dianggap sebagai orang pertama yang memperkenalkan kata politik melalui
pengamatannya tentang manusia yang ia sebut zoon politikon. Dengan istilah itu
ia ingin menjelaskan bahwa hakikat kehidupan sosial adalah politik dan
interaksi antara dua orang atau lebih sudah pasti akan melibatkan hubungan
politik. Aristoteles melihat politik sebagai kecenderungan alami dan tidak
dapat dihindari manusia, misalnya ketika ia mencoba untuk menentukan posisinya
dalam masyarakat, ketika ia berusaha meraih kesejahteraan pribadi, dan ketika
ia berupaya memengaruhi orang lain agar menerima pandangannya.
Aristoteles berkesimpulan bahwa usaha memaksimalkan kemampuan
individu dan mencapai bentuk kehidupan sosial yang tinggi adalah melalui
interaksi politik dengan orang lain. Interaksi itu terjadi di dalam suatu kelembagaan
yang dirancang untuk memecahkan konflik sosial dan membentuk tujuan negara.
Dengan demikian kata politik menunjukkan suatu aspek kehidupan, yaitu kehidupan
politik yang lazim dimaknai sebagai kehidupan yang menyangkut segi-segi
kekuasaan dengan unsur-unsur: negara (state), kekuasaan (power), pengambilan
keputusan (decision making), kebijakan (policy, beleid), dan pembagian
(distribution) atau alokasi (allocation). Pada umumnya dapat dikatakan bahwa
politik (politics) adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik
(atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu
dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan (decision making)
mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut seleksi
terhadap beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan
yang telah dipilih. Sedangkan untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu
ditentukan kebijakan-kebijakan umum (public policies) yang menyangkut
pengaturan dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation) dari
sumber-sumber (resources) yang ada.
Untuk bisa berperan aktif melaksanakan kebijakan-kebijakan itu,
perlu dimiliki kekuasaan (power) dan kewenangan (authority) yang akan digunakan
baik untuk membina kerjasama maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin
timbul dalam proses itu. Cara-cara yang digunakan dapat bersifat meyakinkan
(persuasive) dan jika perlu bersifat paksaan (coercion). Tanpa unsur paksaan,
kebijakan itu hanya merupakan perumusan keinginan (statement of intent) belaka.
Politik merupakan upaya atau cara untuk memperoleh sesuatu yang
dikehendaki. Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya
berkisar di lingkungan kekuasaan negara atau tindakan-tindakan yang
dilaksanakan oleh penguasa negara. Dalam beberapa aspek kehidupan, manusia
sering melakukan tindakan politik, baik politik dagang, budaya, sosial, maupun
dalam aspek kehidupan lainnya. Demikianlah politik selalu menyangkut
tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals) dan bukan tujuan pribadi
seseorang (private goals). Politik menyangkut kegiatan berbagai kelompok,
termasuk partai politik dan kegiatan-kegiatan perseorangan (individu).
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam
masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya
dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai
definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.
Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional
maupun nonkonstitusional.
Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang
berbeda, yaitu antara lain:
1.
Politik
adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama
(teori klasik Aristoteles)
2.
Politik
adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
3.
Politik
merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan
kekuasaan di masyarakat
4.
Politik
adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan
publik.
5.
Dalam
konteks memahami politik perlu dipahami beberapa kunci, antara lain: kekuasaan
politik, legitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik,
proses politik, dan juga tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk
tentang partai politik.
B.
Sejarah Politik
Sejarah politik adalah analisis
peristiwa-peristiwa politik, narasi (oral history), ide, gerakan dan para
pemimpin yang biasanya disusun berdasarkan negara bangsa dan walaupun berbeda
dengan ilmu bidang sejarah akan tetapi tetap berhubungan antara lain dengan
bidang sejarah lain seperti sejarah sosial, sejarah ekonomi, dan sejarah
militer.
Secara umum, sejarah politik berfokus pada peristiwa-peristiwa yang
berkaitan dengan negara-negara dan proses politik formal. Menurut Hegel,
Sejarah Politik "adalah gagasan tentang negara dengan kekuatan moral dan
spiritual di luar kepentingan materi pelajaran: itu diikuti bahwa negara
merupakan agen utama dalam perubahan sejarah" Ini salah satu perbedaan
dengan, misalnya, sejarah sosial, yang berfokus terutama pada tindakan dan gaya
hidup orang biasa, atau manusia dalam sejarah yang merupakan karya sejarah dari
sudut pandang orang biasa.
C.
Perilaku Politik
Perilaku politik atau (Inggris:Politic Behaviour)adalah perilaku
yang dilakukan oleh insan/individu atau kelompok guna memenuhi hak dan
kewajibannya sebagai insan politik.Seorang individu/kelompok diwajibkan oleh
negara untuk melakukan hak dan kewajibannya guna melakukan perilaku politik adapun
yang dimaksud dengan perilaku politik contohnya adalah:
1.
Melakukan
pemilihan untuk memilih wakil rakyat / pemimpin
2.
Mengikuti
dan berhak menjadi insan politik yang mengikuti suatu partai politik atau
parpol, mengikuti ormas atau organisasi masyarakat atau lsm lembaga swadaya
masyarakat
3.
Ikut
serta dalam pesta politik
4.
Ikut
mengkritik atau menurunkan para pelaku politik yang berotoritas
5.
Berhak
untuk menjadi pimpinan politik
6.
Berkewajiban
untuk melakukan hak dan kewajibannya sebagai insan politik guna melakukan perilaku
politik yang telah disusun secara baik oleh undang-undang dasar dan perundangan
hukum yang berlaku.
D.
Politik Islam
1.
Pengertian Politik Islam
Dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia, karangan W.J.S Poerwadarminta, politik diartikan
sebagai pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan, seperti tata cara
pemerintah, dasar-dasar pemerintahan dan sebagainya; dan dapat pula berarti
segala urusan dan tindakan (kebijaksaan), siasat dan sebagainya mengenai
pemerintahan suatu negara atau terhadap negara lain.
Selanjutnya
sebagai suatu sistem, politik adalah suatu konsepsi yang berisikan antara lain
ketentuan-ketentuan tentang siapa sumber kekuasaan Negara; siapa pelaksana
kekuasaan tersebut; apa dasar dan bagaimana cara untuk menentukan serta kepada
siapa kewenangan melaksanakan kekuasaan itu diberikan; kepada siapa pelaksanaan
kekuasaan itu bertanggung jawab dan bagaimana bentuk tanggung jawabnya.
Dalam bahasa Arab, politik biasanya diwakili
oleh kata al-siyasah dan daulah, walaupun kata-kata tersebut dan kata-kata
lainnya yang berkaitan dengan politik seperti kadilan, musyawarah, pada mulanya
buka ditujukan untuk masalah politik. Kata siyasah dijumpai dalam bidang kajian
hukum, yaitu ketika berbicara masalah imamah, sehingga dalam fiqih dikenal
adanya bahasan tentang Fiqih Siyasah. Demikian pula kata daulah pada mulanya
dalam Al-qur’an digunakan untuk kasus penguasaan harta dikalangan orang-orang
kaya, yaitu bahwa dengan zakat diharapkan harta tersebut tidak hanya berputar
pada tangan-tangan orang yang kaya. Karena menurut sifatnya harta tersebut
harus mengalir atau berputar, dan tidak hanya dikuasai oleh orang-orang yang
kaya (dulatan baina agniya), kata daulah tersebut juga digunakan untuk masalah
politik yang sifatnya berpindah dari satu tangan ke tangan lainnya. Demikian
juga kata keadilan banyak digunakan untuk memutuskan perkara dalam kehidupan;
dan kata musyawarah pada mulanya digunakan pada kasus suami istri yang akan
menyerahkan anaknya untuk diasuh oleh perempuan lain yang dalam hal ini perlu
dimusyawarahkan.
Namun
dalam perkembangan selanjutnya sejarah menggunakan kata siyasah dan kata-kata
lain yang maknanya berkaitan dengan kata tersebut digunakan untuk pengertian
pengaturan masalah kenegaraan dan pemerintahan serta hal-hal lainnya yang
terkait dengannya.
Rasulullah SAW sendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam
sabdanya : "Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi
(tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang
menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para
khalifah" (HR. Bukhari dan Muslim). Teranglah bahwa politik atau
siyasah itu makna awalnya adalah mengurusi urusan masyarakat. Berkecimpung
dalam politik berarti memperhatikan kondisi kaum muslimin dengan cara
menghilangkan kezhaliman penguasa pada kaum muslimin dan melenyapkan kejahatan
musuh kafir dari mereka. Untuk itu perlu mengetahui apa yang dilakukan penguasa
dalam rangka mengurusi urusan kaum muslimin, mengingkari keburukannya,
menasihati pemimpin yang mendurhakai rakyatnya, serta memeranginya pada saat
terjadi kekufuran yang nyata (kufran bawahan) seperti ditegaskan dalam banyak
hadits terkenal. Ini adalah perintah Allah SWT melalui Rasulullah SAW.
Berkaitan dengan persoalan ini Nabi Muhammad SAW bersabda:
"Siapa saja yang bangun pagi dengan gapaiannya bukan Allah
maka ia bukanlah (hamba) Allah, dan siapa saja yang bangun pagi namum tidak
memperhatikan urusan kaum muslimin maka ia bukan dari golongan mereka." (HR. Al Hakim)
Rasulullah ditanya oleh sahabat tentang jihad apa yang paling
utama. Beliau menjawab : "Kalimat haq yang disampaikan pada
penguasa" (HR. Ahmad).
Berarti secara ringkas Politik Islam memberikan pengurusan atas
urusan seluruh umat Muslim. Namun, realitas politik demikian menjadi pudar saat
terjadi kebiasaan umum masyarakat dewasa ini baik perkataan maupun perbuatannya
menyimpang dari kebenaran Islam yang dilakukan oleh mereka yang beraqidahkan
sekularisme, baik dari kalangan non muslim atau dari kalangan umat Islam.
Jadilah politik disifati dengan kedustaan, tipu daya, dan penyesatan yang
dilakukan oleh para politisi maupun penguasa. Penyelewengan para politisi dari
kebenaran Islam, kezhaliman mereka kepada masyarakat, sikap dan tindakan
sembrono mereka dalam mengurusi masyarakat memalingkan makna lurus politik
tadi. Bahkan, dengan pandangan seperti itu jadilah penguasa memusuhi rakyatnya
bukan sebagai pemerintahan yang shalih dan berbuat baik. Hal ini memicu
propaganda kaum sekularis bahwa politik itu harus dijauhkan dari agama (Islam).
Sebab, orang yang paham akan agama itu takut kepada Allah SWT sehingga tidak
cocok berkecimpung dalam politik yang merupakan dusta, kezhaliman,
pengkhianatan, dan tipu daya. Cara pandang demikian, sayangnya, sadar atau
tidak mempengaruhi sebagian kaum muslimin yang juga sebenarnya ikhlas dalam
memperjuangkan Islam. Padahal propaganda tadi merupakan kebenaran yang
digunakan untuk kebathilan (Samih ‘Athief Az Zain, As Siyasah wa As Siyasah Ad
Dauliyyah, hal. 31-33). Jadi secara ringkas Islam tidak bisa dipisahkan dari
politik.
Adapun definisi politik dari sudut pandang Islam adalah pengaturan
urusan-urusan (kepentingan) umat baik dalam negeri maupun luar negeri
berdasarkan hukum-hukum Islam. Pelakunya bisa negara (khalifah) maupun kelompok
atau individu rakyat.
Rasulullah saw bersabda:
“Adalah Bani Israel, para Nabi selalu mengatur urusan mereka.
Setiap seorang Nabi meninggal, diganti Nabi berikutnya. Dan sungguh tidak ada
lagi Nabi selainku. Akan ada para Khalifah yang banyak” (HR Muslim dari Abu Hurairah ra).
Hadits diatas dengan tegas menjelaskan bahwa Khalifahlah yang
mengatur dan mengurus rakyatnya (kaum Muslim) setelah nabi saw. hal ini juga
ditegaskan dalam hadits Rasulullah:
“Imam adalah seorang penggembala dan ia akan dimintai pertanggung
jawaban atas gembalaannya”.
Jadi, esensi politik dalam pandangan Islam adalah pengaturan
urusan-urusan rakyat yang didasarkan kepada hukum-hukum Islam. Adapun hubungan
antara politik dan Islam secara tepat digambarkan oleh Imam al-Ghazali: “Agama
dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Agama adalah pondasi (asas) dan
kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan
runtuh dan segala sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang dan
lenyap”.
Berbeda dengan pandangan Barat politik diartikan sebatas pengaturan
kekuasaan, bahkan menjadikan kekuasaan sebagai tujuan dari politik. Akibatnya
yang terjadi hanyalah kekacauan dan perebutan kekuasaan, bukan untuk mengurusi
rakyat. Hal ini bisa kita dapati dari salah satu pendapat ahli politik di
barat, yaitu Loewenstein yang berpendapat “politic is nicht anderes als der
kamps um die Macht” (politik tidak lain merupakan perjuangan kekuasaan).
Adapun
umat Islam berbeda pendapat tentang pengertian politik dalam syari’at Islam.
Pendapat Pertama, mengatakan bahwa Islam adalah satu agama yang serba lengkap
yang didalamnya terdapat antara lain sistem ketatangaraan atau politik. Dalam
bahasa lain, system politik atau fiqih Siyasah merupakan integral dan ajaran
Islam. Lebih jauh kelompok ini berpendapat bahwa sistem keteladanan yang harus
diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad Saw dan
para Khulafaur rasyidin, yaitu sistem khalifah.
Pendapat
kedua, menyatakan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian barat (sekuler),
artinya agama tidak ada hubungannya degan urusan kenegaraan atau sistem
pemerintahan. Menurut aliran ini Nabi Muhammad Saw hanya seorang rasul, seperti
rasul-rasul yang lain, yang mempunyai misi menyiarkan agama bukan sebagai
pemimpin dan pengatur Negara.
Pendapat
ketiga, menyatakan menolak bahwa Islam merupakan agama yang serba lengkap yang
terdapat didalamnya segala sistem kehidupan termasuk sistem ketatanegaraan,
tetapi juga menolak pendapat bahwa islam sebagaimana pendapat barat yang hanya
mengatur hubungan manusia dengan tuhan. Aliran ini berpendirian bahwa dalam
Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata
nilai etika bagi kehidupan bernegara.
Namun
perlu diingat, sejarah membuktikan bahwa nabi kecuali seorang rasul atau kepala
agama beliau adalah sebagai kepala negara. Nabi menguasai wilayah Yasrib atau
Madinah al-Munawarah sebagai wilayah kekuasaan nabi, sekaligus menjadi pusat
pemerintahannya dengan Piagam Madinah sebagai aturan dasar negaranya.
Sepeninggal nabi, kedudukan beliau sebagai kepala Negara digantikan oleh Abu
Bakar yang merupakan hasil kesepakatan para tokoh sahabat, selanjutnya disebut
Khalifah. Sistem pemerintahannya disebut Khilafah, sistem ini berlangsung
hingga kepemimpinan dibawah kekuasaan Ali bin Abi Tholib.
Semua
orang mengakui bahwa semua tata aturan yang Rasulullah Saw tegakkan
bersama-sama para mukmin di Madinah, apabila ditinjau dari segi kenyataan dan
dibandingkan dengan ukuran-ukuran politik pada masa modern ini dapatlah kita
katakan bahwa tata aturan itu merupakan tata aturan politik. Dalam pada itu
tidak ada hubungan kita mengatakan bahwa tata aturan itu berciri keagamaan,
yaitu apabila kita lihat kepada tujuan-tujuannya dan penggerak-penggeraknya.
Kalau demikian, dapatlah kita mengatakan bahwa tata aturan Islam itu adalah
tata aturan yang bersifat politik dan bersifat agama. Hal itu karena hakikat
Islam meliputi segi-segi kebendaan (maddiyah) dan segi-segi kejiwaan
(ruhiyah)dan dia mencakup segala amal insani dalam kehidupan duniawiyah dan
ukhrawiyah.
2.
Sejarah Politik Islam
a.
Politik Islam Masa Nabi
Islam adalah agama pembaharu yang terasingkan dari tempat di mana
ia diturunkan. Kota Makkah dengan berbagai corak kehidupan masyarakat sosial
belum mampu menerima sepenuhnya kehadiran agama Islam. Hal itu dikarenakan
sikap fanatisme yang mengakar untuk mempertahankan esensi kabilah-kabilah.
Penolakan masyarakat sosial Makkah dapat kita lihat dari penindasan-penindasan
yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy terhadapa Nabi Muhammad dan para
pengikutnya.
Peristiwa tersebut menjadikan umat Islam merasa pesimis akan
diterima oleh kabilah-kabilah yang ada, apalagi dengan ditolaknya seruan Nabi
Muhammad oleh kabilah Thaqif dari Ta’if yang kemudian disusul dengan
penolakan-penolakan yang dilakukan oleh kabilah-kabilah Kinda, Kalb, Banu ‘Amir
dan Banu Hanifa.
Sejarah perkembangan Islam mencatat, bahwa Islam tumbuh berkembang
pesat di wilayah Yatsrib. Wilayah ini dihuni oleh beberapa kabilah diantaranya,
kabilah Aus, Khazraj dan Yahudi. Perkembangan Islam di Yatsrib dipengaruhi oleh
adanya pertentangan perebutan kedaulatan dan kekuasaan antara kabilah Aus,
Khazraj dan Yahudi. Selain itu, perkembangan Islam juga didukung oleh adanya
keyakinan pada tubuh kaum Yahudi dengan aliran monotheismenya yang mencelah
para penyembah berhala dan berkeyakinan bahwa akan datang suatu saat seorang
Nabi yang akan mendukung mereka (Yahudi) dengan memberantas para penyembah
berhala. Dari peristiwa-peristiwa lalu dapat kita ambil kesimpulan bahwa agama
islam juga mempunyai kaitan yang erat dengan aspek politik. Sesuai dengan yang
telah dipaparkan oleh Harun Nusution dalam bukunya bahwa persoalan yang
pertama-tama timbul dalam Islam adalah persoalan politik.
Langkah politik Nabi Muhammad untuk mencari dukungan dari penduduk
Yatsrib pertama kali nampak pada peristiwa Ikrar Aqabah, peristiwa tersebut
menandai akan adanya kebebasan menyebarkan agama Islam sehingga secara otomatis akan berdampak
pada kekuatan Islam. Hal itu bisa kita lihat dari sikap kaum kafir Qurasy yang
terus-menerus menyelidiki para pengikut Ikrar Aqabah untuk diperlakukan secara
tidak manusiawi. Peristiwa itu terjadi karena kehawatiran kaum Qurasy akan
munculnya kekuatan baru pada tubuh umat Islam sehingga akan mengganggu
eksistensi kekuasaan kaum kafir Qurasy.
Setelah peristiwa Ikrar Aqabah, Nabi Muhammad kembali memikirkan
langkah politik selanjutnya dengan mengizinkan para pengikutnya melakukan
hijrah ke kota Yatsrib. Sementara Nabi Muhammad masih memilih berdomisi di Kota
Makkah mencari masa-masa tenang sekaligus menunggu perintah dari Allah Swt.
Pakar berpendapat bahwa gerakan politik yang dilakukan oleh Nabi
Muhammad merupakan langkah yang cerdas dan penuh dengan perhitungan. Hal itu
terbukti dengan adanya keberhasilan Nabi Muhammad dan para pengikutnya dalam
melakukan perintah hijrah.
Para peneliti sejarah politik ada yang mengkategorikan bahwa corak
politik yang diterapkan oleh nabi Muhammad adalah bercorak teo-demokratis,
yaitu suatu pola pemerintahan yang dalam setiap menyelesaikan persoalan
terlebih dahulu melakukan musyawarah baru kemudian menunggu ketetapan dari tuhan
Kehidupan Yatsrib (kemudian terkenal dengan sebutan Madinah) pada
masa Nabi Muhammad menjadi batu pijakan utama dalam mencatat sejarah
perpolitikan umat Islam. Para pakar sejarah berpendapat bahwa politik Islam
dalam konteks negara, pertama kali muncul dan berkembang di Madinah.
Perpolitikan Islam di Madiah terbentuk secara prural dengan
kolaborasi dari berbagai kalangan dan aliran, antara umat Islam, kaum Yahudi,
para penyembah berhala (kabilah Aus dan Khazraj). Secara garis besar, suasana
politik pada waktu itu dipengarui oleh dua imperium besar yaitu Romawi dan
Persia.
Langkah politik Nabi Muhammad pertama kali adalah menyatukan kaum
muslimin muhajirin dan ansor.Langkah ini bisa dikatakan cukup cerdas, karena
untuk membentuk kekuatan komunitas, syarat utama yang harus dipenuhi adalah
solidaritas antar penduduk. Kemudian Nabi Muhammad membentuk sebuah nota
kesepakatan antara penduduk Madinah secara umum yang tercatat sebagai piagam
Madinah.
Piagam ini merupakan dokumen politik yang telah ditinggalkan oleh
Nabi Muhammad selama kurun waktu seribu empat ratus dua puluh lima tahun
lamanya. Piagam ini pulalah yang telah menetapkan adanya kebebasan beragama,
menyatakan pendapat, berserikat, dan pelarangan akan tindak kejahatan. Dengan
piagam itu, kota Madinah menjadi tempat yang memiliki peradapan tinggi karena
benar-benar telah menghormati seluruh penduduk yang berdomosili di dalamnya.
Madinah yang semula dipenuhi dengan tindak kejahatan, kekerasan dan peperangan
menjadi kota yang menjunjung tinggi hak dan egaliter.
Menurut al-Sayyid Muhammad Ma’ruf
al-Dawalibi seorang pengajar di universitas Paris mengatakan bahwa yang
paling menakjubkan tentang piagam Madinah adalah memuat tentang prinsip-prinsip
perpolitikan umat Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Para sejarawan berselisih pendapat dalam menentukan ketokohan Nabi
Muhammad dalam menjalankan roda perpolitikan di kota Madinah. Hal itu disebakan
adanya perbedaan pemahaman akan tugas seorang nabi. Apakah sikap politik yang
diambil oleh Nabi Muhammad sebagai aplikasi dari perintah yang berupa wahyu
atau merupakan hasil dari ijtihat sebagai seorang pemimpin atau hakim sebagai
jawaban dari kebutuhan dan situasi masyarakat?
Perbedaan pandangan dalam menafsirkan tugas-tugas kenabian dalam
bidang politik menyebabkan perdepatan yang tak kunjung usai. Apakah Islam
memiliki sistem politik, apakah Islam merupakan agama yang menjunjung
demokrasi? Kalau kita mau jujur untuk kembali membuka lembaran-lembaran
sejarah, maka kita akan menemukan berbagai peristiwa yang bersifat duniawi
seperti; politik, ekonomi dan sebagainya, berawal dari problema masyarakat masa
Nabi, kemudian wahyu datang sebagai upaya penyelesaian akan kebutuhan
masyarakat. Berbeda dengan unsur akidah yang secara langsung turun dari langit tanpa
melihat pada kondisi masyarakat.
Terlebih, sepeninggal nabi Muhammad, umat Islam tidak memiliki
sistem tatanan sosial politik yang baku sehingga peristiwa perebutan kekuasaan
untuk menggantikan posisi nabi Muhammad sebagai pimpinan menyebabkan umat Islam
terbelah menjadi berbagai golongan. Demikan halnya dengan persoalan demokrasi,
kalau kita menilik makna demokrasi sebagai sebuah sistem yang mengedepankan
asas musyawarah mufakat, maka Islam adalah agama yang paling demokrasi. Namun,
jika kita menilik makna demokrasi sebagai sebuah sistem yang berasal dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, maka Islam bukan agama demokrasi karena
secara hukum syari’ah Islam berasal dari Tuhan untuk kemaslahatan manusia.
b.
Politik Islam Masa Khalifah al-Rasyidin
Sejarah perkembangan umat Islam yan mengalami pancaroba dan
maju-mundur sebenarnya dimulai setelah Nabi wafat. Periode ini ditandai oleh
berbagai peristiwa uji coba sistem perpolitikan dan keagamaan dalam membangun
wilayah Islam, dalam bentuk konkret dengan berdasarkan pada landasan-landasan
yang telah dibagun dan diletakkan oleh Nabi Muhammad. Sejarah perkembangan umat
Islam yang berjalan secara gradual dan terseok-seok dimulai dengan munculnya
masa khalifah al-Râsyidîn.
Pada masa khalifah al-Rasyidin, sistem politik umat Islam berbentuk
khilafah, dengan proses pemilihan pemimpin melalui jalur musyawarah mufakat
atau melalui sistem perwakilan. Atau oleh peneliti sejarah politik bentuk
pemerintahan pada masa ini bercorak aristokrat demokratik
Pada waktu Nabi Muhammad wafat, konflik ditubuh umat Islam dalam
menentukan pemimpin sebagai pengganti Nabi tidak terbendung. Sebelum Nabi
Muhammad dimakamkan, kaum muslimin anshar berkumbul di serabi bani Sa’ad untuk
memilih dan menentukan pemimpin. Dalam musyawarah tersebut terdapat beberapa
nama yang akan diajukan kepada umat Islam, antara lain; Abu Bakar al-Siddiq,
Umar ibn Khathab, Abu Ubaid ibn Jarah. Kaum muslim anshar berpendapat bahwa
syarat menjadi seorang pemimpin adalah harus berasal dari kaum anshar, karena
Nabi Muhammad telah melakukan misi dakwanya di Makkah selama kurang lebih 13
tahun namun dengan pengikut yang sedikit, tidak ada yang mampu melindunginya
dari siksaan kaum kafir Qurasy. Semenatara ketika Nabi Muhammad hijrah ke
Madinah, ia dengan leluasa bisa melakukan misi dakwahnya dengan atas bantuan
kaum muslimin anshar, sehingga Nabi Muhammad dan umat Islam mampu menaklukkan
Jazirah Arab.
Sedangkan kaum muslim muhajirin berpendapat bahwa syarat menjadi
seorang pemimpin pengganti Nabi Muhammad harus berasal dari Kota Makkah, karena
kaum muslimin Makkah adalah orang yang pertama kali percaya akan kenabian nabi
Muhammad. Setelah melalui perdebatan yang sangat panjang, akhirnya diputuskan
bahwa tiap-tiap golongan kaum muslimin mengajukan perwakilannya dan berakhir
dengan terpilihnya Abu Bakar al-Shiddiq sebagai pemimpin (khalifah) umat Islam
pengganti Nabi Muhammad.
Namun, dalam salah satu sumber mengatakan bahwa peistiwa
pengangkatan Abu Bakar al-Siddiq sebagai khalifah tidak dihadiri oleh Ali ibn
Abi Thalib karena sibuk menyiapkan proses pemakaman Nabi Muhammd. Setelah Ali
ibn Abi Thalib mendengar pengangkatan Abu Bakar al-Siddiq sebagai khalifah, ia
tidak menyetujui kecuali setelah beberapa waktu yang cukup lama. Menurut
riwayat dikatakan bahwa Ali ibn Abi Thalib
adalah sahabat yang paling dekat dengan Nabi Muhammad karena ia adalah orang
yang pertama kali masuk Islam dan menjadi suami dari Fatimah, putri Nabi
Muhammad., sehingga lebih berhak menjadi seoarang khalifah dibanding Abu Bakar
al-Siddiq.
Pidato kenegaraan yang dilontarkan Abu Bakar
al-Siddiq merupakan statemen politik yang maju dengan menggunakan
prinsip-prinsip modern yang partisipatif dan egaliter. Khotbah itu merupakan
khotbah pertama yang menerangkan sistem pemerintahan Islam. Abu Bakar al-Siddiq
merupakan khalifah yang mampu menyelesaikan pertikayan-pertikayan yang terjadi
ditubuh umat Islam. Perbedaan-perbedaan yang muncul cenderung mengarah pada
unsur politik bukan pada unsur agama. Salah satu gerakan politik Abu Bakar
al-Siddiq adalah memerangi orang-orang yang ingkar zakat atau lebih dikenal
denganhurûb al-riddah.
Sosio politik umat Islam pada masa Abu Bakar al-Siddiq berjalan
stabil. Prinsip-prinsip perpolitikan dalam membentuk sebuah khilafah yang
digunakan berpedoman pada ajaran-ajaran agama Islam berupa al-Qur’an dan Hadis.
Keberanian Abu Bakar ibn al-Siddiq dalam mengambil kebijakan-kebijakan tidak
populer menjadikan ia sebagai khalifah yang tangguh dan berwibawa.
Perlawanan dan pertentang dalam pengankatan Abu Bakar al-Siddiq
sebagai khalifah, menjadikan khalifah pertama ini bertindak preventif dalam
menentukan dan memilih khalifah ke dua. Sebelum Abu Bakar al-Siddiq wafat, ia
telah menyiapkan komite pemilihan khalifah untuk menggantikannya. Dengan
rekomendasi dari Abu Bakar al-Siddiq dan persetujuan kaum muslimin pada
umumnya, Umar ibn Khattab terpilih secara aklamasi sebagai khalifah Islam ke
dua setelah Abu Bakar al-Siddiq.
Persoalan yang terjadi pada masa khalifah Umar ibn Khatthab
cenderung mengarah pada persoalan politik luar, pada masa tersebut, umat Islam
melakukan ekspansi perluasan daerah. salah satu contoh dengan diutusnya Amr ibn
Ash untuk memimpin pembukaan kota Mesir. Sementara dalam tubuh umat Islam
sendiri cenderung setabil, hal itu didukung oleh keberanian dan kewibawaan yang
dimiliki oleh Umar ibn Khathab.
Perpecahan terbesar terjadi ketika pada masa khalifah Utsman ibn
Affan, hal itu muncul karena para pengikut Ali ibn Abi Thalib dan kaum anshar
merasa jenuh akan kepemimpinan kaum muhajirin. Kejenuhan dan kebosanan itu
memuncak ketika khalifah Utsman ibn Affan lebih mementingkan kedekatan
(kerabat) dalam pengangkatan para penguasa. Khalifah Utsman ibn Affan yang
notabeni berasal dari keturunan bani umayyah, mendapat tantang keras dari kaum
Syi’ah dan keturunan bani Hasyim. Perselisihan politik semakin memanas
sebagaimana pertikayan yang pernah terjadi antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah
pada masa jahiliah (sebelum kedatangan Islam).
Gerakan makar oleh sebagian golongan dilancarkan secara
sembunyi-sembunyi. Mereka menentang kebijakan politik khalifah Utsman ibn Affan
dengan menjadikan Ali ibn Abi Thalib sebagai justifikasi dari gerakannya, salah
satu tokoh provokatif dalam peristiwa tersebut adalah Abdullah ibn Saba,
seorang Yahudi dari Yaman dan kemudian masuk Islam. Abdullah ibn Saba terkenal
sebagai tokoh yang getol menyuarakan agar umat Islam berpaling dari khalifah
Utsman ibn Affan dan bersatu memilih Ali ibn Thalib.
Setelah khalifah Utsman ibn Affan wafat dalam keadaan terbunuh,
maka kaum muslimin memilih dan mengangkat Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah
selanjutnya. Dalam proses pemilihan Ali ibn Abi Thalib, kaum muslimin terbagi
menjadi tiga golongan. Pertama; golongan yang menerima dan mengangkat Ali ibn
Abi Thalib, golongan ini didukung oleh sebagian besar para pembesar kaum
muhajirin. Kedua; golongan yang menolak pengangkatan Ali ibn Abi Thalib sebagai
khalifah, diantaranya; Thalha, al-Zubair dan Mua’wiyah, mereka beranggapan dan
menuduh bahwa Ali ibn Abi Thalib ikut terlibat dalam pembunuhan khalifah Utsman
ibn Affan. Ketiga; golongan yang memilih netral dengan tidak bepihak pada kedua
golongan di atas. Golongan ini didukung oleh sebagian besar para pembesar umat
Islam dari kalangan para sahabat diantaranya; Abdullah ibn Umar ibn Khathab,
Muhammad ibn Maslamah, Sa’id ibn Abi Waqqash, Asamah ibn Zaid, Husnan ibn
Tsabit dan Abdullah ibn Salamah. Dari berbagai golongan di atas, muncullah
beberapa aliran dalam tubuh umat Islam diantaranya; Khawarij, Syi’ah dan
Murjiah.
Masa perpolitikan umat Islam dalam ranah khilafah berakhir pada
masa khalifah Ali ibn Thalib. Masa khilafah merupakan pengalaman perpolitikan
umat Islam yang mampu mengenal perbedaan terkecil antara gagasan dan realita.
Namun diantara keempat khalifah tersebut, hanya khalifah Abu Bakar Al-Siddiq yang
wafat secara wajar. Umar ibn Khathab dibunuh oleh budak gubenur Basrah yang
beragama nasrani, Utsman ibn Affan dibunuh oleh lawan politiknya, kemudian
rumahnya diserang dengan tuduan pemerintah yang tirani, dan Ali ibn Thalib
terbunuh ketika sedang dalam perjalanan menuju masjid.
c.
Politik Islam Masa dari Khilafah Menuju Daulah
Jika kita mengkaji secara teliti sejarah perkembangan Islam, maka
kita akan menemukan beberapa pola atau perubahan yang sering kali dilandaskan
pada realita yang ada. Dengan analisa yang bersifat instan, maka kita akan
mampu memprediksi hal-hal yang akan
terjadi di masa mendatang.
Di sinilah kita akan menemukan pola perpindahan sistem perpolitikan
Islam. Dalam catatan sejarah, Muawiyah (pendiri Dinasti Umawiyah) menyatakan
dirinya sebagai khalifah pada tahun 660, pada masa khalifah Ali ibn Thalib
masih berkuasa. Peristiwa tersebut menyebabkan perpecahan daerah kekuasaan
Islam menajadi dua bagian, pertama; Kuffah sebagai pusat pemerintahan khalifah
Ali ibn Abi Thalib, kedua; Demaskut sebagai pusat pemerintahan Mua’wiyah.
Namun secara garis besar, kepemimpinan Mu’awiyah disahkan secara
general setelah khalifah Ali ibn Abi Thalib meninggal. Masa kepemimpinan
Mu’awiyah merupakan starting point perubahan sistem perpolitikan umat Islam
dari sistem khilafah menuju sistem daulah.
Dalam sejarah tercatat bahwa Mu’awiyah dengan kreasi politiknya
mampu menanggulangi suasana ricuhdalam tubuh umat Islam. Keberanian Mu’awiyah
merubah sistem perpolitikan khilafah dengan sistem daulah telah menyatukan
kembali umat Islam yang bertikai sehingga terkenal dengan masa ‘âmul jamâ’ah
(tahun rekonsiliasi). Mu’awiyah merubah pola perpolitikan umat Islam dengan
membangun infra struktural pemerintah seperti kantor-kantor.
Sosio perpolitikan umat Islam di masa dinasti Umawiyah dihiyasi
oleh berbagai pertempuran ideologi antara ahlul hadis, theolog, filosof dan
sebagainya. Para tokoh berusaha untuk memperoleh dukungan dari para penguasa
sehingga ideologi yang diajarkan bisa dengan muda diterima oleh masyarakat.
Pada masa dinasti Umawiyah, perkonomian umat Islam maju dengan pesat terbukti
dengan adanya mata uang khusus yang disahkan oleh dinasti Umawiyah sebagai alat
transaksi jual beli. Pergantian pimpinan pada masa ini berdasarkan pada garis
keturunan, sehingga jauh berbeda bila dibandingkan dengan masa khilafah.
Dinasti ini bertahan dari tahun 661-750 M.
Setelah dinasti Umawiyah runtuh, dinasti Abbasiah muncul dengan
pola dan sistem politik yang sama. Bani Abbasiah yang secara garis keturunan
berasal dari Bani Hasyim secara otomatis mendapatkan dukungan penuh dari kaum
Syi’ah. Pada masa dinasti Abbasiah, berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan
budaya berkembang secara pesat. Budaya Yunani tersebar luas pada masa dinasti
ini, dengan ditandai dengan banyaknya buku-buku yang diterjemahkan dari bahasa
Yunani. Dinasti ini bertahan dari tahun 750-1517 M, dengan pembagian dua
wilayah, pertama; Dinasti Abbasiah di Bagdad yang dipelopori oleh oleh Abu
al-Abbas Al-Saffah dan berakhir pada masa al-Musta’sim. Kedua; Dinasti
Abbasiyah di Kairo yang didirikan oleh al-Mustansir dan berakhir pada masa
al-Mutawakkil III. Sebagaimana dinasti Umawiyah, dinasti ini juga menerapkan
sistem keturunan dalam proses peralihan kekuasaan.
3.
Prinsip-prinsip Dasar Politik Islam
Menurut teori Islam, dalam mekanisme operasional pemerintahan
negara seyogianya mengacu pada prinsip-prinsip syari’ah. Islam sebagai landasan
etika dan moral direalisir dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Endang Saifuddin Anshari (1986:167) mengatakan, “Negara adalah
organisasi (organ, badan atau alat) bangsa untuk mencapai tujuannya.” Oleh
karena itu, bagi setiap Muslim negara adalah alat untuk merealisasikan
kedudukannya sebagai abdi Allah dan mengaktualisasikan fungsinya sebagai
khalifah Allah, untuk mencapai keridhaan Allah, kesejahteraan duniawi dan
ukhrawi, serta menjadi rahmat bagi sesama manusia dan alam lingkungannya
Secara konseptual di kalangan ilmuwan dan pemikir politik Islam era
klasik, menurut Mumtaz Ahmad dalam bukunya State, Politics, and Islam, menekankan tiga ciri penting
sebuah negara dalam perspektif Islam, yakni adanya masyarakat Muslim (ummah), hukum Islam (syari’ah), dan kepemimpinan
masyarakat Muslim (khilafah).
Prinsip-prinsip negara dalam Islam tersebut ada yang berupa prinsip-prinsip dasar yang
mengacu pada teks-teks syari’ah yang jelas dan tegas. Selain itu, ada
prinsip-prinsip tambahan yang merupakan kesimpulan dan termasuk ke dalam fikih.
Prinsip-prinsip dasar politik adalah: pertama, kedaulatan, yakni kekuasaan itu
merupakan amanah. Kedaulatan yang mutlak
dan legal adalah milik Allah. Abu al-A’la al-Maududi menyebutnya dengan “asas
pertama dalam teori politik Islam.” Al-Maududi dalam bukunya It’s Meaning and
Message (1976: 147-148) menegaskan,”Kepercayaan terhadap keesaan (tauhid) dan
kedaulatan Allah adalah landasan dari sistem
sosial dan moral yang dibawa oleh Rasul Allah. Kepercayaan itulah yang
merupakan satu-satunya titik awal dari filsafat politik dalam Islam.”
Kedaulatan ini terletak di dalam kehendak-Nya seperti yang dapat
dipahami dari syari’ah. Syari’ah sebagai sumber dan kedaulatan yang aktual dan
konstitusi ideal, tidak boleh dilanggar. Sedang masyarakat Muslim, yang
diwakili oleh konsensus rakyat (ijma’ al-ummah), memiliki kedaulatan dan hak
untuk mengatur diri sendiri.
Kedua, syura dan ijma’. Mengambil keputusan di dalam semua urusan
kemasyarakatan dilakukan melalui konsensus dan konsultasi dengan semua pihak.
Kepemimpinan negara dan pemerintahan harus ditegakkan berdasarkan persetujuan rakyat melalui
pemilihan secara adil, jujur, dan amanah. Sebuah pemerintahan atau sebuah
otoritas (sulthan) yang ditegakkan dengan cara-cara non-syari’ah adalah tidak
dapat ditolerir dan tidak dapat memaksa kepatuhan rakyat.
Ketiga, semua warga negara dijamin
hak-hak pokok tertentu. Menurut Subhi Mahmassani dalam bukunya Arkan
Huquq al-Insan,beberapa hak warga negara yang perlu dilindungi adalah: jaminan
terhadap keamanan pribadi, harga diri
dan harta benda, kemerdekaan untuk mengeluarkan pendapat dan berkumpul,
hak untuk mendapatkan pelayanan hukum secara adil tanpa diskriminasi, hak untuk
mendapatkan pendidikan yang layak, pelayanan medis dan kesehatan, serta
keamanan untuk melakukan aktifitas-aktifitas ekonomi.
Keempat, hak-hak negara.
Semua warga negara, meskipun yang oposan atau yang bertentangan pendapat dengan
pemerintah sekalipun, mesti tunduk
kepada otoritas negara yaitu kepada hukum-hukum dan peraturan negara.
Kelima, hak-hak khusus dan batasan-batasan bagi warga negara yang
non-Muslim—memiliki hak-hak sipil yang sama. Karena negara ketika itu adalah
negara ideologis, maka tokoh-tokoh pengambilan keputusan yang memiliki posisi
kepemimpinan dan otoritas (ulu al-amr), mereka harus sanggup menjunjung tinggi
syari’ah. Dalam sejarah politik Islam, prinsip
dan kerangka kerja konstitusional
pemerintahan seperti ini, terungkap dalam Konstitusi Madinah atau “Piagam
Madinah” pada era kepemimpinan Rasulullah di Madinah, yang mengayomi masyarakat
yang plural.
Keenam, ikhtilaf dan
konsensus yang menentukan. Perbedaan-perbedaan pendapat diselesaikan
berdasarkan keputusan dari suara mayoritas yang harus ditaati oleh seluruh
masyarakat. Prinsip mengambil keputusan menurut suara mayoritas ini sangat
penting untuk mencapai tujuan bersama.
Selain prinsip-prinsip dasar negara yang konstitusinya berdasar syari’ah, ada juga prinsip-prinsip
tambahan (subsider) yang merupakan kesimpulan dan termasuk ke dalam bidang
fikih siyasah (hukum ketatanegaraan dalam Islam). Prinsip-prinsip tambahan
tersebut adalah mengenai pembagian
fungsi-fungsi pemerintahan yaitu hubungan antara Badan Legislatif, Eksekutif,
dan Yudikatif. Dalam hubungan ketiga badan (lembaga negara) tersebut
prinsip-prinsip berkonsultasi (syura) mesti dilaksanakan di dalam riset,
perencanaan, menciptakan undang-undang dan menjaga nilai-nilai syari’ah dengan
memperhatikan otoritas (kewenangan) yang dimiliki masing-masing lembaga
tersebut.
Prinsip-prinsip politik dalam Islam, Abdul Qadir Audah dalam
bukunya Al-A’mal al-Kamilah: Al-Islam wa Audha’una al-Qanuniyah(1994: 211-223)
mensistematisir sebagai berikut:
a.
Persamaan
yang komplit;
b.
Keadilan
yang merata;
c.
Kemerdekaan
dalam pengertian yang sangat luas;
d.
Persaudaraan;
e.
Persatuan;
f.
Gotong
royong (saling membantu);
g.
Membasmi
pelanggaran hukum;
h.
Menyebarkan
sifat-sifat utama;
i.
Menerima
dan mempergunakan hak milik yang dianugerahkan Tuhan;
j.
Meratakan
kekayaan kepada seluruh rakyat, tidak boleh menimbunnya;
k.
Berbuat
kebajikan dan saling menyantuni; dan
l.
Memegang
teguh prinsip musyawarah).
4.
Ciri-ciri Politik Islam
Dalam pelaksanaannya politik islam memiliki beberapa ciri-ciri yang
sangat mengikat pada politik islam itu, diantaranya :
a.
Rabbaniyah
Rabbaniyah
merupakan suatu system politik islam yang bersumber dari wahyu Allah Azza
wajala, yaitu Al-Qur’an dan hadis-hadis sahih. Artinya dalam system rabbaniyah
ini segala peraturan yang dibuat tidak akan dapat diganngu gugat seperti halnya
peraturan-peraturan yang dibuat oleh manusia.
b.
Syumul
Pengertian
dari syumul itu adalah segala perkara yang menyangkut urusan duniawiyah ataupun
ukhrowiyah. Dimana dalam perkara ini memang meliputi semua sisi kehidupan
manusia.
c.
Muwafiqotul
fithrah
Yaitu
aturan yang sesuai dengan fitrah atau sifat dasar manusia. Maksudnya adalah
bahwa politik islam dalam hal ini sangat menyeimbangkan antara hak dan
kewajiban pemerintah dengan rakyatnya.
d.
Nizhomul
Akhlak
Nizhomul
akhlak yaitu dasar dalam politik islam yang selalu menekankan terhadap
pembinaan akhlak yang mulia, seperti halnya sikap adil dan bijaksana serta
perbuatan terpuji, juga melarang semua perbuatan yang tercela, sehingga politik
politik islam itu tidak pernah melegalkan perjudian, pelacuran, miras dan
narkoba apapun alasannya. Karena memang semua itu sudah dilarang oleh agama.
5.
Peran Politik Islam
a.
Peran
Kepala Negara dalam Politik Islam
Untuk mengurusi tanggung jawab kepentingan masyarakat, maka secara
syara’ tanggung jawab itu diberikan kepada penguasa, dan penguasa disini bias
dikatakan sebagai kepala Negara (khalifah). Inilah yang dapat menjadikan peran
kepala Negara dalam politik islam, yaitu :
1)
Menjalankan
hukum islam sebagai konstitusi Negara.
2)
Bertanggung
jawab terhadap politik dalam dan luar negeri.
3)
Mengangkat
dan memberhentikan ketua MA, Dirjen Departemen.
4)
Berhak
menerima dan menolak duta-duta asing.
b.
Peran
Masyarakat dalam Politik Islam
Tidak
jauh berbeda dari peranan kepala Negara dalam politik islam, masyarakat juga
mempunyai peran dalam menjalankan kewajiban untuk taat kepada Amir (penguasa).
Sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah dalam surat An-nisa ayat 59:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ
وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي
شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Sehingga jelaslah bahwa peran masyarakat untuk menaati penguasanya
dalam politik islam itu memang penting. Karena dengan adanya komponen-komponen
tersebut politik islam itu dapat berjalan secara aktif dan sesuai dengan
tuntutan dalam ajaran islam.
Selain
berkewajiban untuk menaati penguasanya, masyarakat juga mempunyai tiga peran
penting dalam politik islam, yaitu :
1)
Kekuasaan
memilih penguasa.
2)
Terlibat
dalam musyawarah.
3)
Mengoreksi
penguasa.
Peran-peran
itulah yang nantinya memperlihatkan bagaimana seorang penguasa dan masyarakat
bisa menjadi bagian-bagian dalam masalah yang muncul pada suatu negara.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Definisi politik dari sudut pandang Islam adalah pengaturan
urusan-urusan (kepentingan) umat baik dalam negeri maupun luar negeri
berdasarkan hukum-hukum Islam. Pelakunya bisa negara (khalifah) maupun kelompok
atau individu rakyat.
Rasulullah saw bersabda:
“Adalah Bani Israel, para Nabi selalu mengatur urusan mereka.
Setiap seorang Nabi meninggal, diganti Nabi berikutnya. Dan sungguh tidak ada
lagi Nabi selainku. Akan ada para Khalifah yang banyak” (HR Muslim dari Abu Hurairah ra).
Hadits diatas dengan tegas menjelaskan bahwa Khalifahlah yang
mengatur dan mengurus rakyatnya (kaum Muslim) setelah nabi saw. hal ini juga
ditegaskan dalam hadits Rasulullah:
“Imam adalah seorang penggembala dan ia akan dimintai pertanggung
jawaban atas gembalaannya”.
Jadi, esensi politik dalam pandangan Islam adalah pengaturan
urusan-urusan rakyat yang didasarkan kepada hukum-hukum Islam. Adapun hubungan
antara politik dan Islam secara tepat digambarkan oleh Imam al-Ghazali: “Agama
dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Agama adalah pondasi (asas) dan
kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan
runtuh dan segala sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang dan
lenyap”.
Berbeda dengan pandangan Barat politik diartikan sebatas pengaturan
kekuasaan, bahkan menjadikan kekuasaan sebagai tujuan dari politik. Akibatnya
yang terjadi hanyalah kekacauan dan perebutan kekuasaan, bukan untuk mengurusi
rakyat. Hal ini bisa kita dapati dari salah satu pendapat ahli politik di
barat, yaitu Loewenstein yang berpendapat “politic is nicht anderes als der
kamps um die Macht” (politik tidak lain merupakan perjuangan kekuasaan).
Pada garis besarnya, obyek pembahasan sistem politik Islam
meliputi:
1.
Siyasah
Dusturiyah atau fiqih modern disebut hukum tatanegara,
2.
Siyasah
Dauliyah atau disebut hukum internasional dalam Islam,
3.
Siyasah
Maliyah yaitu hukum yang mengatur tentang pemasukan, pengelolaan, dan
pengeluaran uang milik negara
Sehingga dari penjelasan-penjelasan diatas dapat kita simpulkan
bahwa politik islam itu memang mempunyai keaktifan dan keterkaitan dalam
perannya pada suatu negara. Karena memang peraturan-peraturan dan asas-asas
yang ada dalam politik islam itu bersumber dari Allah SWT, Tuhan semesta alam.
Bukan dari ide-ide, gagasan-gagasan dan pikiran-pikiran manusia yang kadang
masih diselimuti oleh kelemahan dan kekurangan. Sehingga politik islam yang
berasal dari Allah SWT ini mampu bersikap adil antara golongan yang satu dengan
yang lainnya, tanpa membebani atau memberatkan salah satu pihak.
B.
Saran
Penulis selaku penyusun menyadari masih jauh dari sempurna dan
tentunya banyak sekali kekurangan dalam pembuatan makalah ini. Hal ini
disebabkan karena masih terbatasnya kemampuan penulis.
Oleh karena itu, penulis selaku pembuat makalah ini sangat
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Penulis juga
mengharapkan makalah ini sangat bermanfaat untuk penulis khususnya dan pembaca
pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
http://kamalsukses.blogspot.com/2012/01/makalah-politik-islam.html
http://ms.wikipedia.org/wiki/Politik_Islam
http://al-ahkam.net/forum09/viewtopic.php?f=9&t=38793
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa pesan saya jadilah orang yang jujur. Jangan jadi orang yang plagiat yang tidak mencantumkan sumber referensinya.
Kritik dan Saran sangat saya butuhkan, Demi menciptakan sesuatu yang sangat berguna dan bermanfaat Fiddunya Wal Akhiroh